Powered By Blogger

Senin, 28 Juli 2014

“STRONG”

Tiga tahun yang lalu adikku meninggal. Kecelakaan hebat terjadi malam itu. Tidak ada saksi mata yang berada di tempat kejadian. Sang tersangka pun telah lenyap dimakan oleh gelapnya malam. Tidak ada petunjuk yang bisa membawaku untuk bisa bertatap muka dengan tersangka ini. Malam itu, satu jam sebelum aku mendapat telefon dari pihak kepolisian bahwa adikku mengalami kecelakaan, dia meminta ijin untuk pergi ke toko buku yang tidak jauh dari rumah, sekitar lima belas menit kalau ditempuh dengan berjalan kaki.
Awalnya aku tidak mengijinkan, karena malam sudah semakin larut, ayah juga sudah mau pulang kerja sebentar lagi, sekitar dua jam lagi. Aku tidak ingin dianggap kakak yang tidak berguna karena mengijinkan adiknya sendiri untuk berkeliaran di malam hari.
“Aku hanya pergi untuk membeli sebuah buku cerita, tidak lama kok, aku naik sepeda biar cepat sampai di rumah sebelum ayah pulang.” Katanya. Dia merengek. Adikku ini telah berusia sebelas tahun, aku mengajarinya bersepeda tahun lalu, dan kini dia memang telah pandai dalam bersepeda, tapi rasa takut untuk membiarkannya membawa ke jalan sendirian masih ada.
“Baiklah, tapi kakak ikut. Kakak tidak ingin ada hal yang buruk terjadi padamu.” Ucapku.
“Tidak, aku sudah besar, kak. Aku malu sama teman-temanku kalau nanti bertemu di jalan. Aku sudah harus bisa mandiri, toko buku itu tidak jauh kok. Aku janji, tidak sampai satu jam aku akan kembali ke rumah.” Katanya dengan tegas.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Adikku kini telah beranjak menuju tahap remaja. Dia memiliki keinginan yang kuat atas suatu hal, dia berusaha untuk tidak merepotkan siapapun jika hal itu menyangkut dirinya.
“Janji sama kakak? Gak akan lama? Habis beli langsung pulang, jangan berkeliaran lagi. Ini terakhir kalinya,ya. Lain kali kalau mau beli buku, hanya pas kita sama-sama pergi ke toko buku, oke?”
“Oke.”
“Oh, ya. Bawa juga handphone-mu, dan jangan dikeluarkan kalau tidak ada hal penting,oke?” dia menggangguk.
“Kakak baik.” Katanya sambil tersenyum dan memamerkan deretan giginya yang putih dan berbolong-bolong itu.
Dan setelah itu, aku tidak akan pernah melihatnya lagi.
Aku seorang yang bodoh.
Tiga puluh menit berlalu, dan aku sudah semakin khawatir. Jarak dari rumah ke toko buku tidaklah jauh, dengan sepeda hanya akan memakan waktu beberapa menit saja. Aku menunggu di depan rumah dengan gelisah, gelisah sekali. Tidak sampai satu jam lagi, ayah akan pulang ke rumah. Dan akan memarahiku apabila Ryan, adikku tidak berada di rumah.
Aku terus berjalan di tempat, kemudian ke depan pagar, kemudian masuk lagi ke rumah, lalu keluar duduk di teras. Dan akhirnya tiga puluh menit pun telah berlalu lagi. Handphone-ku berdering di dalam kamar, syukurlah aku duduk di teras, suara deringnya dapat aku dengar.
Nomor yang tidak tersimpan.
“Halo.”
“Halo, selamat malam. Benar ini Andi?” tanyanya. Suaranya tegas dan terdengar sangat berwibawa.
“Iya, benar. Anda siapa?” tanyaku.
“Kami dari pihak polisi, bisa anda ke rumah sakit sekarang juga?”
“Apa yang terjadi, pak Polisi?”
“Adikmu,” katanya dengan suara yang lemas. “Adikmu mengalami kecelakaan, dan sekarang sedang dalam kondisi kritis, banyak sekali darah yang keluar dari kepalanya. Dia di tabrak. Namun kami tidak mengetahui siapa dan jenis kendaraan apa yang menabraknya. Tidak ada saksi mata di lokasi kejadian.”
Aku terdiam. Tiba-tiba air mataku keluar.
Hal bodoh telah kuperbuat, sekarang yang bisa aku lakukan hanyalah diam, dan merenungkan setiap kesalahan yang aku buat satu jam yang lalu. Jika saja aku tidak mengijinkannya untuk pergi ke toko buku, dia tidak akan merasakan kesakitan yang luar biasa seperti ini.
Kakiku lemas. Aku tidak dapat berdiri, hanya bisa terduduk lemas di lantai kamarku.
“Halo? Halo?” terdengar suara yang keluar dari handphone-ku.
“Sebentar lagi..,” kataku. “Sebentar lagi saya akan kesana, pak. Dimana adik saya sekarang?”
“Di ruang UGD. Oke, kami akan menunggumu, bersabarlah, dan banyaklah berdoa. Tuhan akan menjawab doamu.”
Aku menghapus setiap butiran air mata yang keluar, dan mengambil jaket. Dengan cepat aku mengeluarkan motor dari bagasi dan menyalakannya. Aku mengirimkan pesan singkat ke nomor ayahku, aku menyuruhnya untuk ke UGD.
Tidak sampai sepuluh menit, aku telah sampai di rumah sakit yang dimaksud, memarkirkan motor dan langsung berlari ke arah ruang UGD.
“Suster! Suster! Dimana adik saya?”
“Siapa adik anda?” tanyanya.
“Yang barusan mengalami tabrak lari.”
“Oh, kamu Andy?” Tanya seorang bapak dengan badan tinggi besar dan mengenakan seragam polisinya.
“Iya, bapak yang tadi menelepon saya? Bagaimana kondisi adik saya, pak?”
“Mari disini, silahkan duduk dulu.” Katanya sambil membawaku ke tempat duduk yang telah tersedia. “Sampai sekarang kami juga tidak tahu, dokter belum keluar dari ruangannya. Semoga pengobatan yang dilakukan dokter akan berhasil.” Katanya. “Adikmu kebetulan melewati jalan besar yang sepi. Para pengemudi kendaraan bermotor sering sekali membawa kendaraan mereka dengan kecepatan diluar dari batas.”
Aku terdiam. Aku menyesali setiap perbuatanku, telah mengijinkan Ryan keluar adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Bagaimana mungkin aku bisa tega membiarkan adik kecilku yang masih berusia sebelas tahun untuk mengendarai sepeda sendiri pergi ke toko buku.
“Adikmu terbilang sangat beruntung, masih dapat diselamatkan. Walaupun kita tidak tahu bagaimana nantinya. Aku juga mendoakan yang terbaik.” Kata pak Polisi itu, kulihat namanya bernama Agustinus.
“Terima kasih, pak.” Kataku. “Ini kesalahan saya telah mengijinkannya keluar malam-malam.”
“Tidak ada yang merupakan kesalahan anda, bagaimanapun, hal tersebut sudah menjadi takdir hidup kita. Mau bagaimanapun anda menyesal, semua telah di rencanakan oleh sang pencipta.” Katanya sambil mengelus-elus halus pundakku.
“Mari kita berdoa bersama di dalam hati demi adikmu.”
Kemudian kami duduk dalam keheningan. Aku memejamkan mata dan mulai berkomunikasi dengan Tuhan. Aku meminta pertolongan-Nya, dan aku telah menyesali setiap perbuatanku. Aku membutuhkan kesembuhan Ryan.
Kami sama-sama selesai berdoa. Dan aku merasa lebih tenang sedikit.
“Gimana? Sudah agak tenang? Setelah berkomunikasi dengan Tuhan, kita seperti memberikan beban yang kita rangkul kepada-Nya untuk dibantu.”
“Sudah, pak.” Kataku sambil tersenyum kecil.
“Andy!” tiba-tiba terdengar suara dari luar ruang UGD yang memanggil namaku, itu ayah.
“Apa yang terjadi? Ketika pesan pendekmu masuk, ayah langsung bergegas datang kesini.”
“Selamat malam, Pak. Mari kita duduk dulu sambil membicarakannya.” Ucap pak polisi tadi. Dan ayah menurutinya. Kemudian pak polisi itu yang mengambil kendali pembicaraan, dia menjelaskan apa yang terjadi terhadap Ryan.
“Kenapa kamu seperti itu, Dy? Kau tau dia masih kecil. Kenapa kau biarkan dia keluar malam sendiri?” tanya ayahku.
Aku hanya bisa terdiam, tidak dapat menjawab.
“Sudah, pak. Andy sudah menyesali apa yang dia perbuat. Mari kita bersama-sama berdoa dan menunggu hasilnya. Mungkin sebentar lagi dokter akan keluar.” Kata pak polisi berusaha menenangkan ayah.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, dokter keluar.
“Bagaimana dokter?” aku segera berlari ke arah dokter, berharap mendapat jawaban yang baik.
“Maaf, kami telah berusaha semampu kami untuk menolong anak ini. Dia telah kehilangan banyak sekali darah. Dan juga tabrakan tersebut menyebabkan beberapa tulang patah dan terkena pada beberapa organ vitalnya.”
Aku terdiam, dan kemudian menangis. Ayah merangkulku. Pak polisi yang berdiri di sampingku juga merasakan kesedihan yang aku alami. Rasa kehilangan seseorang yang kita kasihi, tidak begittu mudah kita terima.
Aku tidak berhenti menangis selama lima menit lamanya. Pak polisi berusaha menenangkanku. Dan terlihat ayah sedang berbicara dengan pak dokter, mata ayah menyiratkan kesedihan yang luar biasa, namun ia menahannya di dalam hati.
“Ryan sempat bangun beberapa saat sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya, dan berbicara kepada dokter.” Kata ayah, datang menghampiri tempat dimana aku sedang menenangkan diri.
“Apa yang dikatakannya? Apa pesan-pesan terakhirnya?”
“Dia ingin meminta maaf denganmu, karena tidak bisa menjadi adik yang baik. Dan berterima kasih atas kebaikkan yang kamu berikan kepadanya.”
Sontak kalimat itu memberikan pukulan yang telak kepadaku. Hatiku terasa berat, terasa sesak seperti ada sesuatu yang menindih dadaku. Aku tidak dapat menahan air mata yang keluar. Aku ingin sekali berteriak kencang, sekencang-kencangnya. Namun aku menggigit jari tanganku sehingga aku tidak menimbulkan suara yang dapat mengganggu orang lain.
“Dan juga, dia mengatakan untuk menyerahkan buku yang dibelinya kepada kamu.” Kata ayah sambil menyerahkan sebuah buku cerita. Judulnya ‘Strong’. Sebuah kisah mengenai seorang kakak yang kehilangan adiknya di sebuah medan perang. Sebuah cerita yang mengajarkan bagaimana sakitnya kehilangan seorang adik yang kita sayangi, bagaimana cara seseorang untuk bisa bangkit dari kesedihan yang mendalam.
Aku peluk kuat-kuat buku yang dititipkannya padaku. Sampai saat ini, buku itu tidak pernah jauh dari tempat tidurku. Setiap malam aku membacanya, setiap aku bosan, aku akan membacanya. Setelah hari itu, aku menjadi lebih diam dan penurut. Lebih banyak membaca dan mendengar daripada berbicara. Sekarang rumah menjadi lebih sepi, hanya aku dan ayah. Ibu telah tiada sejak Ryan lahir.
Dan hari ini tepat tiga tahun setelah Ryan berpulang ke sisi-Nya. Bagaimanapun, kau adalah adik yang aku sayang, Ryan. Maafkan kebodohan dan ketidakmampuanku dalam menjagamu. Sebuah pelajaran berharga telah aku dapatkan dari kehilangan dirimu. Pelajaran penting yang tidak semua orang dapatkan. Semoga di kehidupan berikutnya, kita bisa tetap menjadi saudara. Dan aku berjanji akan menjagamu dengan baik. Lebih baik daripada yang telah aku lakukan.