Tiga tahun yang lalu adikku
meninggal. Kecelakaan hebat terjadi malam itu. Tidak ada saksi mata yang berada
di tempat kejadian. Sang tersangka pun telah lenyap dimakan oleh gelapnya malam. Tidak ada petunjuk yang bisa membawaku untuk bisa bertatap muka dengan
tersangka ini. Malam itu, satu jam sebelum aku mendapat telefon dari pihak
kepolisian bahwa adikku mengalami kecelakaan, dia meminta ijin untuk pergi ke
toko buku yang tidak jauh dari rumah, sekitar lima belas menit kalau ditempuh
dengan berjalan kaki.
Awalnya aku tidak mengijinkan,
karena malam sudah semakin larut, ayah juga sudah mau pulang kerja sebentar lagi,
sekitar dua jam lagi. Aku tidak ingin dianggap kakak yang tidak berguna karena
mengijinkan adiknya sendiri untuk berkeliaran di malam hari.
“Aku hanya pergi untuk membeli
sebuah buku cerita, tidak lama kok, aku naik sepeda biar cepat sampai di rumah
sebelum ayah pulang.” Katanya. Dia merengek. Adikku ini telah berusia sebelas
tahun, aku mengajarinya bersepeda tahun lalu, dan kini dia memang telah pandai
dalam bersepeda, tapi rasa takut untuk membiarkannya membawa ke jalan sendirian
masih ada.
“Baiklah, tapi kakak ikut. Kakak
tidak ingin ada hal yang buruk terjadi padamu.” Ucapku.
“Tidak, aku sudah besar, kak. Aku
malu sama teman-temanku kalau nanti bertemu di jalan. Aku sudah harus bisa mandiri, toko buku itu tidak jauh
kok. Aku janji, tidak sampai satu jam aku akan kembali ke rumah.” Katanya
dengan tegas.
Aku tidak bisa berkata apa-apa.
Adikku kini telah beranjak menuju tahap remaja. Dia memiliki keinginan yang
kuat atas suatu hal, dia berusaha untuk tidak merepotkan siapapun jika hal itu
menyangkut dirinya.
“Janji sama kakak? Gak akan lama?
Habis beli langsung pulang, jangan berkeliaran lagi. Ini terakhir kalinya,ya.
Lain kali kalau mau beli buku, hanya pas kita sama-sama pergi ke toko buku,
oke?”
“Oke.”
“Oh, ya. Bawa juga handphone-mu, dan jangan dikeluarkan
kalau tidak ada hal penting,oke?” dia menggangguk.
“Kakak baik.” Katanya sambil
tersenyum dan memamerkan deretan giginya yang putih dan berbolong-bolong itu.
Dan setelah itu, aku tidak akan
pernah melihatnya lagi.
Aku seorang yang bodoh.
Tiga puluh menit berlalu, dan aku
sudah semakin khawatir. Jarak dari rumah ke toko buku tidaklah jauh, dengan
sepeda hanya akan memakan waktu beberapa menit saja. Aku menunggu di depan
rumah dengan gelisah, gelisah sekali. Tidak sampai satu jam lagi, ayah akan
pulang ke rumah. Dan akan memarahiku apabila Ryan, adikku tidak berada di
rumah.
Aku terus berjalan di tempat,
kemudian ke depan pagar, kemudian masuk lagi ke rumah, lalu keluar duduk di
teras. Dan akhirnya tiga puluh menit pun telah berlalu lagi. Handphone-ku berdering di dalam kamar,
syukurlah aku duduk di teras, suara deringnya dapat aku dengar.
Nomor yang tidak tersimpan.
“Halo.”
“Halo, selamat malam. Benar ini
Andi?” tanyanya. Suaranya tegas dan terdengar sangat berwibawa.
“Iya, benar. Anda siapa?” tanyaku.
“Kami dari pihak polisi, bisa anda
ke rumah sakit sekarang juga?”
“Apa yang terjadi, pak Polisi?”
“Adikmu,” katanya dengan suara yang lemas. “Adikmu
mengalami kecelakaan, dan sekarang sedang dalam kondisi kritis, banyak sekali
darah yang keluar dari kepalanya. Dia di tabrak. Namun kami tidak mengetahui
siapa dan jenis kendaraan apa yang menabraknya. Tidak ada saksi mata di lokasi
kejadian.”
Aku terdiam. Tiba-tiba air mataku
keluar.
Hal bodoh telah kuperbuat, sekarang
yang bisa aku lakukan hanyalah diam, dan merenungkan setiap kesalahan yang aku
buat satu jam yang lalu. Jika saja aku tidak mengijinkannya untuk pergi ke toko
buku, dia tidak akan merasakan kesakitan yang luar biasa seperti ini.
Kakiku lemas. Aku tidak dapat
berdiri, hanya bisa terduduk lemas di lantai kamarku.
“Halo? Halo?” terdengar suara yang
keluar dari handphone-ku.
“Sebentar lagi..,” kataku.
“Sebentar lagi saya akan kesana, pak. Dimana adik saya sekarang?”
“Di ruang UGD. Oke, kami akan
menunggumu, bersabarlah, dan banyaklah berdoa. Tuhan akan menjawab doamu.”
Aku menghapus setiap butiran air
mata yang keluar, dan mengambil jaket. Dengan cepat aku mengeluarkan motor dari
bagasi dan menyalakannya. Aku mengirimkan pesan singkat ke nomor ayahku, aku
menyuruhnya untuk ke UGD.
Tidak sampai sepuluh menit, aku
telah sampai di rumah sakit yang dimaksud, memarkirkan motor dan langsung
berlari ke arah ruang UGD.
“Suster! Suster! Dimana adik saya?”
“Siapa adik anda?” tanyanya.
“Yang barusan mengalami tabrak
lari.”
“Oh, kamu Andy?” Tanya seorang
bapak dengan badan tinggi besar dan mengenakan seragam polisinya.
“Iya, bapak yang tadi menelepon saya? Bagaimana kondisi adik saya, pak?”
“Mari disini, silahkan duduk dulu.”
Katanya sambil membawaku ke tempat duduk yang telah tersedia. “Sampai sekarang
kami juga tidak tahu, dokter belum keluar dari ruangannya. Semoga pengobatan
yang dilakukan dokter akan berhasil.” Katanya. “Adikmu kebetulan melewati jalan
besar yang sepi. Para pengemudi kendaraan bermotor sering sekali membawa
kendaraan mereka dengan kecepatan diluar dari batas.”
Aku terdiam. Aku menyesali setiap
perbuatanku, telah mengijinkan Ryan keluar adalah kesalahan terbesar dalam
hidupku. Bagaimana mungkin aku bisa tega membiarkan adik kecilku yang masih
berusia sebelas tahun untuk mengendarai sepeda sendiri pergi ke toko buku.
“Adikmu terbilang sangat beruntung,
masih dapat diselamatkan. Walaupun kita tidak tahu bagaimana nantinya. Aku juga
mendoakan yang terbaik.” Kata pak Polisi itu, kulihat namanya bernama
Agustinus.
“Terima kasih, pak.” Kataku. “Ini
kesalahan saya telah mengijinkannya keluar malam-malam.”
“Tidak ada yang merupakan kesalahan
anda, bagaimanapun, hal tersebut sudah menjadi takdir hidup kita. Mau
bagaimanapun anda menyesal, semua telah di rencanakan oleh sang pencipta.”
Katanya sambil mengelus-elus halus pundakku.
“Mari kita berdoa bersama di dalam
hati demi adikmu.”
Kemudian kami duduk dalam
keheningan. Aku memejamkan mata dan mulai berkomunikasi dengan Tuhan. Aku
meminta pertolongan-Nya, dan aku telah menyesali setiap perbuatanku. Aku
membutuhkan kesembuhan Ryan.
Kami sama-sama selesai berdoa. Dan
aku merasa lebih tenang sedikit.
“Gimana? Sudah agak tenang? Setelah
berkomunikasi dengan Tuhan, kita seperti memberikan beban yang kita rangkul
kepada-Nya untuk dibantu.”
“Sudah, pak.” Kataku sambil
tersenyum kecil.
“Andy!” tiba-tiba terdengar suara
dari luar ruang UGD yang memanggil namaku, itu ayah.
“Apa yang terjadi? Ketika pesan
pendekmu masuk, ayah langsung bergegas datang kesini.”
“Selamat malam, Pak. Mari kita
duduk dulu sambil membicarakannya.” Ucap pak polisi tadi. Dan ayah menurutinya.
Kemudian pak polisi itu yang mengambil kendali pembicaraan, dia menjelaskan apa
yang terjadi terhadap Ryan.
“Kenapa kamu seperti itu, Dy? Kau
tau dia masih kecil. Kenapa kau biarkan dia keluar malam sendiri?” tanya
ayahku.
Aku hanya bisa terdiam, tidak dapat
menjawab.
“Sudah, pak. Andy sudah menyesali
apa yang dia perbuat. Mari kita bersama-sama berdoa dan menunggu hasilnya.
Mungkin sebentar lagi dokter akan keluar.” Kata pak polisi berusaha menenangkan
ayah.
Sekitar tiga puluh menit kemudian,
dokter keluar.
“Bagaimana dokter?” aku segera
berlari ke arah dokter, berharap mendapat jawaban yang baik.
“Maaf, kami telah berusaha semampu
kami untuk menolong anak ini. Dia telah kehilangan banyak sekali darah. Dan
juga tabrakan tersebut menyebabkan beberapa tulang patah dan terkena pada
beberapa organ vitalnya.”
Aku terdiam, dan kemudian menangis.
Ayah merangkulku. Pak polisi yang berdiri di sampingku juga merasakan kesedihan
yang aku alami. Rasa kehilangan seseorang yang kita kasihi, tidak begittu mudah
kita terima.
Aku tidak berhenti menangis selama
lima menit lamanya. Pak polisi berusaha menenangkanku. Dan terlihat ayah sedang
berbicara dengan pak dokter, mata ayah menyiratkan kesedihan yang luar biasa,
namun ia menahannya di dalam hati.
“Ryan sempat bangun beberapa saat
sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya, dan berbicara kepada dokter.” Kata
ayah, datang menghampiri tempat dimana aku sedang menenangkan diri.
“Apa yang dikatakannya? Apa pesan-pesan terakhirnya?”
“Dia ingin meminta maaf denganmu,
karena tidak bisa menjadi adik yang baik. Dan berterima kasih atas kebaikkan
yang kamu berikan kepadanya.”
Sontak kalimat itu memberikan
pukulan yang telak kepadaku. Hatiku terasa berat, terasa sesak seperti ada
sesuatu yang menindih dadaku. Aku tidak dapat menahan air mata yang keluar. Aku
ingin sekali berteriak kencang, sekencang-kencangnya. Namun aku menggigit jari
tanganku sehingga aku tidak menimbulkan suara yang dapat mengganggu orang lain.
“Dan juga, dia mengatakan untuk
menyerahkan buku yang dibelinya kepada kamu.” Kata ayah sambil menyerahkan
sebuah buku cerita. Judulnya ‘Strong’.
Sebuah kisah mengenai seorang kakak yang kehilangan adiknya di sebuah medan
perang. Sebuah cerita yang mengajarkan bagaimana sakitnya kehilangan seorang adik yang kita sayangi, bagaimana cara seseorang untuk bisa bangkit dari kesedihan yang mendalam.
Aku peluk kuat-kuat buku yang
dititipkannya padaku. Sampai saat ini, buku itu tidak pernah jauh dari tempat
tidurku. Setiap malam aku membacanya, setiap aku bosan, aku akan membacanya.
Setelah hari itu, aku menjadi lebih diam dan penurut. Lebih banyak membaca dan
mendengar daripada berbicara. Sekarang rumah menjadi lebih sepi, hanya aku dan
ayah. Ibu telah tiada sejak Ryan lahir.
Dan hari ini tepat tiga tahun
setelah Ryan berpulang ke sisi-Nya. Bagaimanapun, kau adalah adik yang aku
sayang, Ryan. Maafkan kebodohan dan ketidakmampuanku dalam menjagamu. Sebuah pelajaran berharga telah aku dapatkan dari kehilangan dirimu. Pelajaran penting yang tidak semua orang dapatkan. Semoga di
kehidupan berikutnya, kita bisa tetap menjadi saudara. Dan aku berjanji akan
menjagamu dengan baik. Lebih baik daripada yang telah aku lakukan.