Powered By Blogger

Kamis, 07 Agustus 2014

Sebutir Pasir Kehidupan

Pagi ini, seperti biasa. Aku, Mamat dan Tika bersama-bersama berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Jarak rumah kami bertiga tidaklah jauh, dapat ditempuh dengan jalan kaki beberapa menit saja. Setiap pagi, jam lima, merekalah yang selalu datang ke rumahku. Setelah semua sudah lengkap, kami pun berangkat.
Jarak dari rumahku ke sekolah hanya memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Melewati sungai kecil dan lapangan sepak bola desa kami, membuatku tidak dapat lepas jauh dari desa ini, begitu banyak kenangan yang telah terukir disini. Dan juga, semua orang sangat ramah satu sama lain. Kami bertiga tersenyum senang, persahabatan yang telah kami jaga selama ini, membuat kami sadar bahwa tidak ada yang lebih menyenangkan daripada memiliki teman yang siap berkorban dan siap menjaga satu sama lainnya.
Tidak terasa kami telah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, dan akhirnya kami pun tiba di sekolah. Kami langsung bergegas ke kelas kami masing-masing. Aku dan Tika berada di dalam kelas yang sama, kecuali Mamat, ia berada di kelas yang berbeda. Walaupun tidak berada pada satu kelas yang sama, pada jam istirahat, kami selalu bersama ke kantin untuk memakan bekal yang kami bawa dari rumah.
Suasana sekolah pagi ini masih sangat sepi, karena memang baru jam enam dan kami masuk pukul tujuh. Kebetulan hari ini aku bertugas piket. Aku kemudian pergi ke kantor guru untuk mengambil daftar absensi murid dan beberapa kapur tulis. Tika ikut menemaniku ke kantor. Aku ingat sebelum kami meninggalkan kelas, kelas tersebut kosong karena masih belum ada murid yang datang.
Di dalam perjalanan ke kantor, kami melewati kelas Mamat, terlihat Mamat sedang asik bercanda dengan teman sekelasnya. Raut wajah yang tampak bahagia itu, menempel lekat tak terlepas dari wajahnya. Aku dan Tika pun ikut merasakan kebahagiaan yang dipancarkan oleh Mamat dari dalam kelas itu.
Sesampainya kami di kantor, aku pun mencari wali kelas kami, meminta absensi dan beberapa kapur tulis untuk aku bawa kembali ke kelas. Tika menunggu di  luar kantor, karena hanya murid yang berkepentinganlah yang boleh masuk ke dalam kantor.
Setelah selesai dengan urusan di dalam kantor, aku pun keluar. Kami pun memutuskan kembali ke dalam kelas dan menunggu sampai waktu bel berbunyi dengan belajar di dalam kelas.
Dalam perjalanan, kami bertemu dengan Sumanti, gadis keturunan Jawa-Belanda yang juga merupakan salah satu teman baikku di kelas. Kami selalu belajar dan berdiskusi bersama, dia termasuk anak yang sangat pintar. Kami bertiga pun berjalan berbarengan ke dalam kelas.
Aku meletakkan kapur tulis dan absensi di meja guru, kemudian ikut berkumpul dengan Tika dan Sumanti membahas PR yang diberikan guru kemarin. Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat, dan bel tanda masuk pelajaran telah berbunyi. Aku pun segera duduk ke tempatku seharusnya.
Pelajaran pertama hari ini adalah fisika, tidak banyak yang menyukai pelajaran ini karena sangat menyusahkan. Dari rumus-rumus yang begitu banyak, membuat banyak murid yang memilih untuk berpindah jurusan dari IPA ke jurusan IPS. Namun tidak untuk kami, kami sangat menyukai pelajaran bidang IPA, karena sangat menyenangkan, terutama matematika dan fisika yang dipenuhi oleh rumus-rumus.
“Nanti ke kantin kan?” tanya Tika ditengah pelajaran matematika pak Budi sedang berlangsung.
“Oke, bawa bekal gak hari ini?”
“Bawa dong. Seperti biasa.”
“Mie lagi?”
“Mie goreng dan nasi goreng.” Ucapnya sambil tertawa terkekeh.
“Kamu ikut ke kantin gak, Titi?” tanyaku pada Sumanti, Titi adalah panggilan dari aku, Tika dan Mamat kepadanya.
“Engga deh, aku lagi pengen nabung, ada barang yang mau aku beli.” Ucapnya.
“Barang apa?” tanya Tika.
“Barang yang adikku mau.”
“Oh, oke deh. “
*
Akhirnya pelajaran ketiga telah usai. Mamat terlihat telah menunggu di luar kelas kami sambil membawa kotak bekal di tangan kanannya.
“Yuk, ke kantin.”
“Itulah sebabnya aku berdiri disini.” Jawab Mamat. “Eh, Sumanti gak ikut?”
“Engga, dia lagi nabung.” Jawab Tika.
Kami pun bergegas berjalan ke kantin, karena waktu istirahat tidaklah begitu lama.
“Apa yang kau bawa hari ini?” tanya Tika kepadaku.
“Nasi kuning. Aku bangun pagi hari ini buat ayam goreng yang cukup untuk kita bertiga.”
“Kau buatkan aku ayam goreng? Terima kasih, Marni. Kau sahabat yang paling mengerti diriku.” Ucap Mamat.
“Dasar, kalau udah masalah ayam, paling cepat deh.”
Mamat tersenyum bahagia dengan menunjukkan deretan giginya kepada dua sahabatnya itu. Aku dan Tika pun ikut tersenyum lebar. Ingin rasanya waktu ini tidak berlalu begitu cepat.
Kami menikmati bekal sambil bercanda. Mengingat masa lalu, ketika masih kecil. Sering sekali kami mengganggu sapi-sapi yang sedang memakan rumput dan juga melempar batu ke kawanan bebek yang sedang berjalan. Kenangan tersebut membuat kami bertiga tertawa girang. Betapa indahnya masa kecil, tanpa beban, tanpa masalah. Beda dengan ketika kita sudah mulai beranjak dewasa. Masa SMA yang sedang kami jalani ini, begitu banyak sekali persoalan-persoalan sepele yang bisa ditangani tanpa membuat masalah baru lagi.
Waktu istirahat pun telah usai, kami bertiga kembali ke dalam kelas. Mamat berpisah dengan kami, aku dan Tika pun bergegas masuk ke dalam kelas sebelum terlambat.
Sesampainya kami di kelas, hal pertama yang aku membuatku merasa aneh adalah, tas. Aku kehilangan tasku. Tasku sudah tidak berada di meja tempat dudukku yang seharusnya.
“Taskku!” seruku. “Tasku hilang.”
“Hey! Siapa yang sembunyiin tasnya Marni? Cepat bilang. Gak lucu nih main sembunyi-sembunyiin tas.” Seru Tika dengan suara lantang, sehingga terdengar sampai di telinga guru yang akan masuk mengajar di kelas kami.
"Tas siapa yang disembunyiin?” tanya pak Budi.
“Ini pak, tasnya Marni.” Ucap Tika.
“Ayo. Siapa yang sembunyiin. Segera kembalikan. Jangan buat masalah lagi. Kalian sudah berada di kelas tiga. Kelas terakhir jangan buat masalah lagi. Bahaya.” Ucap pak Budi.
Seisi kelas terdiam, dan saling pandang. Tidak ada satu pun yang mengaku.
“Tadi kalian kemana?” tanya pak Budi kepadaku.
“Kami ke kantin, pak. Makan bekal yang kami bawa dari rumah, hanya bawa kotak makanan saja, sedangkan tas kami tinggalkan di kelas. Ini masih kami pegang kotak makanan kami.” Ucapku. Pak Budi melirik sekilas kotak makanan kami.
“Saya juga tidak ingin ada masalah ini. Jika tidak ingin diperbesar, mending jujur saja, siapa yang mengambil tas Marni.” Seru pak Budi.
Semuanya menunduk, kecuali satu orang, Sumanti.
“Sa—“ Sumanti memberanikan diri untuk berbicara. “Saya pak, yang mengambil tas Marni.”
Sontak aku terkejut, Tika juga tidak kalah terkejutnya denganku. Sumanti, teman baikku dan Tika, telah mengambil tasku. Teman yang selama ini aku percayai.
“Kenapa kamu mengambil tas Marni, Sumanti?” tanya pak Budi.
“Saya ada alasan sendiri, pak. Maafkan saya, saya mengambilnya. Saya akan mengembalikannya.” Kemudian Sumanti berjalan keluar dari kelas.
Tidak memakan waktu lama, Sumanti kembali ke dalam kelas dengan membawa satu kantong hitam besar dan di dalamnya terdapat sebuah tas pink, itu tas milikku. Sumanti menyerahkan tasnya kepadaku sambil menunduk.
“Aku minta maaf.” Ucapnya pelan.
Aku melihat ada butiran-butiran air mata yang mulai berjatuhan di pipinya. Aku tidak mengerti alasan apa yang membuat Sumanti mengambil tasku.
“Nanti istirahat ke kantor cari bapak,” ucap pak Budi kepada Sumanti. Sumanti hanya mengangguk pelan, kemudian berjalan pelan ke tempat duduknya dan terus menundukkan wajahnya.
“Ayo kembali ke pelajaran, anak-anak.” Lanjut pak Budi. “Jangan buat masalah ini jadi gossip di luar kelas kalian. Jika sampai terdengar di telinga saya, kelas kalian akan saya berikan hukuman.” Ancam pak Budi.
Pelajaran pun berlangsung dengan normal. Namun mataku terus tertuju ke arah Sumanti, ia tidak mengikuti pelajaran seperti biasanya. Mungkin dia masih malu dengan kejadian yang barusan terjadi. Aku akan menemuinya dan menanyakan alasan atas perlakuannya ketika pulang sekolah.
Selama jam istirahat kedua, Sumanti tidak menampakan dirinya di hadapanku dan Tika. Mamat yang datang ke kelas kami, terkejut mengenai masalah tersebut.
“Serius?” tanyanya dengan raut wajah yang kebingungan. “Serius dia melakukan hal itu?”
“Iya,” jawab Tika pelan. “Aku aja terkejut dia kayak gitu, ya ampun.”
“Sudah-Sudah. Jangan ungkit lagi masalah ini. Biarkan saja, yang penting dia mengakui perbuatannya dan sudah minta maaf kepadaku. Yang aku ingin tahu hanyalah alasan dibalik tindakannya itu.”
Jam istirahat kedua pun telah usai. Sumanti terlihat memasuki kelas beberapa saat sebelum guru yang mengajar masuk. Semua mata murid di dalam kelas tertuju padanya. Dan dia hanya bisa menundukkan kepala.
*
Bel menandakan pelajaran telah usai pun berbunyi. Kami semua masing-masing membereskan buku ke dalam tas. Sebelum pulang, tidak lupa kami berdoa supaya terjaga selama perjalanan pulang. Selesai berdoa, aku mencari-cari keberadaan Sumanti, namun tidak terlihat lagi. Aku ingat bahwa pak Budi telah memberikan hukuman ketika istirahat kedua tadi.
“Ayo cari Sumanti.” Ajakku. Mamat dan Tika menganggukkan kepala sebagai tanda setuju atas ajakkanku.
Kami pun terus mencari-cari keberadaan Sumanti. Di taman sekolah, di kantin, di kelas-kelas.  Kami tidak berhasil menemukan Sumanti dimanapun.
“Lebih cepat cari pak Budi, dan bertanya apa hukuman yang diberikan dan dimana hukuman itu dilakukan.” Ajak Mamat.
“Terkadang kau pintar juga, Mat.” Ledek Tika.
Aku pun setuju, dan kami bertiga langsung bergegas menuju kantor guru. Sesampainya kami di kantor guru, kami mencari keberadaan pak Budi, dan ternyata Sumanti sedang bersama dengan pak Budi mengoreksi kertas-kertas tugas.
“Tuh Sumanti sama pak Budi.” Seruku.
“Oh, iya. Ayo kesana.” Ajak Mamat.
Kami bertiga berjalan menuju meja pak Budi. Sumanti melihat ke arahku, dan ia pun tertunduk malu.
“Ada urusan apa kalian bertiga?” tanya pak Budi.
“Kami kesini ingin bertemu dengan Sumanti, Pak.” Jawabku.
“Aku sudah minta maaf, lalu apa lagi?” bentak Sumanti. “Kalian mau permalukan aku lagi? Atas tindakanku tadi?” tanyanya.
“Tidak. Aku hanya ingin tau alasan kenapa kau mengambil tasku. Apakah begitu berartinya tasku buatmu? Jika demikian, aku bakal berikan tasku buatmu. Tidak apa, kau bisa memintanya dariku. Kita teman baik, kan?” ucapku.
“Kau tidak mengerti apa yang aku rasakan. Aku hanya orang miskin. Aku bahkan tidak bisa membahagiakan adikku.”
“Oh, kau ingin memberikan adikmu sesuatu? Itu sebabnya kau menabung?” tanya Tika.
“Iya.” jawabnya pelan.
“Kau ingin membelikannya tas bagus?” tanyaku.
“Iya,” jawabnya. “Dan itu harganya sangat mahal. Aku tidak mampu membelikannya sebuah tas, aku ingin membuatnya tersenyum. Itu saja.” Kemudian air matanya terjatuh, dan dia menangis.
Aku dan Tika juga turut merasakan kesedihan yang dia rasakan. Begitu beratnya perjuangan seorang kakak yang berusaha membuat adik yang dia sayang bahagia. Aku memeluknya, dan berbisik. “Aku akan memberikanmu tasku. Tidak apa. Anggap saja hadiahku untukmu. Jadikan tasku ini sebagai hadiah untuk adikmu. Jika dia senang, dan kamu senang. Maka aku juga akan senang. Kita adalah teman.”
Sumanti pun menangis. Pak Budi ikut senang melihat murid-muridnya dapat berteman dengan baik. Sebuah kejadian yang sangat jarang sekali terlihat.
“Terima kasih.” Ucap Sumanti.
“Sama-sama.” Ucapku. “Kamu bisa menghubungiku kapan saja jika sedang kesusahan. Aku tidak masalah.”

Begitulah akhirnya Sumanti dan aku semakin dekat. Begitupula dengan Tika dan Mamat. Sumanti menjadi bagian dari kami bertiga. Semakin banyak kenangan yang akan kami buat di kelas tiga SMA ini. Kelas  terakhir dimana merupakan masa-masa untuk membuat banyak kenangan indah yang tidak terlupakan sampai tua nanti. Sebuah kisah kehidupan anak SMA. Sebuah kisah hidup  seseorang, di dalam kemiskinan, yang hidup hanya dari senyuman seorang adik. Dunia begitu luas. Mungkin kisahku dan Sumanti hanya bagian kecil. Layaknya sebutir pasir yang berada di pantai. Dunia begitu luas. Sebutir pasir kehidupan. Menyayangi dan disayangi. Begitu besarnya rasa sayang dapat mengubah sifat seseorang.

2 komentar:

  1. ad 2 typo ni. hahaha
    d sni "Masa SMA yang sedang kami jalani ini, begitu banyak sekali persoalan-persoalan sepele yang bisa ditangani tanpa membuat masalah baru lagi" kek na ad kurang kata "tidak"
    trus yg "Marni, teman baikku dan Tika, mengambil tasku. Teman yang selama ini aku percayai.", Marni ny hrus d gnti jd Sumanti.
    sori y byk kritik. scra kslruhan crita na ud bgus kq
    brjuang trus y!!^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah maafkan aku.. haha siap bos! saya akan perbaiki.. terima kasih..

      Hapus