Pagi ini, seperti biasa. Aku, Mamat
dan Tika bersama-bersama berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Jarak rumah
kami bertiga tidaklah jauh, dapat ditempuh dengan jalan kaki beberapa menit
saja. Setiap pagi, jam lima, merekalah yang selalu datang ke rumahku. Setelah
semua sudah lengkap, kami pun berangkat.
Jarak dari rumahku ke sekolah hanya
memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Melewati sungai kecil dan lapangan
sepak bola desa kami, membuatku tidak dapat lepas jauh dari desa ini, begitu
banyak kenangan yang telah terukir disini. Dan juga, semua orang sangat ramah
satu sama lain. Kami bertiga tersenyum senang, persahabatan yang telah kami
jaga selama ini, membuat kami sadar bahwa tidak ada yang lebih menyenangkan
daripada memiliki teman yang siap berkorban dan siap menjaga satu sama lainnya.
Tidak terasa kami telah menempuh
perjalanan selama tiga puluh menit, dan akhirnya kami pun tiba di sekolah. Kami
langsung bergegas ke kelas kami masing-masing. Aku dan Tika berada di dalam
kelas yang sama, kecuali Mamat, ia berada di kelas yang berbeda. Walaupun tidak
berada pada satu kelas yang sama, pada jam istirahat, kami selalu bersama ke
kantin untuk memakan bekal yang kami bawa dari rumah.
Suasana sekolah pagi ini masih
sangat sepi, karena memang baru jam enam dan kami masuk pukul tujuh. Kebetulan
hari ini aku bertugas piket. Aku kemudian pergi ke kantor guru untuk mengambil
daftar absensi murid dan beberapa kapur tulis. Tika ikut menemaniku ke kantor.
Aku ingat sebelum kami meninggalkan kelas, kelas tersebut kosong karena masih
belum ada murid yang datang.
Di dalam perjalanan ke kantor, kami melewati kelas
Mamat, terlihat Mamat sedang asik bercanda dengan teman sekelasnya. Raut wajah
yang tampak bahagia itu, menempel lekat tak terlepas dari wajahnya. Aku dan
Tika pun ikut merasakan kebahagiaan yang dipancarkan oleh Mamat dari dalam
kelas itu.
Sesampainya kami di kantor, aku pun
mencari wali kelas kami, meminta absensi dan beberapa kapur tulis untuk aku
bawa kembali ke kelas. Tika menunggu di
luar kantor, karena hanya murid yang berkepentinganlah yang boleh masuk
ke dalam kantor.
Setelah selesai dengan urusan di
dalam kantor, aku pun keluar. Kami pun memutuskan kembali ke dalam kelas dan
menunggu sampai waktu bel berbunyi dengan belajar di dalam kelas.
Dalam perjalanan, kami bertemu
dengan Sumanti, gadis keturunan Jawa-Belanda yang juga merupakan salah satu
teman baikku di kelas. Kami selalu belajar dan berdiskusi bersama, dia termasuk
anak yang sangat pintar. Kami bertiga pun berjalan berbarengan ke dalam kelas.
Aku meletakkan kapur tulis dan
absensi di meja guru, kemudian ikut berkumpul dengan Tika dan Sumanti membahas
PR yang diberikan guru kemarin. Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat, dan
bel tanda masuk pelajaran telah berbunyi. Aku pun segera duduk ke tempatku
seharusnya.
Pelajaran pertama hari ini adalah
fisika, tidak banyak yang menyukai pelajaran ini karena sangat menyusahkan.
Dari rumus-rumus yang begitu banyak, membuat banyak murid yang memilih untuk
berpindah jurusan dari IPA ke jurusan IPS. Namun tidak untuk kami, kami sangat
menyukai pelajaran bidang IPA, karena sangat menyenangkan, terutama matematika
dan fisika yang dipenuhi oleh rumus-rumus.
“Nanti ke kantin kan?” tanya Tika
ditengah pelajaran matematika pak Budi sedang berlangsung.
“Oke, bawa bekal gak hari ini?”
“Bawa dong. Seperti biasa.”
“Mie lagi?”
“Mie goreng dan nasi goreng.”
Ucapnya sambil tertawa terkekeh.
“Kamu ikut ke kantin gak, Titi?”
tanyaku pada Sumanti, Titi adalah panggilan dari aku, Tika dan Mamat kepadanya.
“Engga deh, aku lagi pengen nabung,
ada barang yang mau aku beli.” Ucapnya.
“Barang apa?” tanya Tika.
“Barang yang adikku mau.”
“Oh, oke deh. “
*
Akhirnya pelajaran ketiga telah
usai. Mamat terlihat telah menunggu di luar kelas kami sambil membawa kotak
bekal di tangan kanannya.
“Yuk, ke kantin.”
“Itulah sebabnya aku berdiri
disini.” Jawab Mamat. “Eh, Sumanti gak ikut?”
“Engga, dia lagi nabung.” Jawab
Tika.
Kami pun bergegas berjalan ke
kantin, karena waktu istirahat tidaklah begitu lama.
“Apa yang kau bawa hari ini?” tanya
Tika kepadaku.
“Nasi kuning. Aku bangun pagi hari
ini buat ayam goreng yang cukup untuk kita bertiga.”
“Kau buatkan aku ayam goreng?
Terima kasih, Marni. Kau sahabat yang paling mengerti diriku.” Ucap Mamat.
“Dasar, kalau udah masalah ayam,
paling cepat deh.”
Mamat tersenyum bahagia dengan
menunjukkan deretan giginya kepada dua sahabatnya itu. Aku dan Tika pun ikut
tersenyum lebar. Ingin rasanya waktu ini tidak berlalu begitu cepat.
Kami menikmati bekal sambil bercanda.
Mengingat masa lalu, ketika masih kecil. Sering sekali kami mengganggu
sapi-sapi yang sedang memakan rumput dan juga melempar batu ke kawanan bebek
yang sedang berjalan. Kenangan tersebut membuat kami bertiga tertawa girang.
Betapa indahnya masa kecil, tanpa beban, tanpa masalah. Beda dengan ketika kita
sudah mulai beranjak dewasa. Masa SMA yang sedang kami jalani ini, begitu
banyak sekali persoalan-persoalan sepele yang bisa ditangani tanpa membuat
masalah baru lagi.
Waktu istirahat pun telah usai, kami
bertiga kembali ke dalam kelas. Mamat berpisah dengan kami, aku dan Tika pun
bergegas masuk ke dalam kelas sebelum terlambat.
Sesampainya kami di kelas, hal
pertama yang aku membuatku merasa aneh adalah, tas. Aku kehilangan tasku. Tasku
sudah tidak berada di meja tempat dudukku yang seharusnya.
“Taskku!” seruku. “Tasku hilang.”
“Hey! Siapa yang sembunyiin tasnya
Marni? Cepat bilang. Gak lucu nih main sembunyi-sembunyiin tas.” Seru Tika
dengan suara lantang, sehingga terdengar sampai di telinga guru yang akan masuk mengajar di kelas kami.
"Tas siapa yang disembunyiin?”
tanya pak Budi.
“Ini pak, tasnya Marni.” Ucap Tika.
“Ayo. Siapa yang sembunyiin. Segera
kembalikan. Jangan buat masalah lagi. Kalian sudah berada di kelas tiga. Kelas
terakhir jangan buat masalah lagi. Bahaya.” Ucap pak Budi.
Seisi kelas terdiam, dan saling
pandang. Tidak ada satu pun yang mengaku.
“Tadi kalian kemana?” tanya pak
Budi kepadaku.
“Kami ke kantin, pak. Makan bekal
yang kami bawa dari rumah, hanya bawa kotak makanan saja, sedangkan tas kami tinggalkan di kelas. Ini masih kami
pegang kotak makanan kami.” Ucapku. Pak Budi melirik sekilas kotak makanan kami.
“Saya juga tidak ingin ada masalah
ini. Jika tidak ingin diperbesar, mending jujur saja, siapa yang mengambil tas
Marni.” Seru pak Budi.
Semuanya menunduk, kecuali satu
orang, Sumanti.
“Sa—“ Sumanti memberanikan diri
untuk berbicara. “Saya pak, yang mengambil tas Marni.”
Sontak aku terkejut, Tika juga
tidak kalah terkejutnya denganku. Sumanti, teman baikku dan Tika, telah mengambil
tasku. Teman yang selama ini aku percayai.
“Kenapa kamu mengambil tas Marni,
Sumanti?” tanya pak Budi.
“Saya ada alasan sendiri, pak.
Maafkan saya, saya mengambilnya. Saya akan mengembalikannya.” Kemudian Sumanti
berjalan keluar dari kelas.
Tidak memakan waktu lama, Sumanti
kembali ke dalam kelas dengan membawa satu kantong hitam besar dan di dalamnya terdapat sebuah tas pink, itu tas milikku.
Sumanti menyerahkan tasnya kepadaku sambil menunduk.
“Aku minta maaf.” Ucapnya pelan.
Aku melihat ada butiran-butiran air
mata yang mulai berjatuhan di pipinya. Aku tidak mengerti alasan apa yang
membuat Sumanti mengambil tasku.
“Nanti istirahat ke kantor cari
bapak,” ucap pak Budi kepada Sumanti. Sumanti hanya mengangguk pelan, kemudian
berjalan pelan ke tempat duduknya dan terus menundukkan wajahnya.
“Ayo kembali ke pelajaran,
anak-anak.” Lanjut pak Budi. “Jangan buat masalah ini jadi gossip di luar kelas
kalian. Jika sampai terdengar di telinga saya, kelas kalian akan saya berikan
hukuman.” Ancam pak Budi.
Pelajaran pun berlangsung dengan
normal. Namun mataku terus tertuju ke arah Sumanti, ia tidak mengikuti
pelajaran seperti biasanya. Mungkin dia masih malu dengan kejadian yang barusan
terjadi. Aku akan menemuinya dan menanyakan alasan atas perlakuannya ketika
pulang sekolah.
Selama jam istirahat kedua, Sumanti
tidak menampakan dirinya di hadapanku dan Tika. Mamat yang datang ke kelas
kami, terkejut mengenai masalah tersebut.
“Serius?” tanyanya dengan raut
wajah yang kebingungan. “Serius dia melakukan hal itu?”
“Iya,” jawab Tika pelan. “Aku aja
terkejut dia kayak gitu, ya ampun.”
“Sudah-Sudah. Jangan ungkit lagi
masalah ini. Biarkan saja, yang penting dia mengakui perbuatannya dan sudah
minta maaf kepadaku. Yang aku ingin tahu hanyalah alasan dibalik tindakannya
itu.”
Jam istirahat kedua pun telah usai.
Sumanti terlihat memasuki kelas beberapa saat sebelum guru yang mengajar masuk.
Semua mata murid di dalam kelas tertuju padanya. Dan dia hanya bisa menundukkan
kepala.
*
Bel menandakan pelajaran telah usai
pun berbunyi. Kami semua masing-masing membereskan buku ke dalam tas. Sebelum
pulang, tidak lupa kami berdoa supaya terjaga selama perjalanan pulang. Selesai
berdoa, aku mencari-cari keberadaan Sumanti, namun tidak terlihat lagi. Aku
ingat bahwa pak Budi telah memberikan hukuman ketika istirahat kedua tadi.
“Ayo cari Sumanti.” Ajakku. Mamat
dan Tika menganggukkan kepala sebagai tanda setuju atas ajakkanku.
Kami pun terus mencari-cari
keberadaan Sumanti. Di taman sekolah, di kantin, di kelas-kelas. Kami tidak berhasil menemukan Sumanti
dimanapun.
“Lebih cepat cari pak Budi, dan
bertanya apa hukuman yang diberikan dan dimana hukuman itu dilakukan.” Ajak
Mamat.
“Terkadang kau pintar juga, Mat.”
Ledek Tika.
Aku pun setuju, dan kami bertiga
langsung bergegas menuju kantor guru. Sesampainya kami di kantor guru, kami
mencari keberadaan pak Budi, dan ternyata Sumanti sedang bersama dengan pak
Budi mengoreksi kertas-kertas tugas.
“Tuh Sumanti sama pak Budi.”
Seruku.
“Oh, iya. Ayo kesana.” Ajak Mamat.
Kami bertiga berjalan menuju meja
pak Budi. Sumanti melihat ke arahku, dan ia pun tertunduk malu.
“Ada urusan apa kalian bertiga?”
tanya pak Budi.
“Kami kesini ingin bertemu dengan
Sumanti, Pak.” Jawabku.
“Aku sudah minta maaf, lalu apa
lagi?” bentak Sumanti. “Kalian mau permalukan aku lagi? Atas tindakanku tadi?”
tanyanya.
“Tidak. Aku hanya ingin tau alasan
kenapa kau mengambil tasku. Apakah begitu berartinya tasku buatmu? Jika
demikian, aku bakal berikan tasku buatmu. Tidak apa, kau bisa memintanya
dariku. Kita teman baik, kan?” ucapku.
“Kau tidak mengerti apa yang aku
rasakan. Aku hanya orang miskin. Aku bahkan tidak bisa membahagiakan adikku.”
“Oh, kau ingin memberikan adikmu sesuatu? Itu sebabnya kau menabung?” tanya Tika.
“Iya.” jawabnya pelan.
“Kau ingin membelikannya tas
bagus?” tanyaku.
“Iya,” jawabnya. “Dan itu harganya
sangat mahal. Aku tidak mampu membelikannya sebuah tas, aku ingin membuatnya
tersenyum. Itu saja.” Kemudian air matanya terjatuh, dan dia menangis.
Aku dan Tika juga turut merasakan
kesedihan yang dia rasakan. Begitu beratnya perjuangan seorang kakak yang
berusaha membuat adik yang dia sayang bahagia. Aku memeluknya, dan berbisik.
“Aku akan memberikanmu tasku. Tidak apa. Anggap saja hadiahku untukmu. Jadikan
tasku ini sebagai hadiah untuk adikmu. Jika dia senang, dan kamu senang. Maka
aku juga akan senang. Kita adalah teman.”
Sumanti pun menangis. Pak Budi ikut
senang melihat murid-muridnya dapat berteman dengan baik. Sebuah kejadian yang
sangat jarang sekali terlihat.
“Terima kasih.” Ucap Sumanti.
“Sama-sama.” Ucapku. “Kamu bisa
menghubungiku kapan saja jika sedang kesusahan. Aku tidak masalah.”
Begitulah akhirnya Sumanti dan aku
semakin dekat. Begitupula dengan Tika dan Mamat. Sumanti menjadi bagian dari
kami bertiga. Semakin banyak kenangan yang akan kami buat di kelas tiga SMA
ini. Kelas terakhir dimana merupakan
masa-masa untuk membuat banyak kenangan indah yang tidak terlupakan sampai tua
nanti. Sebuah kisah kehidupan anak SMA. Sebuah kisah hidup seseorang, di dalam kemiskinan, yang hidup
hanya dari senyuman seorang adik. Dunia begitu luas. Mungkin kisahku dan
Sumanti hanya bagian kecil. Layaknya sebutir pasir yang berada di pantai. Dunia
begitu luas. Sebutir pasir kehidupan. Menyayangi dan disayangi. Begitu besarnya
rasa sayang dapat mengubah sifat seseorang.
ad 2 typo ni. hahaha
BalasHapusd sni "Masa SMA yang sedang kami jalani ini, begitu banyak sekali persoalan-persoalan sepele yang bisa ditangani tanpa membuat masalah baru lagi" kek na ad kurang kata "tidak"
trus yg "Marni, teman baikku dan Tika, mengambil tasku. Teman yang selama ini aku percayai.", Marni ny hrus d gnti jd Sumanti.
sori y byk kritik. scra kslruhan crita na ud bgus kq
brjuang trus y!!^^
wah maafkan aku.. haha siap bos! saya akan perbaiki.. terima kasih..
Hapus