Pada umumnya,
orang-orang berharap mendapatkan kado di hari ulang tahunnya, itu wajar, terutama
bagi anak kecil. Namun, tidak sedikit orang yang
tidak pernah sama sekali merasakan yang namanya diberikan sebuah kado pada saat ulang tahun. Dan
aku salah satu orang berada dalam daftar orang-orang yang tidak pernah menerima
hadiah ulang tahun, dan aku mengakuinya dengan sangat terpaksa.
Sebentar lagi usiaku masuk ke tahun yang manis.
Orang menyebutnya Sweet Seventeen makanya aku menyebutnya tahun yang manis. Terhitung sudah
enam belas tahun aku tidak pernah menerima satupun bingkisan berupa kotak yang
isinya mungkin bisa berupa jam, topi, ataupun parfum. Dan setiap tahun aku menunggu 'itu', itu yang sering kusebut dengan harapanku.
Harapan tidak akan
pernah menjadi kenyataan jika hanya satu pihak yang tahu, sehingga tidak ada pihak yang akan membantu mengabulkannya. Aku seorang introvert. Susah dalam hal
bersosialisasi dengan orang lain. Tidak heran jika tidak ada yang memberikan
ucapan kepadaku, apalagi kado. Jadi di tahun ini, aku tidak ingin berharap lagi, walaupun bisa aku
pastikan satu hari sebelum hari-H, aku akan terus menunggu sampai tengah malam.
Menunggu siapapun yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku. Karena suatu
kemungkinan tidak akan berada di angka
nol.
Hari H.
Pagi ini, aku merasakan
pusing yang luar biasa hebatnya. Bukan karena aku begadang semalaman demi
menunggu ucapan selamat ulang tahun. Dan ini bukan hal yang mengganggu lagi, karena aku sudah merasakan hal yang sama sejak aku masih
berada di lingkungan
anak sekolah bercelana
merah.
Ayah sempat bercerita bahwa aku dulu pernah mengalami kecelakaan.
Mungkin itulah akar masalahnya, tetapi aku tidak mengingat sedikit pun mengenai
kejadian itu dan akupun tidak begitu penasaran dengan kejadian itu. Setiap dua minggu sekali,
biasanya rasa pusing ini akan muncul menghantui kepalaku untuk beberapa saat.
Aku memasukkan beberapa obat resep dokter ke dalam mulut lalu menenggak air dalam jumlah yang
cukup banyak karena aku ingin cepat-cepat menghilangkan rasa pahitnya dari obat ini. Beberapa saat kemudian, rasa sakit itu
hilang, aku dapat duduk dengan tenang. Di
tengah keheningan itu, aku menyadari bahwa aku
belum mendapat satu ucapan dari siapapun.
Kalau suatu saat, aku
diberi pertanyaan, mana yang akan aku pilih antara kado dan ucapan atau memori
pasca kecelakaan. Aku akan memilih menjawab kado dan ucapan selamat ulang tahun.
Masa lalu biarlah berlalu. Itulah prinsipku, itulah sebabnya aku tidak ingin
mengakui bahwa aku belum pernah mendapatkan kado selama enam belas tahun.
Aku bergegas
menuju kamar mandi ketika melihat jam
sudah menunjukkan pukul 6.
Dalam lima menit, aku sudah dibalut handuk dalam keadaan kering. Tidak perlu
lama-lama berada di dalam WC.
Selesai berpakaian, aku
segera turun menuju ke arah dapur, mencari roti yang aku beli semalam di dalam lemari serta tidak ketinggalan keju dan susu kental manis.
Aku tinggal sendirian
dikota ini. Ayah dan ibu berada di suatu desa karena sedang ada proyek yang cukup besar yang
dikelola ayahku bersama dengan paman. Aku tetap selalu berhubungan melalui
telepon dan mengabarkan berita gembira kepada mereka bahwa aku baik-baik saja
disini.
Aku mengeluarkan
sepedaku dari garasi. Perjalanan dari rumah ke sekolah memakan waktu kira-kira
10 menit jika ditempuh dengan mengengkol sepeda buntut. Tidak begitu jauh jika
mengendarai sepeda motor.
Setiap pagi aku
melewati rumah makan padang kecil yang posisinya berada ditengah-tengah antara
rumahku dan sekolah. “Bungkus satu dong, seperti biasa,” seruku ketika sampai
di depan dan menyandarkan sepedaku ke dinding rumah makan itu.
“Extra tempe untukmu
hari ini.” Kata sang pemilik kedai, bu Ijah namanya.
“Wuih, terima kasih,
bu.” Kataku. Aku mengerling, mencari sosok
wanita yang selalu ku temui setiap pagi. “Nina
kemana? Tumben gak bantuin ibu pagi ini?” tanyaku. Nina adalah teman dekatku
saat ini. Semenjak aku bersekolah di sekolahku sekarang, aku selalu mampir di warungnya
untuk membeli bekal untuk aku makan
saat jam istirahat di sekolah. Ia adalah anak
tunggal dari pasangan bu Ijah dan pak Handoko. Namun pak Handoko telah berpulang ke surga ketika Nina masih
berusia sepuluh tahun.
“Katanya dia piket hari
ini. Jadinya dia duluan ke sekolah.” Kata bu Nina sembari tangan-tangannya
sedang asik memasukkan beberapa lauk menjadi satu bungkus.
“Oh,” aku merespon
datar. Biasanya aku akan berjalan kaki bersama dengan Nina menuju sekolah. Tapi
setiap hari Selasa, dia selalu berangkat lebih dulu untuk mengerjakan tugas
piketnya.
“Ini, udah,” kata bu
Ijah, menyodorkan satu bungkus nasi dan satu kotak bekal
kepadaku. “Ini sekalian nitip buat Nina,
makanannya ketinggalan. Bawanya hati-hati ya, nanti hancur isinya.”
“Oke bu. Siap!” seruku
dengan tegas. “Ada lagi?” tanyaku.
“Hati-hati di jalan,
nak.” Pesan bu Ijah.
Aku senang sekali mengenal
bu Ijah. Aku sudah menganggap dia sebagai ibu angkatku sendiri. Dia selalu
memperhatikanku. Tak jarang dia mengajakku makan malam di rumahnya bersama
dengan Nina. Keluarga kecil baruku kala ditinggal kedua orang tuaku ke kampung.
Aku mengangguk pelan
sambil tersenyum. Kembali mengengkol sepedaku menuju ke gedung besar tempatku
menuntut ilmu.
Sesampainya aku di
sekolah, aku mendorong sepedaku dari gerbang masuk sampai ke pelataran parkiran
khusus sepeda. Bertemu dengan beberapa “teman” saling melempar sapa dan senyum
setengah hati dan tidak ada satupun yang mengucapkan selamat ulang tahun
kepadaku.
Aku menghela napas
panjang. Tanpa kusadari, Nina sedari tadi mengekoriku hingga tempat parkir.
“Panjang amat bos
napasnya?” tanyanya.
“E-eh. Sejak kapan
disini?”
“Sejak kamu masuk
gerbang, aku baru saja buang sampah di depan.” Ujarnya sambil menunjuk ke arah
lokasi TPS di sebrang sekolah.
“Oh,”
“Mana bekalku?”
tanyanya. Pertanyaan itu mengingatkanku tentang titipan bu Ijah yang sedang
berada di dalam tasku.
“Ada, sebentar,”
kataku. “Aku parkirin sepedaku dulu.” Setelah selesai memarkirkan sepeda, tanpa
kusadari, aku baru saja kehilangan sosok Nina yang seharusnya berdiri di
belakangku.
TENG TENG, TENG TENG
Bunyi lonceng sekolah
yang menandakan bahwa jam sudah menujukkan pukul 7 bergema di sekitar kawasan
sekolah. Aku mengambil langkah panjang dan cepat agar tidak telat sampai di
kelas.
“Ah, bekalnya Nina di
tasku.” Pikirku ketika sampai di depan kelas. “Nanti akan kuantar ke kelasnya.”
Aku melewati tiga jam
pelajaran dengan mata tak bertenaga. Sangat ngantuk. Namun mataku kembali segar
ketika mengingat kotak bekal
milik Nina.
Segera aku berlari
keluar kelas sambil menenteng bekal
Nina, mencari-cari sosoknya di kelas namun tidak ketemu. Ke kantin, kantor
guru, toilet, perpustakaan,di semua tempat yang bisa aku pikirkan.
Aku berhenti sejenak di
taman, berharap bahwa ia melihatku. Aku membuka bungkusan nasi yang kubeli tadi
di warung bu Ijah. Dengan lahap aku memakan semua lauknya. Memang enak masakkan
bu Ijah.
“Enak?” terdengar suara
perempuan dari arah belakangku.
“Nina!” seruku hingga
tersedak. “Dari tadi aku mencarimu. Nih, bekalmu.” Aku menyodorkan kotak bekalnya.
“Aku duduk disini ya?”
tanyanya sambil melangkah mengambil tempat di sampingku.
“Tentu.” Jawabku.
Dia kemudian membuka kotak bekalnya
perlahan. Dan yang kulihat bukanlah daun ubi
atau pun ayam rendang. Melainkan sebuah kue ulang tahun kecil yang sudah cukup
hancur karena aku berlari-lari mencari sosoknya tadi.
Nina mengeluarkan
seseuatu dari saku roknya, sepasang lilin dengan angka 1 dan 7 serta korek api.
“Selamat ulang tahun
Dhika,” Nina mengangkat kotak bekal yang berisikan kue ke depan wajahku. “Aku
mikir semalaman buat surprise ini.
Untungnya kamu selalu beli nasi di warungku.”
Aku diam terpaku tanpa
mengucapkan sepatah kata pun. Bagiku, surprise seperti ini adalah sesuatu yang
sangat luar biasa. Kenangan ini akan terus membekas. Kalau suatu saat nanti,
aku diberi sebuah pertanyaan, mana yang akan aku pilih antara kado dan ucapan
atau memori tentang ini. Aku akan memilih menjawab kenangan dari Nina.
Dan air mata mengucur
pelan menuruni pipiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar