Powered By Blogger

Rabu, 06 Juli 2016

A Simple 'Happy Birthday'

Pada umumnya, orang-orang berharap mendapatkan kado di hari ulang tahunnya, itu wajar, terutama bagi anak kecil. Namun, tidak sedikit orang yang tidak pernah sama sekali merasakan yang namanya diberikan sebuah kado pada saat ulang tahun. Dan aku salah satu orang berada dalam daftar orang-orang yang tidak pernah menerima hadiah ulang tahun, dan aku mengakuinya dengan sangat terpaksa.
 Sebentar lagi usiaku masuk ke tahun yang manis. Orang menyebutnya Sweet Seventeen makanya aku menyebutnya tahun yang manis. Terhitung sudah enam belas tahun aku tidak pernah menerima satupun bingkisan berupa kotak yang isinya mungkin bisa berupa jam, topi, ataupun parfum. Dan setiap tahun aku menunggu 'itu', itu yang sering kusebut dengan harapanku. 
Harapan tidak akan pernah menjadi kenyataan jika hanya satu pihak yang tahu, sehingga tidak ada pihak yang akan membantu mengabulkannya. Aku seorang introvert. Susah dalam hal bersosialisasi dengan orang lain. Tidak heran jika tidak ada yang memberikan ucapan kepadaku, apalagi kado. Jadi di tahun ini, aku tidak ingin berharap lagi, walaupun bisa aku pastikan satu hari sebelum hari-H, aku akan terus menunggu sampai tengah malam. Menunggu siapapun yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku. Karena suatu kemungkinan tidak akan berada di angka nol.

Hari H.
Pagi ini, aku merasakan pusing yang luar biasa hebatnya. Bukan karena aku begadang semalaman demi menunggu ucapan selamat ulang tahun. Dan ini bukan hal yang mengganggu lagi,  karena aku sudah merasakan hal yang sama sejak aku masih berada di lingkungan anak sekolah bercelana merah.
Ayah sempat bercerita bahwa aku dulu pernah mengalami kecelakaan. Mungkin itulah akar masalahnya, tetapi aku tidak mengingat sedikit pun mengenai kejadian itu dan akupun tidak begitu penasaran dengan kejadian itu. Setiap dua minggu sekali, biasanya rasa pusing ini akan muncul menghantui kepalaku untuk beberapa saat.
Aku memasukkan beberapa obat resep dokter ke dalam mulut lalu menenggak air dalam jumlah yang cukup banyak karena aku ingin cepat-cepat menghilangkan rasa pahitnya dari obat ini.  Beberapa saat kemudian, rasa sakit itu hilang, aku dapat duduk dengan tenang. Di tengah keheningan itu, aku menyadari bahwa aku belum mendapat satu ucapan dari siapapun.
Kalau suatu saat, aku diberi pertanyaan, mana yang akan aku pilih antara kado dan ucapan atau memori pasca kecelakaan. Aku akan memilih menjawab kado dan ucapan selamat ulang tahun. Masa lalu biarlah berlalu. Itulah prinsipku, itulah sebabnya aku tidak ingin mengakui bahwa aku belum pernah mendapatkan kado selama enam belas tahun.
Aku bergegas menuju  kamar mandi ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul 6. Dalam lima menit, aku sudah dibalut handuk dalam keadaan kering. Tidak perlu lama-lama berada di dalam WC.
Selesai berpakaian, aku segera turun menuju ke arah dapur, mencari roti yang aku beli semalam di dalam lemari serta tidak ketinggalan keju dan susu kental manis.
Aku tinggal sendirian dikota ini. Ayah dan ibu berada di suatu desa karena sedang ada proyek yang cukup besar yang dikelola ayahku bersama dengan paman. Aku tetap selalu berhubungan melalui telepon dan mengabarkan berita gembira kepada mereka bahwa aku baik-baik saja disini.
Aku mengeluarkan sepedaku dari garasi. Perjalanan dari rumah ke sekolah memakan waktu kira-kira 10 menit jika ditempuh dengan mengengkol sepeda buntut. Tidak begitu jauh jika mengendarai sepeda motor.
Setiap pagi aku melewati rumah makan padang kecil yang posisinya berada ditengah-tengah antara rumahku dan sekolah. “Bungkus satu dong, seperti biasa,” seruku ketika sampai di depan dan menyandarkan sepedaku ke dinding rumah makan itu.
“Extra tempe untukmu hari ini.” Kata sang pemilik kedai, bu Ijah namanya.
“Wuih, terima kasih, bu.” Kataku. Aku mengerling, mencari sosok wanita yang selalu ku temui setiap pagi. “Nina kemana? Tumben gak bantuin ibu pagi ini?” tanyaku. Nina adalah teman dekatku saat ini. Semenjak aku bersekolah di sekolahku sekarang, aku selalu mampir di warungnya untuk membeli bekal untuk aku makan saat jam istirahat di sekolah. Ia adalah anak tunggal dari pasangan bu Ijah dan pak Handoko. Namun pak Handoko telah berpulang ke surga ketika Nina masih berusia sepuluh tahun.
“Katanya dia piket hari ini. Jadinya dia duluan ke sekolah.” Kata bu Nina sembari tangan-tangannya sedang asik memasukkan beberapa lauk menjadi satu bungkus.
“Oh,” aku merespon datar. Biasanya aku akan berjalan kaki bersama dengan Nina menuju sekolah. Tapi setiap hari Selasa, dia selalu berangkat lebih dulu untuk mengerjakan tugas piketnya.
“Ini, udah,” kata bu Ijah, menyodorkan satu bungkus nasi dan satu kotak bekal kepadaku. “Ini sekalian nitip buat Nina, makanannya ketinggalan. Bawanya hati-hati ya, nanti hancur isinya.
“Oke bu. Siap!” seruku dengan tegas. “Ada lagi?” tanyaku.
“Hati-hati di jalan, nak.” Pesan bu Ijah.
Aku senang sekali mengenal bu Ijah. Aku sudah menganggap dia sebagai ibu angkatku sendiri. Dia selalu memperhatikanku. Tak jarang dia mengajakku makan malam di rumahnya bersama dengan Nina. Keluarga kecil baruku kala ditinggal kedua orang tuaku ke kampung.
Aku mengangguk pelan sambil tersenyum. Kembali mengengkol sepedaku menuju ke gedung besar tempatku menuntut ilmu.
Sesampainya aku di sekolah, aku mendorong sepedaku dari gerbang masuk sampai ke pelataran parkiran khusus sepeda. Bertemu dengan beberapa “teman” saling melempar sapa dan senyum setengah hati dan tidak ada satupun yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku.
Aku menghela napas panjang. Tanpa kusadari, Nina sedari tadi mengekoriku hingga tempat parkir.
“Panjang amat bos napasnya?” tanyanya.
“E-eh. Sejak kapan disini?”
“Sejak kamu masuk gerbang, aku baru saja buang sampah di depan.” Ujarnya sambil menunjuk ke arah lokasi TPS di sebrang sekolah.
“Oh,”
“Mana bekalku?” tanyanya. Pertanyaan itu mengingatkanku tentang titipan bu Ijah yang sedang berada di dalam tasku.
“Ada, sebentar,” kataku. “Aku parkirin sepedaku dulu.” Setelah selesai memarkirkan sepeda, tanpa kusadari, aku baru saja kehilangan sosok Nina yang seharusnya berdiri di belakangku.
TENG TENG, TENG TENG
Bunyi lonceng sekolah yang menandakan bahwa jam sudah menujukkan pukul 7 bergema di sekitar kawasan sekolah. Aku mengambil langkah panjang dan cepat agar tidak telat sampai di kelas.
“Ah, bekalnya Nina di tasku.” Pikirku ketika sampai di depan kelas. “Nanti akan kuantar ke kelasnya.”
Aku melewati tiga jam pelajaran dengan mata tak bertenaga. Sangat ngantuk. Namun mataku kembali segar ketika mengingat kotak bekal milik Nina.
Segera aku berlari keluar kelas sambil menenteng bekal Nina, mencari-cari sosoknya di kelas namun tidak ketemu. Ke kantin, kantor guru, toilet, perpustakaan,di semua tempat yang bisa aku pikirkan.
Aku berhenti sejenak di taman, berharap bahwa ia melihatku. Aku membuka bungkusan nasi yang kubeli tadi di warung bu Ijah. Dengan lahap aku memakan semua lauknya. Memang enak masakkan bu Ijah.
“Enak?” terdengar suara perempuan dari arah belakangku.
“Nina!” seruku hingga tersedak. “Dari tadi aku mencarimu. Nih, bekalmu.” Aku menyodorkan kotak bekalnya.
“Aku duduk disini ya?” tanyanya sambil melangkah mengambil tempat di sampingku.
“Tentu.” Jawabku.
Dia kemudian membuka kotak bekalnya perlahan. Dan yang kulihat bukanlah daun ubi atau pun ayam rendang. Melainkan sebuah kue ulang tahun kecil yang sudah cukup hancur karena aku berlari-lari mencari sosoknya tadi.
Nina mengeluarkan seseuatu dari saku roknya, sepasang lilin dengan angka 1 dan 7 serta korek api.
“Selamat ulang tahun Dhika,” Nina mengangkat kotak bekal yang berisikan kue ke depan wajahku. “Aku mikir semalaman buat surprise ini. Untungnya kamu selalu beli nasi di warungku.”
Aku diam terpaku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bagiku, surprise seperti ini adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Kenangan ini akan terus membekas. Kalau suatu saat nanti, aku diberi sebuah pertanyaan, mana yang akan aku pilih antara kado dan ucapan atau memori tentang ini. Aku akan memilih menjawab kenangan dari Nina.

Dan air mata mengucur pelan menuruni pipiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar