Namaku Andre,
mahasiswa semester 6 yang sedang berada di dalam ‘lingkaran merah’, lingkungan
pacaran yang merasa lelah. Aku sedang break
dengan wanita yang menemaniku selama 6 bulan terakhir. Mungkin ini yang mereka
sebut dengan masa-masa jenuh.
Aku baru saja
memberikan sebuah kesempatan untuk diri kami masing-masing untuk saling
mengintrospeksi diri. Apa yang membuat kami merasa jenuh dengan hubungan ini?
Dari
pertemuanku dengan gadis yang tidak aku kenal tadi, aku akhirnya menyadari
bahwa banyak sekali orang diluar sana yang menyepelekan sebuah komitmen atas
hubungan yang dibangunnya. Dan orang diluar sana yang kumaksud itu termasuk
diriku ini.
Awalnya, kami
saling menyukai. Dari rasa suka itu, kami merasa bahwa kami ingin memiliki
sebuah ikatan yang lebih. Dan aku menembaknya. Tetapi, tidak ada kejelasan
sebagaimana serius kami menjalani hubungan ini.
“Apa kamu
benar-benar sayang denganku?” tanyanya ketika kami sedang makan malam di salah
satu restoran di pusat kota, yang sangat mewah.
“Ya,” jawabku
singkat. “bagaimana denganmu?” tanyaku. Menatap kedua matanya dengan tatapan
tegas.
“Sama.”
Jawabnya, senyuman merekah dibibirnya.
Kami menjalani
hubungan dengan bahagia dibulan pertama, senang dibulan kedua, sedih dibulan
ketiga, canggung dibulan keempat, hilang dibulan kelima, dan berhenti dibulan
keenam.
“Apa ini jenis
hubungan yang kita inginkan?” tanyanya melalui aplikasi chatting ketika aku baru saja selesai mandi sepulang kantor.
“Aku hanya
mengikuti permainanmu,” aku membalas. “kau diam, aku diam.”
“Aku diam
karena aku ingin diperhatikan!”
“Karena kau
diam, aku tidak tau kau ingin diperhatikan.” Balasku santai.
Dia hanya read balasan chatku. “Mungkin dia
marah,” pikirku.
Aku terlalu
menyepelekan hubungan ini, dan malam itu, dia memutuskan bahwa kami sebaiknya
berhenti untuk saling mencari dan menemukan sendiri apa kesalahan yang telah
diperbuat oleh masing-masing dari kami, sengaja ataupun tidak sengaja.
“Kenapa kau
selalu membuatnya nangis setiap malam?!” tanya adiknya malam itu melalui facebook.
“Tanya saja
kepadanya. Aku hanya mengikuti keinginannya.” Balasku.
Aku tidak
merasa egois dengan pilihanku ini karena ini adalah permintaan dari pihak
cewek. Aku sebagai cowok harus mengalah, setidaknya aku mengalah dalam hal ini.
Besok paginya,
aku bangun dengan sebuah pesan di kotak masuk.
Jangan hubungi aku lagi.
Aku tidak
mengerti mengapa wanita ingin meminta untuk diperlakukan suatu hal yang sudah
pasti akan menyakiti dirinya. Aku mengabaikan pesannya, dan menjalankan
aktivitasku seperti biasa, namun kali ini terasa lebih sepi.
Beberapa hari
kemudian, sepulang kantor, aku berhenti di sebuah taman yang berada di tepi
kota. Aku memarkirkan sepeda motorku di pelataran parkir motor, dan kemudian
berjalan menyusuri danau buatan yang selalu ramai dikunjungi orang sebagai
tempat untuk berduaan.
Dan di tempat
ini lah, aku menyadari bahwa aku terlalu menyepelekan sebuah hubungan.
Aku mengerlingkan
mata, menyusuri setiap sudut taman. Aku melihat sepasang kekasih yang sedang
asik berdua, aku melihat sebuah keluarga yang sedang berjalan santai dengan
menggandeng anak mereka dengan riangnya, aku melihat pasangan yang sudah tidak
muda lagi sedang asik berjalan dengan sang pria mendorong kursi roda yang
diduduki oleh sang wanitanya.
“Mereka
romantis sekali,” pikirku. “kenapa aku tidak bisa seperti mereka?”
Aku mengambil
tempat duduk di tepi taman, mengamati dengan seksama setiap pasangan yang
lewat. Aku ingin sekali seperti mereka, merasa bahagia dengan pasangannya. Aku cukup
rindu dengan rasa itu. Mungkin aku terlalu egois dan tidak memposisikan diriku
di posisinya.
“Bagaimana
kabarmu?” tiba-tiba terdengar suara dari samping kiriku.
Aku menoleh,
dan sedikit terkejut bahwa yang sedang duduk disampingku adalah seorang gadis
yang sedang berhenti berkomunikasi denganku.
“Wah, ngapain
kamu disini?” tanyaku.
“Aku sedang
jalan-jalan,” katanya. Ia terdiam sesaat sebelum mengatakan kalimat yang membuatku
terdiam kaku. “dengan pacar baruku.”
Seketika, aku
merasa ada sebuah timah panas yang menembus jantungku. Perih.
“Ha-ha!” aku
tertawa kaku. “Hebat ya, baru beberapa hari,” aku menggelengkan kepala.
“Selamat menempuh kehidupan pacaranmu yang
baru.” Aku beranjak dari tempat dudukku dan pergi dari tempat itu.
“Aku sudah
lelah diperlakukan seperti itu,” katanya halus. Aku berhenti melangkah ketika
dia mulai berbicara. “aku ingin diperhatikan.”
“Dan kamu
sudah mendapat perhatian yang seharusnya, dan itu bukan dariku.”
“Aku ingin
kamu paham-” katanya.
“Aku paham.” Aku
memotong kalimatnya sebelum dia berbicara lebih panjang. “Aku pergi.”
Aku pergi,
meninggalkannya duduk di tempat itu, ditemani oleh kekasih barunya.
Sepanjang perjalanan,
aku merasakan sakit yang luar biasa. “Inikah sakit karena putus cinta?”
Aku benar-benar
baru kali ini merasa sesak di dada, dan ini adalah rasa yang sesungguhnya, aku
tidak pernah merasakan hal seperti ini.
Aku merasa
bahwa, hubungan yang awalnya lancar, kemudian menjadi rusak gara-gara aku, dan
ketika aku ingin memperbaiki hubungan tersebut. Aku terlambat.
Ada yang
membahagiakannya.
Mulai dari
sifat yang tidak dewasa itu, kini aku menyesal. Gadis yang aku sayangi, dan
yang sempat aku telantarkan. Kini telah bahagia dengan orang lain.
Sekarang aku
cukup takut untuk memulai hubungan yang baru. Aku takut, takut akan masuk
kembali ke dalam ‘lingkaran merah’. Karena, aku belum terbiasa memposisikan
diri sebagai orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar