Powered By Blogger

Minggu, 24 Juli 2016

Lingkaran Merah

Namaku Andre, mahasiswa semester 6 yang sedang berada di dalam ‘lingkaran merah’, lingkungan pacaran yang merasa lelah. Aku sedang break dengan wanita yang menemaniku selama 6 bulan terakhir. Mungkin ini yang mereka sebut dengan masa-masa jenuh.
Aku baru saja memberikan sebuah kesempatan untuk diri kami masing-masing untuk saling mengintrospeksi diri. Apa yang membuat kami merasa jenuh dengan hubungan ini?
Dari pertemuanku dengan gadis yang tidak aku kenal tadi, aku akhirnya menyadari bahwa banyak sekali orang diluar sana yang menyepelekan sebuah komitmen atas hubungan yang dibangunnya. Dan orang diluar sana yang kumaksud itu termasuk diriku ini.
Awalnya, kami saling menyukai. Dari rasa suka itu, kami merasa bahwa kami ingin memiliki sebuah ikatan yang lebih. Dan aku menembaknya. Tetapi, tidak ada kejelasan sebagaimana serius kami menjalani hubungan ini.
“Apa kamu benar-benar sayang denganku?” tanyanya ketika kami sedang makan malam di salah satu restoran di pusat kota, yang sangat mewah.
“Ya,” jawabku singkat. “bagaimana denganmu?” tanyaku. Menatap kedua matanya dengan tatapan tegas.
“Sama.” Jawabnya, senyuman merekah dibibirnya.
Kami menjalani hubungan dengan bahagia dibulan pertama, senang dibulan kedua, sedih dibulan ketiga, canggung dibulan keempat, hilang dibulan kelima, dan berhenti dibulan keenam.
“Apa ini jenis hubungan yang kita inginkan?” tanyanya melalui aplikasi chatting ketika aku baru saja selesai mandi sepulang kantor.
“Aku hanya mengikuti permainanmu,” aku membalas. “kau diam, aku diam.”
“Aku diam karena aku ingin diperhatikan!”
“Karena kau diam, aku tidak tau kau ingin diperhatikan.” Balasku santai.
Dia hanya read balasan chatku. “Mungkin dia marah,” pikirku.
Aku terlalu menyepelekan hubungan ini, dan malam itu, dia memutuskan bahwa kami sebaiknya berhenti untuk saling mencari dan menemukan sendiri apa kesalahan yang telah diperbuat oleh masing-masing dari kami, sengaja ataupun tidak sengaja.
“Kenapa kau selalu membuatnya nangis setiap malam?!” tanya adiknya malam itu melalui facebook.
“Tanya saja kepadanya. Aku hanya mengikuti keinginannya.” Balasku.
Aku tidak merasa egois dengan pilihanku ini karena ini adalah permintaan dari pihak cewek. Aku sebagai cowok harus mengalah, setidaknya aku mengalah dalam hal ini.
Besok paginya, aku bangun dengan sebuah pesan di kotak masuk.
Jangan hubungi aku lagi.
Aku tidak mengerti mengapa wanita ingin meminta untuk diperlakukan suatu hal yang sudah pasti akan menyakiti dirinya. Aku mengabaikan pesannya, dan menjalankan aktivitasku seperti biasa, namun kali ini terasa lebih sepi.
Beberapa hari kemudian, sepulang kantor, aku berhenti di sebuah taman yang berada di tepi kota. Aku memarkirkan sepeda motorku di pelataran parkir motor, dan kemudian berjalan menyusuri danau buatan yang selalu ramai dikunjungi orang sebagai tempat untuk berduaan.
Dan di tempat ini lah, aku menyadari bahwa aku terlalu menyepelekan sebuah hubungan.
Aku mengerlingkan mata, menyusuri setiap sudut taman. Aku melihat sepasang kekasih yang sedang asik berdua, aku melihat sebuah keluarga yang sedang berjalan santai dengan menggandeng anak mereka dengan riangnya, aku melihat pasangan yang sudah tidak muda lagi sedang asik berjalan dengan sang pria mendorong kursi roda yang diduduki oleh sang wanitanya.
“Mereka romantis sekali,” pikirku. “kenapa aku tidak bisa seperti mereka?”
Aku mengambil tempat duduk di tepi taman, mengamati dengan seksama setiap pasangan yang lewat. Aku ingin sekali seperti mereka, merasa bahagia dengan pasangannya. Aku cukup rindu dengan rasa itu. Mungkin aku terlalu egois dan tidak memposisikan diriku di posisinya.
“Bagaimana kabarmu?” tiba-tiba terdengar suara dari samping kiriku.
Aku menoleh, dan sedikit terkejut bahwa yang sedang duduk disampingku adalah seorang gadis yang sedang berhenti berkomunikasi denganku.
“Wah, ngapain kamu disini?” tanyaku.
“Aku sedang jalan-jalan,” katanya. Ia terdiam sesaat sebelum mengatakan kalimat yang membuatku terdiam kaku. “dengan pacar baruku.”
Seketika, aku merasa ada sebuah timah panas yang menembus jantungku. Perih.
“Ha-ha!” aku tertawa kaku. “Hebat ya, baru beberapa hari,” aku menggelengkan kepala.
 “Selamat menempuh kehidupan pacaranmu yang baru.” Aku beranjak dari tempat dudukku dan pergi dari tempat itu.
“Aku sudah lelah diperlakukan seperti itu,” katanya halus. Aku berhenti melangkah ketika dia mulai berbicara. “aku ingin diperhatikan.”
“Dan kamu sudah mendapat perhatian yang seharusnya, dan itu bukan dariku.”
“Aku ingin kamu paham-” katanya.
“Aku paham.” Aku memotong kalimatnya sebelum dia berbicara lebih panjang. “Aku pergi.”
Aku pergi, meninggalkannya duduk di tempat itu, ditemani oleh kekasih barunya.
Sepanjang perjalanan, aku merasakan sakit yang luar biasa. “Inikah sakit karena putus cinta?”
Aku benar-benar baru kali ini merasa sesak di dada, dan ini adalah rasa yang sesungguhnya, aku tidak pernah merasakan hal seperti ini.
Aku merasa bahwa, hubungan yang awalnya lancar, kemudian menjadi rusak gara-gara aku, dan ketika aku ingin memperbaiki hubungan tersebut. Aku terlambat.
Ada yang membahagiakannya.
Mulai dari sifat yang tidak dewasa itu, kini aku menyesal. Gadis yang aku sayangi, dan yang sempat aku telantarkan. Kini telah bahagia dengan orang lain.

Sekarang aku cukup takut untuk memulai hubungan yang baru. Aku takut, takut akan masuk kembali ke dalam ‘lingkaran merah’. Karena, aku belum terbiasa memposisikan diri sebagai orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar