Powered By Blogger

Selasa, 21 Februari 2017

Last Order

Suara ketikan keyboard memecah suasana kantor yang hening dan sudah larut malam. Salah satu pegawai yang masih sibuk mengerjakan pekerjaannya yang masih belum selesai, Andri. Ia merupakan salah satu staff yang berpotensi untuk naik jabatan menjadi manager ditahun ini.
Andri berpenampilan dewasa di usianya yang masih seperempat abad. Mata tajam, hidung mancung, bibir tipis, menjadikannya salah satu cowok yang membuat staff wanita yang lain betah untuk bekerja di kantor itu. Dan juga ia tipe orang yang tidak ingin bertele-tele yang ingin menyelesaikan apapun yang dilakukannya secara cepat dan sempurna tanpa cacat.
Berbeda dengan Andien, asisten Andri yang selalu membuatnya pusing dan juga merupakan sahabat baiknya sejak SMA sehingga Andien tidak merasa menjadi asisten seorang pria yang memiliki jabatan tinggi melainkan hanya menjadi pendamping sahabatnya itu.
Seperti malam ini, Andien terus menemani Andri yang masih sibuk mengejar selesainya proposal yang harus diselesaikan dalam dua hari. Dan ia tahu, bahwa pada siang hari, Andri terlalu sibuk mengerjakan hal lain.
“Belum mau pulang?” tanya Andien sembari meletakkan secangkir kopi hitam saring yang sudah menjadi permintaan Andri diatas meja.
“Dua hari, Din. Dua hari.” Ia memberi penekanan pada jumlah hari yang tersisa sebelum deadlinenya.
Andien mengerling, ia melihat di setiap sisi kantor sudah gelap. Tidak ada lagi staff lain yang tersisa selain mereka berdua.
“Okeii,” jawab Andien dengan nada yang datar sambil menatap ke dalam cangkir teh yang digenggamnya.
Keheningan menyerang mereka berdua. Disaat Andri sedang berpikir keras, dan Andien hanya duduk disebelahnya, menatap wajahnya dengan seksama.
“Lo ganteng juga ya kalau dilihat lama-lama, Dri.” Ucap Andien disela keheningan kantor.
Andri hanya diam, tatapannya tajam, fokus pada layar komputer dan data yang berada diatas mejanya.
“Fokus banget,” pikir Andien kecewa.
Andri yang tersadar bahwa Andien sedang mengajaknya bicara, kemudian sontak kaget sendiri karena ia lupa memberi balasan atas pernyataan Andien, langsung memalingkan wajah menghadap Andien.
“Oh, iya!” serunya. “Gue memang ganteng,” jawabnya.
“Sorry, tadi lagi fokus, lupa gue balas omongan lo tadi.” Dia terdiam sejenak kemudian kembali memandang ke arah Andien dengan ekspresi tengilnya. “Itu kayak chat terus di read tapi gak dibales yak?” tanyanya cekikikan.
“Ah, elu. Bawaannya baper aja.” Sahut Andien.
Dan kemudian mereka tertawa bersama.
“Gimana hubungan lo dengan cowok brengsek itu?” tanya Andri dengan jari-jari tangan yang masih sibuk menari diatas keyboard.
“Ya, begitulah.” Jawab Andien singkat. “Lo tau lah, gimana kondisinya.” Ia meletakkan cangkir tehnya keatas meja.
Andri berhenti sejenak, memandang Andien dengan dalam. “Gue yakin lo bisa lewatin ini semua.” Ujar Andri sambil menepuk pelan pundaknya.
“Gue tau kok, Dri.” Jawabnya. “Cuman lo cowok yang bisa gue percayai. Bahkan kalau sampai lu nyakitin gue, itu tandanya, beneran semua cowok sama aja.”
“Wah, nadanya ngancem ih,” Andri mencubit pelan pipinya Andien. “Gak kok, kita uda kenal dari masih labil sampai sekarang. Lo tau gue gimana, gue juga tau lo gimana.”
“Fair,” jawab Andien tak acuh. “Belum mau pulang?” lanjutnya.
Andri kembali menatap ke layar komputer, sejenak ia berpikir. “Kayaknya sampai disini dulu deh, besok baru dilanjutin lagi.”
“Okei, sebagai asisten yang baik, gue akan bantu beresin meja.”
“Baik, asistenku.” Kata Andri dengan nada rendah. “Sebaiknya kamu bekerja dengan lebih giat mulai dari sekarang dan kedepannya. Ha-ha-ha.”
“Yeee, emang gue gak giat selama ini?” cibir Andien.
“Yaelah, bercanda doang ngapa?” balas Andri. “Yauda, gue ke toilet bentar, bantu pesenin taksi juga ya. Mobilku mogok tadi pagi.”
Andien memalingkan mukanya dari meja, menatap ekspresi Andri dengan serius. “Beneran mogok?”
“Iya, emang ngapa?”
“Dah ikut gue aja, gue anterin balik.”
“Stop!” seru Andri. “Gue bukan putri kerajaan yang minta dianter balik kok.”
“Gak ada yang lihat juga,” balas Andien.
“Lagipula, arah gue dan arah lo beda. Gue pakai taksi aja, uda biasa kok pas kuliah dulu.”
“Ah, yasudahlah, gue pesenin sekarang ya kalau gitu.”
“Iya,” jawabnya dari balik dinding sebelum dirinya berjalan menjauh menuju toilet.
Andien sudah selesai membereskan meja dan mematikan semua yang berhubungan dengan arus listrik. “Oke, sudah beres.”
Andri kembali masuk ke dalam ruangan. “Uda dipesen belum taksi gue, cantik?”
“Udahh,” jawabnya. “bentar lagi juga sampai. Yuk turun.” Ajaknya.
“Oke, yuk.” Andri mengambil tas dari atas kursi dan berjalan menyusul Andien menuju ke arah lift.
Ketika sedang berada di dalam lift, waktu terasa berjalan begitu lambat dari biasanya. Mereka berada di lantai 18, biasanya hanya dalam hitungan detik sudah sampai di lantai basement.
“Din,” sahut Andri ditengah keheningan mereka.
“Ada apa?”
“Gue mau tan-.”
“Tanya aja,” potong Andien. Andri terdiam, dan kembali melempar pertanyaan.
“Pernah gak-“
“Belum pernah.”
“Lah, gue belum selesai tanya,” seru Andri.
“Ini kayak gue bentar lagi bakal ditembak, rasanya kayak dejavu. Kembali ke masa SMA, pas gue masih populer dikalangan pria jomblo.” Papar Andien.
“Yaelah, ke GR-an lu mah.” Andri berhenti bertanya.
“Yauda lanjutin kalau belum selesai,”
“Ah, males,” Andri membuang muka ke arah berlawanan.
“Ngambek, ih?” Andien menusuk-nusuk pipi Andri bertubi-tubi. “Gak ganteng lagi deh jadinya.”
“Ah, gue mah ganteng dari sononya.”
“Yauda, lanjut.”
Andri mengambil posisi memandang ke arah pintu lift dan kembali melanjutkan yang terpotong tadi.
“Pernah gak, lu dengar cerita, dua individu yang sebelumnya sahabatan, malah pacaran ujung-ujungnya?” tanya Andri.
“Lah, kan,” Andien menatap Andri. “Bener feeling gue, lu mau nembak gue yak?” tanya Andien memastikan.
TING.
Lift sudah sampai di basement.
“Wah, sudah sampai.” Andri melihat sekeliling. “Beneran uda sepi ya kantor, dah pada gak ada orang,”
“Oh, tuh taksi gue uda nyampe. Gue duluan ya, sampai jumpa besok cantik.” Andri meninggalkan Andien dalam posisi yang masih bertanya-tanya.
“Dia suka gue ya?” Pikir Andien. Andien menggeleng-gelengkan kepala dan menampar pelan dua sisi pipinya untuk menyadarkannya. “Ini uda malam, mungkin lagi mabuk kena proposal kali dia ya.” Andien pergi berjalan meninggalkan kantor, menuju tempat parkir.
Andri berjalan mendekati taksi yang sudah nimbrung di depan kantor. “Pak Andri, ya?” Tanya supir dari dalam mobil, memastikan pelanggannya.
“Iya, benar.” Andri membuka pintu dan masuk ke dalam.
“Ke arah mana pak?” tanya si supir.
“Ke arah pusat kota dulu pak, saya mau cari makan sebentar.” Jawab Andri, sambil meregangkan dasinya dan membuka satu kancing kemeja bagian atas.
“Sampai malam masih jalan aja pak?” tanya Andri memulai pembicaraan.
“Iya nih,” jawab supir singkat.
“Biasa sampai jam berapa pak?”
“Biasa sih sampai jam 10 aja.” Jawabnya.
Andri melihat jam tangan menunjukkan pukul sebelas malam. “Wah, lebih malem dong ya pak malam ini?” tanyanya.
“Iya pak, mungkin ini juga uda Last Order.”
“Oh,” respon Andri singkat. Ia mengeluarkan handphone dari saku celananya, mencari nama Andien di kontak telepon dan ia berencana menghubunginya.
“Uda nikah, pak?” tanya supir.
“Belum nih pak. Rencana ada calon sih, tapi kayaknya saya tak diacuhkan sama dia.”
“Wah, uda mapan tapi belum nikah ya,” ujar si supir. “Tapi syukurlah.”
“Syukur?” tanyanya.
Si supir tidak memberi keterangan lebih lanjut dengan makna dari pernyataan ‘syukur’nya itu. Ia kemudian menelpon Andien, bermaksud melanjutkan pembicaraan yang terpotong tadi.
TUUT-TUUT-TUUT
“Halo,” suara Andien dari seberang telpon.
“Halo,” sapa Andri. “Uda sampai mana, Din?”
“Gue, uda sampai di....” Andien terdengar sedang melihat lokasi sekitar. “Baru aja lewat SPBU.”
“Oh, cepet juga, ngebut ya?”
“Engga kok,” jawab Andien,
“Ada apa nelpon? Baru aja tinggal bentar, uda kangen?” tanya Andien dengan nada bercanda namun tidak terdengar bercanda oleh telinga Andri.
“Iya nih, gue uda kangen sama lo.” Jawab Andri dengan nada yang tegas.
Tidak ada respon dari Andien.
“Kayaknya, gue suka sama lo, Din,” Andri menyatakan perasaannya kepadanya secara jujur.
“Kayaknya lo sakit ya?” tanya Andien memastikan. “Deadline sisa satu hari besok, terus lo demam?”
“Engga kok, gue serius.” Ujar Andri.
Hening.
“Kalau proyek ini kelar, gue mau lamar lo.”
Andien tidak bersuara.
“Syukur ya. taksinya masih ada jam segini?” Andien mengalihkan pembicaraan, pengalihan yang sangat sangat sangat jauh dari topik yang sedang dibahas.
Andri mengerti bahwa Andien tidak akan memberikan balasan secara langsung pada saat itu juga.
“Ehm, iya nih,” jawab Andri. “Katanya juga biasa sampai jam 10, tapi malem ini lebih malam. Last Order sih kata supirnya.”
“Syukurlah ya, jadi gue juga bisa langsung pulang dengan tenang dan cepat pula.”
“Iya, gak ngerepotin cewek cantik, kasian malam-malam masa anterin gue pulang, hehe.” Andri berusaha mencairkan suasana yang sedikit awkward ini.
“Yauda, gue matiin dulu ya, kalau uda sampai rumah, telepon bal-“
Brak!
Tiba-tiba terdengar suara benturan yang sangat kuat dari saluran Andri.
“Dri?!” seru Andien.
“DRIII!!!” Andien segera menepikan mobilnya dan berusaha untuk memanggil-manggil Andri. “ANDRIII!!”
Tidak ada balasan dari Andri. Terdengar suara ledakan-ledakan kecil dari seberang saluran telpon.
Last Order’
Tiba-tiba Andien terngiang kata itu. “ANDRI PUTRA KURNIAWAN!!!!”
Tetap tidak ada jawaban dari Andri.
Andien langsung memutar kemudi, melaju melewati jalan yang mungkin di lewati oleh taksi yang ditumpangi Andri.
Andien melaju dalam kecemasan. Di dalam hati, ia ingin segera memberikan jawaban, bahwa Andien sangat menyayangi Andri. Ia sangat bahagia ketika Andri mengatakan bahwa ia akan melamar Andien segera setelah proyek yang sedang dikerjakan oleh Andri telah sukses.
Andien terus melaju, air mata tidak dapat ditampung lagi. Andien menangis keras, beberapa kali ia mengusap mata agar dapat melihat lajur jalan dengan jelas.
Andien melihat bahwa ada penutupan jalan oleh polisi, dan terlihat juga banyak sekali orang yang sedang berkumpul diarea itu. Andien segera keluar dari mobil dan berlari ke kumpulan orang-orang itu.
Ia melihat beberapa orang sedang berusaha untuk mengeluarkan seseorang dari bagian pintu penumpang belakang taksi yang menabrak tiang jembatan. Ia melihat Andri yang sudah terbujur kaku, sedang dikeluarkan dari mobil yang sudah tidak layak lagi kondisinya.
“Andri!” seru Andien mendekat ke arah jasad Andri yang sudah terbujur kaku. Andien menangis dengan kencang. “Semua salah si supir! Supir itu dengan sengaja menabrakan mobil!”
Andien berteriak histeris dengan menangis kencang. Ia memukul-mukul dada dari badan yang sudah kehilangan jiwa itu. “Mana?! Mana Andri?! Gue disini, gue disamping lo! Mana kalimat ‘will you marry me’ dari mulut lo itu?!”
“Gue sayang sama lo Dri. Maafin gue.” Andien tidak berhenti menangis ditengah kerumunan orang yang hadir setelah kecelakaan terjadi. Semuanya sudah terlambat. Penyesalan pun datang bersamaan dengan itu. Diketahui bahwa anak dari supir taksi itu meninggal pada malam itu juga, sehingga motif sang supir adalah untuk membawa seseorang yang dapat menemaninya mencari keberadaan anaknya di alam sana.

1 komentar:

  1. nice ^_^ kunjungi balik ya..
    mahasiswabsurd.blogspot.com
    riyandijoshuashiroi.blogspot.com

    BalasHapus