“Pesan kopi
susunya satu ya, mbak.” Aku berseru dari arah mejaku sambil melambaikan tangan
ke arah perempuan yang sedang terlihat asik meracik minuman pesanan pengunjung
warung kopi.
Ia mengangguk.
“Dan bagaimana
kisahmu?” aku membuka pembicaraan.
Gogi berdesah,
lemas. Ia terus mengaduk pelan minumannya.
“Apa aku sudah
berubah?” tanyanya. Tatapan matanya menunjukkan ia sedang melontarkan
pertanyaan yang serius.
“Berubah dalam
arti kata?” tanyaku memperjelas.
“Ya,” ia
mengedikkan bahu. “berubah dalam segala aspek. Sifatku misalnya?”
Aku menatapnya
cukup lama. Sampai pada akhirnya aku mendapatkan kesimpulan bahwa-
“Nih, mas.
Kopi susunya.” Kesimpulan bahwa kopi susuku sudah datang sebelum aku memberikan
komentar tentang perubahan sifatnya Gogi.
“Terima kasih,
mbak.” Aku melempar senyum ke arahnya.
“Gimana?”
tanyanya lagi. “jangan ganjen liatin mbak-mbak warkop.”
“Eh, iya. Sorry,
sorry.” aku menggaruk kepala.
Aku kemudian
memberikan pernyataan yang pasti tepat sasaran.
“Aku tau, kau
bukan ingin bertanya tentang perubahan sikapmu terhadap teman,” aku mengaduk
kopiku, mencapurkan susu kental manis yang masih berada di lapisan paling bawah
dengan kopi hitam pekat ini. “tapi tentang bagaimana kau bersikap terhadap doi,
kan?” lanjutku.
Ia mengangguk
pelan.
Aku benar,
pikirku.
“Apa aku tidak
romantis lagi?” tanyanya.
“Bagaimana aku
bisa tau? Emangnya aku mantanmu?”
Ia memberikan
tatapan seperti orang yang sudah kehilangan cinta. “Apa yang terjadi? Kau bisa
cerita padaku.” Tanyaku.
“Aku tidak
mengerti,” katanya. “kami berhubungan baik selama ini. Sampai pada suatu hari,
dia lebih banyak mengobrol tentang bagaimana perjuangan kisah cinta para
sahabatnya kepadaku.”
“Lanjut.” Kataku.
“Dan ia
bercerita, mengenai sahabatnya yang pergi liburan berdua dengan sang pacar,
bagaimana sahabatnya ditembak, kemudian-” ia berhenti. Ia menunduk, berusaha
menghindari kontak mata dengan seseorang yang berada di belakangku.
“Siapa di belakang?”
“Itu dia,
sahabat cewekku dan cowoknya.” Katanya gugup.
“Lalu, kenapa
kau takut dengan mereka?”
“Aku bukan
takut, tapi aku ingin tahu tentang mereka lebih banyak,” katanya. “kau jangan
bergerak. Jadi aku bisa berlindung.”
Gogi melihat
mereka cukup lama. Aku terus berkicau tentang tingkahnya yang cukup
kekanak-kanakan.
“Kau tau apa
yang aku lihat?” tanyanya ketika aku masih belum menyelesaikan kalimatku
mengomentari tingkahnya itu.
“Mereka
berhubungan seperti apa yang aku lakukan selama ini,” katanya. “kau tau,
seperti orang biasa berpacaran.”
“Ya, aku tau,
walaupun sudah lama aku tidak berhubungan dengan cewek. Setidaknya ada memori
indah dikepalaku tentang bagaimana rasanya berpacaran.” Jawabku.
“Ya, seperti
saling menyuapi, si cowok mencubit pipi si cewek, membelai-belai kepala si
cewek, si cewek bersandar di bahu si cowok.”
“Ya, ya, ya.”
“Dan itu yang
kami lakukan selama ini, dan kenapa dia berubah tingkahnya terhadapku?”
tanyanya dengan mata yang tetap mencuri-curi pandang ke arah dua merpati itu.
“Baiklah,
sebelum aku baper karena aku masih jomblo, lebih baik aku menyelesaikan ini,”
aku mengambil posisi duduk lebih tegak daripada sebelumnya.
“Wanita itu,
hidup dan bernapas dengan perasaan.” Kataku dengan nada yang cukup berat.
“Kau ingat,
aku pernah mengatakan bahwa aku benci dengan film yang berbau-bau drama?”
tanyaku kepadanya.
“Iya, kenapa
dengan hal itu?”
“Karena aku
tidak suka berekspektasi. Wanita menonton, dalam arti kata melihat hubungan
seseorang, walaupun itu fiktif, tapi rasa iri akan muncul.” Aku berhenti
sejenak, menyeruput kopi di gelasku.
“Para produser
dan sutradara film pasti ingin memberikan yang terbaik dan menciptakan feel yang sesungguhnya. Aku tidak
membenci mereka, tetapi aku hanya kurang suka dengan genre film seperti itu.”
Aku berdehem. “Dan
kau baru saja melihat drama sungguhan dibelakangku, dan aku tidak ingin menoleh
walaupun aku cukup penasaran dengan itu.”
“Dan tentu
saja wanita iri, wanita saling membuat sesama mereka iri dengan melakukan
banyak hal, sengaja ataupun tidak sengaja.
Make-up, pacaran, nikah, anak, rumah, mobil, tas, perhiasan.” Kataku.
“Dan mereka
terlalu banyak memakan rasa iri, sehingga mereka sendiri ingin merasakan feel yang sama.” Katanya.
Aku mengangguk.
“Kau berhasil menangkap apa yang aku maksud?”
“Tentu,”
jawabnya. “tetapi aku susah untuk melakukan hal seperti itu.”
“Itu kembali
kepada dirimu sendiri. Bisa atau tidak, itu tergantung padamu.” Kataku.
“Maksudmu bisa
dalam hal?”
“Romantis.” Aku
menjawab pertanyaannya dengan mantap.
“Romantis itu
tidak perlu mahal, yang penting berkesan dan membuatnya senang.” Kataku.
“Kau seperti
orang yang sudah berpengalaman dalam hal ini,” katanya. “kau sendiri masih single.”
“Pengalaman
adalah guru terbaik. Aku terlalu banyak makan curhatan, dan mengambil
kesimpulan seperti itu.” Kataku.
“Lebih baik
kau tanyakan kepadanya, apa yang dia inginkan, apa yang kurang darimu, dan
berikan apa yang dia mau dengan caramu sendiri.” Lanjutku.
“Caraku,” dia
bergumam.
“Caramu dan keberanianmu
untuk melakukannya,” kataku. “tidak perlu harus di depan umum. Yang penting kau
bisa membuatnya bahagia dan berkesan. Karena pacaran, bukan mencari pendamping
sementara, namun sebagai calon pendamping hidupmu. Tangkap dia sebelum dia
kabur.”
“Yah, aku tau.”
Jawabnya singkat. “Aku akan mencoba.”
“It’s your love story, man. Sebagai pacar
bukan hak kita untuk meminta diperlakukan khusus terus, tapi bagaimana kita
memperlakukannya khusus. Karena dia yang akan memberikan jawaban ‘Yes, i do’ bukan kita, para kaum hawa.”