Powered By Blogger

Jumat, 12 Agustus 2016

Kamera

Aku baru saja membeli sebuah kamera SLR dengan seluruh uang tabunganku yang kusimpan selama ini. Paket itu sampai pagi tadi dan adikku memberikan pesan singkat ke nomorku barusan untuk memberitahukan hal itu. Aku sudah tidak sabar untuk cepat-cepat pulang dari kantor dan memotret banyak hal.
Malam itu, aku habiskan waktu di rumah dengan membaca buku manual kamera. Sambil mengotak-atik kameraku, aku memotret seluruh isi kamarku dari berbagai sudut. Aku tersenyum bahagia ketika melihat foto yang kudapat memiliki kualitas gambar yang bagus.
“Ya, sesuai dengan harga.” Aku menggumam sambil tersenyum geli. “kamera mahal yang kudapat dengan harga murah dari temanku karena second dan jarang dipakai.”
Aku terus melihat setiap foto yang telah kuabadikan, melihat dari yang terbaru sampai pada foto yang paling awal aku dapat.
Namun, ada sedikit keanehan yang kudapat disini.
Ada beberapa foto lagi setelah foto yang paling pertama aku ambil. Terlihat bahwa ada tiga foto yang tersimpan sebelum aku membelinya.
Foto yang pertamaku lihat setelah foto hasil jepretanku, aku melihat seseorang berdiri dengan memakai topeng kelinci dan mengenakan setelan kerja tukang pos lengkap diluar jendela. “Mungkin pesta topeng,” pikirku.
Foto yang kedua, hanya foto kamar biasa dengan lampu yang menyala dan TV disudut ruangan yang sedang menyiarkan berita pembunuhan.
Foto yang ketiga, dan terakhir, aku melihat seseorang tergeletak dikasur dengan pisau yang menancap di dadanya. “Itu temanku!” aku terkejut dan refleks memalingkan muka dari kamera dan mematikannya.
Tiba-tiba ada seseorang yang membunyikan bel rumah.
Adikku yang masih sedang asik menonton TV diruang tengah, segera berjalan menuju pintu masuk dan membukakan pintu.
Aku yang masih ketakutan atas foto itu, berusaha bangkit berdiri dari tempat dudukku untuk mengambil tongkat besi.
“Kak!” seru adikku dari depan pintu. “Ada pesan barang lagi? Ini ada tukang pos bawain paket!”
Sekujur tubuhku merinding. “Tutup pintu sekarang!”
“Aku tidak pesan apapun lagi! Dan tidak mungkin ada tukang pos yang mengirimkan paket tengah malam begini!”

Dan aku tidak mendapat respon apa-apa setelah itu.

Jumat, 05 Agustus 2016

(Not)Romantic Guy

“Pesan kopi susunya satu ya, mbak.” Aku berseru dari arah mejaku sambil melambaikan tangan ke arah perempuan yang sedang terlihat asik meracik minuman pesanan pengunjung warung kopi.
Ia mengangguk.
“Dan bagaimana kisahmu?” aku membuka pembicaraan.
Gogi berdesah, lemas. Ia terus mengaduk pelan minumannya.
“Apa aku sudah berubah?” tanyanya. Tatapan matanya menunjukkan ia sedang melontarkan pertanyaan yang serius.
“Berubah dalam arti kata?” tanyaku memperjelas.
“Ya,” ia mengedikkan bahu. “berubah dalam segala aspek. Sifatku misalnya?”
Aku menatapnya cukup lama. Sampai pada akhirnya aku mendapatkan kesimpulan bahwa-
“Nih, mas. Kopi susunya.” Kesimpulan bahwa kopi susuku sudah datang sebelum aku memberikan komentar tentang perubahan sifatnya Gogi.
“Terima kasih, mbak.” Aku melempar senyum ke arahnya.
“Gimana?” tanyanya lagi. “jangan ganjen liatin mbak-mbak warkop.”
“Eh, iya. Sorry, sorry.” aku menggaruk kepala.
Aku kemudian memberikan pernyataan yang pasti tepat sasaran.
“Aku tau, kau bukan ingin bertanya tentang perubahan sikapmu terhadap teman,” aku mengaduk kopiku, mencapurkan susu kental manis yang masih berada di lapisan paling bawah dengan kopi hitam pekat ini. “tapi tentang bagaimana kau bersikap terhadap doi, kan?” lanjutku.
Ia mengangguk pelan.
Aku benar, pikirku.
“Apa aku tidak romantis lagi?” tanyanya.
“Bagaimana aku bisa tau? Emangnya aku mantanmu?”
Ia memberikan tatapan seperti orang yang sudah kehilangan cinta. “Apa yang terjadi? Kau bisa cerita padaku.” Tanyaku.
“Aku tidak mengerti,” katanya. “kami berhubungan baik selama ini. Sampai pada suatu hari, dia lebih banyak mengobrol tentang bagaimana perjuangan kisah cinta para sahabatnya kepadaku.”
“Lanjut.” Kataku.
“Dan ia bercerita, mengenai sahabatnya yang pergi liburan berdua dengan sang pacar, bagaimana sahabatnya ditembak, kemudian-” ia berhenti. Ia menunduk, berusaha menghindari kontak mata dengan seseorang yang berada di belakangku.
“Siapa di belakang?”
“Itu dia, sahabat cewekku dan cowoknya.” Katanya gugup.
“Lalu, kenapa kau takut dengan mereka?”
“Aku bukan takut, tapi aku ingin tahu tentang mereka lebih banyak,” katanya. “kau jangan bergerak. Jadi aku bisa berlindung.”
Gogi melihat mereka cukup lama. Aku terus berkicau tentang tingkahnya yang cukup kekanak-kanakan.
“Kau tau apa yang aku lihat?” tanyanya ketika aku masih belum menyelesaikan kalimatku mengomentari tingkahnya itu.
“Mereka berhubungan seperti apa yang aku lakukan selama ini,” katanya. “kau tau, seperti orang biasa berpacaran.”
“Ya, aku tau, walaupun sudah lama aku tidak berhubungan dengan cewek. Setidaknya ada memori indah dikepalaku tentang bagaimana rasanya berpacaran.” Jawabku.
“Ya, seperti saling menyuapi, si cowok mencubit pipi si cewek, membelai-belai kepala si cewek, si cewek bersandar di bahu si cowok.”
“Ya, ya, ya.”
“Dan itu yang kami lakukan selama ini, dan kenapa dia berubah tingkahnya terhadapku?” tanyanya dengan mata yang tetap mencuri-curi pandang ke arah dua merpati itu.
“Baiklah, sebelum aku baper karena aku masih jomblo, lebih baik aku menyelesaikan ini,” aku mengambil posisi duduk lebih tegak daripada sebelumnya.
“Wanita itu, hidup dan bernapas dengan perasaan.” Kataku dengan nada yang cukup berat.
“Kau ingat, aku pernah mengatakan bahwa aku benci dengan film yang berbau-bau drama?” tanyaku kepadanya.
“Iya, kenapa dengan hal itu?”
“Karena aku tidak suka berekspektasi. Wanita menonton, dalam arti kata melihat hubungan seseorang, walaupun itu fiktif, tapi rasa iri akan muncul.” Aku berhenti sejenak, menyeruput kopi di gelasku.
“Para produser dan sutradara film pasti ingin memberikan yang terbaik dan menciptakan feel yang sesungguhnya. Aku tidak membenci mereka, tetapi aku hanya kurang suka dengan genre film seperti itu.”
Aku berdehem. “Dan kau baru saja melihat drama sungguhan dibelakangku, dan aku tidak ingin menoleh walaupun aku cukup penasaran dengan itu.”
“Dan tentu saja wanita iri, wanita saling membuat sesama mereka iri dengan melakukan banyak hal, sengaja ataupun tidak sengaja. Make-up, pacaran, nikah, anak, rumah, mobil, tas, perhiasan.” Kataku.
“Dan mereka terlalu banyak memakan rasa iri, sehingga mereka sendiri ingin merasakan feel  yang sama.” Katanya.
Aku mengangguk. “Kau berhasil menangkap apa yang aku maksud?”
“Tentu,” jawabnya. “tetapi aku susah untuk melakukan hal seperti itu.”
“Itu kembali kepada dirimu sendiri. Bisa atau tidak, itu tergantung padamu.” Kataku.
“Maksudmu bisa dalam hal?”
“Romantis.” Aku menjawab pertanyaannya dengan mantap.
“Romantis itu tidak perlu mahal, yang penting berkesan dan membuatnya senang.” Kataku.
“Kau seperti orang yang sudah berpengalaman dalam hal ini,” katanya. “kau sendiri masih single.”
“Pengalaman adalah guru terbaik. Aku terlalu banyak makan curhatan, dan mengambil kesimpulan seperti itu.” Kataku.
“Lebih baik kau tanyakan kepadanya, apa yang dia inginkan, apa yang kurang darimu, dan berikan apa yang dia mau dengan caramu sendiri.” Lanjutku.
“Caraku,” dia bergumam.
“Caramu dan keberanianmu untuk melakukannya,” kataku. “tidak perlu harus di depan umum. Yang penting kau bisa membuatnya bahagia dan berkesan. Karena pacaran, bukan mencari pendamping sementara, namun sebagai calon pendamping hidupmu. Tangkap dia sebelum dia kabur.”
“Yah, aku tau.” Jawabnya singkat. “Aku akan mencoba.”

It’s your love story, man. Sebagai pacar bukan hak kita untuk meminta diperlakukan khusus terus, tapi bagaimana kita memperlakukannya khusus. Karena dia yang akan memberikan jawaban ‘Yes, i do’ bukan kita, para kaum hawa.”