Sebagai seorang laki-laki, aku harus
bertanggung jawab dengan setiap senyuman yang merekah dari bibir gadis yang
kita sayangi. Seberapa sering aku dapat membuatnya tersenyum, seberapa sering
aku bisa bertingkah bodoh demi membuatnya tertawa.
“Ha! Kau ganteng hari ini,” kataku
kepada pantulan bayanganku di cermin. “Apa aku sudah cukup ganteng sayang?” tanyaku pada seorang wanita muda berusia 30-an yang sedang berbaring dikasur yang dilapisi kain sprei bermotif mawar merah.
Dia tidak menjawab.
“Baiklah, baiklah, walaupun kamu
gak menjawab, aku tau kok kamu ingin bilang aku ganteng.”
Lagi-lagi tidak ada respon darinya.
“Hey, aku ada satu cerita,” kataku,
mengambil posisi duduk di sampingnya, menggenggam tangannya. “Kamu mau dengar?”
Dia mengangguk pendek. Sangat pendek.
Aku memulai cerita.
“Jadi, suatu hari, ada dua orang
kakak adik sedang bermain di lapangan di belakang rumah mereka,” aku memulai
cerita. “Tiba-tiba…” aku menghentikan ceritaku, menunggu responnya.
Hening, tidak ada respon apapun.
“Tiba-tiba sang adik pulang ke
rumah dan mengabari kepada ibunya bahwa sang kakak telah menelan kecoa,” aku
melanjutkan. “Sang ibu menyuruh sang adik untuk segera memanggil ayahnya agar
ayah menghubungi dokter untuk datang ke rumah.” Aku berhenti.
Aku mengelus pelan tangannya,
menyusuri jemari-jemarinya, kemudian tersenyum ke arahnya.
“Kamu tau, apa jawaban sang adik?” tanyaku padanya.
Aku menunggu responnya.
“Ah, ibu tenang aja. Adik sudah
kasih kakak racun serangga kok, pasti kecoanya sudah mati.” lanjut ceritanya.
Aku tertawa terbahak-bahak dengan
leluconku sendiri. Sedangkan dia, hanya melihatku dengan tatapan kosong.
Aku berhenti tertawa. Aku menatapnya
dengan rasa pilu di hati.
“Aku akan terus berada di
sampingmu, bagaimanapun kondisimu.” Kataku, menatap dalam-dalam matanya,
terlihat air mata mulai membasahi sekitar matanya.
Aku mengusap setiap butiran air
mata itu sebelum mereka jatuh menuruni pipi halusnya.
“Penyakit stroke ini tidak mengubah
rasa sayangku kepadamu. Aku telah bersumpah menjagamu dihadapan keluarga dan
Tuhan.”
“Aku bahagia kamu masih bisa berada
disini, disampingku.”
Can
you imagine? Memiliki pasangan yang terkena penyakit
stroke dan lumpuh total. Apa kau akan mencintainya seperti aku mencintai
istriku? Menemaninya sepanjang hari? Bisa kau membayangkan rasa sedih itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar