Powered By Blogger

Senin, 14 September 2015

I'm Not Afraid

Mereka datang dan pergi begitu saja. Datang membawa ketakutan dan pergi meninggalkan teror yang berkelanjutan. Kehadiran mereka selalu membuat bulu kudukku berdiri. Walaupun aku berusaha untuk mengabaikan mereka, tapi mereka tidak berusaha untuk mengabaikanku. Mereka terus mengawasiku, mengikutiku kemanapun aku pergi. Menatapku dengan tatapan yang menusuk.
            Namaku Fabian Angga Wijaya. Orang-orang memanggilku Ian. Umurku sekarang 15 tahun. Menurut ayahku, aku adalah seorang anak indigo, berdasarkan pada kisah menyeramkan yang kuceritakan kepada ayahku dan sering membuat ia merasa takut terhadapku.
Aku bisa melihat hal yang tidak bisa orang biasa lihat. Tidak jarang pula aku sering dipanggil oleh suara-suara yang asalnya tidak diketahui.
            Sebagai anak laki-laki, aku lebih sering terkurung di dalam rumah. Misalnya ada tugas kelompok yang diberikan guru sekolah, ayah menyarankanku mengajak teman-teman untuk mengerjakan tugas kelompok itu di rumahku. Segala sesuatu yang menunjang dalam belajar telah disediakan sangat lengkap agar aku tidak perlu untuk keluar dari rumah.
            Ayah masih tidak dapat melupakan kejadian yang kualami ketika aku masih kecil. Aku ingat saat itu kami sedang berada di stasiun kereta api dan itu adalah pertama kalinya aku datang ke stasiun kereta. Aku melihat sesosok gadis muda yang terjepit kakinya diantara rel-rel kereta api. Tentu saja tidak ada yang bisa melihatnya kecuali diriku sendiri. Sangat susah membedakan apakah itu manusia atau makhluk halus. Tanpa berpikir panjang, aku berjalan turun ke jalur kereta demi membantu anak gadis yang sedang terjebak.
            Semua orang spontan berteriak, seorang perempuan tua bisu berusaha berteriak meminta tolong kepada petugas kereta api untuk menyelamatkanku. Namun para petugas tidak mengerti. Kemudian ia menyadarkan ayahku bahwa aku sudah tidak berada berdiri di sampingnya lagi dan tengah berada di jalur kereta. Sontak ayahku langsung berlari ke arah petugas dan meminta tolong. Namun karena kereta sebentar lagi akan melintas mereka tidak berani turun. Aku tidak mengerti kenapa mereka begitu ketakutan karena waktu itu aku masih kecil dan tidak mengerti apa-apa.
            Ayah tanpa pikir panjang segera melompat turun dan berlari dengan kencang ke arahku, aku selamat. Aku ingat ayah memarahiku habis-habisan dan yang kulakukan hanya menangis. Tapi amarah ayah tidak bertahan lama, karena ayah sangat menyayangiku. Ia bertanya kenapa aku turun ke jalur kereta.
            “Ada kakak perempuan, kakinya terjepit ayah. Dia minta tolong agar menyelamatkan dia dari sana.” Jawabku polos.
            Ayah spontan terdiam. Beberapa hari kemudian, ia membawaku ke tempat temannya dan menanyakan apa yang terjadi padaku. Temannya yang merupakan seorang cenayang mengatakan bahwa kemungkinan aku adalah seorang anak indigo. Dan sejak saat itulah, ayah menjadi lebih ketat dalam menjagaku. Ayah tidak menginginkan hal yang tidak bagus terjadi padaku.
*
            Suatu malam, aku sedang duduk santai di belakang rumah, menghadap ke kolam berenang. Sambil membaca novel picisan temanku yang menurutku lumayan bagus untuk seorang pemula. Tiba-tiba terdengar suara wanita memanggil namaku, “Fabian, Fabian. Tolong!”
            Muncul sesosok wanita dengan rambut yang tampak sangat basah serta terlihat di pergelangan tangan kirinya mengeluarkan banyak sekali darah. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya. Namun, sejak aku tinggal disini, dia tidak pernah memunculkan dirinya kepadaku. Mungkin ia ingin berbicara padaku ketika aku sedang sendirian karena selama ini aku selalu bersama dengan pembantu rumahku.
            “Siapa kau? Dan apa yang kau inginkan?” tanyaku tanpa rasa takut karena aku sudah terbiasa menghadapi hal ini sejak masih berusia belia.
            “Aku Anisa, sebenarnya aku sudah lama ingin berbicara denganmu.  Namun selalu ada orang lain dimana pun kau berada,” katanya. “aku ingin minta tolong.”
            “Apa yang terjadi padamu?” tanyaku sambil melihat ke dalam rumah, apakah ada orang yang sedang bersantai di ruang tamu.
            “Aku di bunuh secara keji oleh para kakak kelasku di sini. Dulu ini adalah rumahku.”
            “Dibunuh? Kenapa?”
           “Dulu, sebelum aku bersekolah disini, ak bersekolah di kota lain. Karena ayahku memiliki tugas disini, aku mengurusi berkas-berkas yang dibutuhkan sekolah, karena aku murid pindahan. Waktu itu ada seorang kakak kelas yang berdiri di gerbang, ia mengaku sudah menunggu di gerbang sekolah demi bertemu denganku dan ia menawariku untuk diantari pulang,” katanya. “Awalnya aku menolak, namun dia terus memaksa dan akhirnya aku menerimanya secara terpaksa. Dan ketika aku sampai di rumah, dia ikut masuk. Aku mempersilahkan dia duduk di ruang tamu. Dan aku ke kamar untuk berganti pakaian.” Lanjutnya, ia dengan perlahan keluar dari kolam berenang.
            “Dan ternyata dia mengikutiku dari belakang sampai masuk ke dalam kamar, kemudian aku diperkosa hingga aku tidak sadarkan diri. Waktu itu kondisi rumah memang kosong karena ayah dan ibuku sedang berada di kantor mengurusi pekerjaan mereka, sedangkan adik-adikku sedang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya. Aku menjadi korban nafsu para lelaki bajingan itu.”
            “Namun, tidak berhenti sampai disana. Pergelangan tangan kiriku ini di potongnya hingga aku pingsan karena darah yang keluar cukup banyak. Kemudian aku dimasukkan ke dalam bak di dalam kamar mandi layaknya orang yang bunuh diri. Polisi juga meyakini hal itu karena tidak ada barang-barang dari rumahku yang hilang, dan kasus kemudian ditutup.”
            “Lalu apa yang kau butuhkan dariku?” Tanyaku penasaran.
            “Aku ingin kau memberitahu kepada keluargaku bahwa aku telah damai disini, di dunia yang berbeda dengan dunia mereka. Aku masih tau bahwa ibu tidak merelakan kepergianku selama ini.”
            “Tapi itukan sudah lama sekali, tahun berapa kamu meninggal, kak?” tanpa sadar aku terhanyut dalam ceritanya dan merasa bahwa dia sangat dekat denganku.
            “10 tahun yang lalu, tapi mereka masih di kota ini, akan aku beritahu alamatnya.”
          Tanpa berpikir panjang, aku langsung menelpon ayahku dan meminta agar dia mengantarkanku ke alamat kakak yang sangat sengsara ini. Bagaimana tidak, ia telah memperhatikan keluarganya, terutama ibunya selama ini larut dalam kesedihan yang mendalam. Sebuah pukulan telak bagi orang tua, ketika anak kesayangan mereka meninggal. Dan kak Anisa bukanlah satu-satunya korban nafsu para lelaki bajingan. Masih banyak diluar sana yang mengalami hal serupa, atau bisa saja lebih menyedihkan.
            Sesampainya di rumah kak Anisa, aku dan ayahku disambut baik oleh keluarga kak Anisa, terutama ayahnya, pak Darmawan. Kemudian kami dipersilahkan duduk dan memberitahukan apa maksud kedatangan kami. Lalu aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada kak Anisa. Mereka sekeluarga yang mendengarkan ceritaku terlihat tidak percaya. Namun beberapa dari mereka menintikkan air mata. Aku melihat pipi kak Anisa juga telah basah oleh air matanya. Ibu dan ayah kak Anisa mengatakan bahwa mereka telah merelakan kepergian anak yang disayanginya itu. Dan berterima kasih padaku telah mengabarkannya.
            Setelah itu aku pamit kepada keluarga kak Anisa, dan sejak saat itu, aku tidak pernah lagi melihat kak Anisa.

            Sejak saat itu, aku merasa bahwa kemampuanku ini, aku dapat membuat orang lain menjadi lebih baik. Ayah mulai mengerti dengan kemampuanku ini dan meregangkan pengawasannya terhadapku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar