Mereka datang dan pergi begitu saja.
Datang membawa ketakutan dan pergi meninggalkan teror yang berkelanjutan. Kehadiran
mereka selalu membuat bulu kudukku berdiri. Walaupun aku berusaha untuk
mengabaikan mereka, tapi mereka tidak berusaha untuk mengabaikanku. Mereka
terus mengawasiku, mengikutiku kemanapun aku pergi. Menatapku dengan tatapan
yang menusuk.
Namaku
Fabian Angga Wijaya. Orang-orang memanggilku Ian. Umurku sekarang 15 tahun. Menurut ayahku, aku adalah seorang anak indigo, berdasarkan pada kisah
menyeramkan yang kuceritakan kepada ayahku dan sering membuat ia merasa takut
terhadapku.
Aku bisa melihat hal yang tidak
bisa orang biasa lihat. Tidak jarang pula aku sering dipanggil oleh suara-suara
yang asalnya tidak diketahui.
Sebagai
anak laki-laki, aku lebih sering terkurung di dalam rumah. Misalnya ada tugas
kelompok yang diberikan guru sekolah, ayah menyarankanku mengajak teman-teman
untuk mengerjakan tugas kelompok itu di rumahku. Segala sesuatu yang menunjang
dalam belajar telah disediakan sangat lengkap agar aku tidak perlu untuk keluar
dari rumah.
Ayah
masih tidak dapat melupakan kejadian yang kualami ketika aku masih kecil. Aku
ingat saat itu kami sedang berada di stasiun kereta api dan itu adalah pertama
kalinya aku datang ke stasiun kereta. Aku melihat sesosok gadis muda yang
terjepit kakinya diantara rel-rel kereta api. Tentu saja tidak ada yang bisa
melihatnya kecuali diriku sendiri. Sangat susah membedakan apakah itu manusia
atau makhluk halus. Tanpa berpikir panjang, aku berjalan turun ke jalur kereta demi membantu anak gadis yang sedang terjebak.
Semua
orang spontan berteriak, seorang perempuan tua bisu berusaha berteriak meminta
tolong kepada petugas kereta api untuk menyelamatkanku. Namun para petugas
tidak mengerti. Kemudian ia menyadarkan ayahku bahwa aku sudah tidak berada
berdiri di sampingnya lagi dan tengah berada di jalur kereta. Sontak ayahku langsung berlari ke arah petugas dan
meminta tolong. Namun karena kereta sebentar lagi akan melintas mereka tidak
berani turun. Aku tidak mengerti kenapa mereka begitu ketakutan karena waktu
itu aku masih kecil dan tidak mengerti apa-apa.
Ayah
tanpa pikir panjang segera melompat turun dan berlari dengan kencang ke arahku, aku selamat. Aku ingat ayah memarahiku habis-habisan dan yang kulakukan
hanya menangis. Tapi amarah ayah tidak bertahan lama, karena ayah sangat
menyayangiku. Ia bertanya kenapa aku turun ke jalur kereta.
“Ada
kakak perempuan, kakinya terjepit ayah. Dia minta tolong agar menyelamatkan dia
dari sana.” Jawabku polos.
Ayah
spontan terdiam. Beberapa hari kemudian, ia membawaku ke tempat temannya dan
menanyakan apa yang terjadi padaku. Temannya yang merupakan seorang cenayang
mengatakan bahwa kemungkinan aku adalah seorang anak indigo. Dan sejak saat
itulah, ayah menjadi lebih ketat dalam menjagaku. Ayah tidak menginginkan hal
yang tidak bagus terjadi padaku.
*
Suatu
malam, aku sedang duduk santai di belakang rumah, menghadap ke kolam berenang.
Sambil membaca novel picisan temanku yang menurutku lumayan bagus untuk seorang
pemula. Tiba-tiba terdengar suara wanita memanggil namaku, “Fabian, Fabian.
Tolong!”
Muncul sesosok wanita dengan rambut yang tampak sangat basah serta terlihat di pergelangan
tangan kirinya mengeluarkan banyak sekali darah. Aku tidak tahu apa yang
terjadi padanya. Namun, sejak aku tinggal disini, dia tidak pernah memunculkan
dirinya kepadaku. Mungkin ia ingin berbicara padaku ketika aku sedang sendirian
karena selama ini aku selalu bersama dengan pembantu rumahku.
“Siapa
kau? Dan apa yang kau inginkan?” tanyaku tanpa rasa takut karena aku sudah terbiasa
menghadapi hal ini sejak masih berusia belia.
“Aku
Anisa, sebenarnya aku sudah lama ingin berbicara denganmu. Namun selalu ada orang lain dimana pun kau
berada,” katanya. “aku ingin minta tolong.”
“Apa
yang terjadi padamu?” tanyaku sambil melihat ke dalam rumah, apakah ada orang
yang sedang bersantai di ruang tamu.
“Aku
di bunuh secara keji oleh para kakak kelasku di sini. Dulu ini adalah rumahku.”
“Dibunuh?
Kenapa?”
“Dulu,
sebelum aku bersekolah disini, ak bersekolah di kota lain. Karena ayahku memiliki tugas disini, aku mengurusi berkas-berkas yang dibutuhkan sekolah, karena aku
murid pindahan. Waktu itu ada seorang kakak kelas yang berdiri di gerbang, ia mengaku sudah menunggu di gerbang sekolah demi bertemu denganku dan ia menawariku
untuk diantari pulang,” katanya. “Awalnya aku menolak, namun dia terus memaksa
dan akhirnya aku menerimanya secara terpaksa. Dan ketika aku sampai di rumah,
dia ikut masuk. Aku mempersilahkan dia duduk di ruang tamu. Dan aku ke kamar
untuk berganti pakaian.” Lanjutnya, ia dengan perlahan keluar dari kolam
berenang.
“Dan
ternyata dia mengikutiku dari belakang sampai masuk ke dalam kamar, kemudian
aku diperkosa hingga aku tidak sadarkan diri. Waktu itu kondisi rumah memang
kosong karena ayah dan ibuku sedang berada di kantor mengurusi pekerjaan
mereka, sedangkan adik-adikku sedang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di
sekolahnya. Aku menjadi korban nafsu para lelaki bajingan itu.”
“Namun,
tidak berhenti sampai disana. Pergelangan tangan kiriku ini di potongnya hingga aku pingsan karena darah yang keluar cukup banyak. Kemudian aku dimasukkan ke dalam bak di dalam kamar mandi layaknya orang yang
bunuh diri. Polisi juga meyakini hal itu karena tidak ada barang-barang dari
rumahku yang hilang, dan kasus kemudian ditutup.”
“Lalu
apa yang kau butuhkan dariku?” Tanyaku penasaran.
“Aku
ingin kau memberitahu kepada keluargaku bahwa aku telah damai disini, di dunia
yang berbeda dengan dunia mereka. Aku masih tau bahwa ibu tidak merelakan
kepergianku selama ini.”
“Tapi
itukan sudah lama sekali, tahun berapa kamu meninggal, kak?” tanpa sadar aku
terhanyut dalam ceritanya dan merasa bahwa dia sangat dekat denganku.
“10
tahun yang lalu, tapi mereka masih di kota ini, akan aku beritahu alamatnya.”
Tanpa
berpikir panjang, aku langsung menelpon ayahku dan meminta agar dia mengantarkanku
ke alamat kakak yang sangat sengsara ini. Bagaimana tidak, ia telah
memperhatikan keluarganya, terutama ibunya selama ini larut dalam kesedihan
yang mendalam. Sebuah pukulan telak bagi orang tua, ketika anak kesayangan
mereka meninggal. Dan kak Anisa bukanlah satu-satunya korban nafsu para lelaki
bajingan. Masih banyak diluar sana yang mengalami hal serupa, atau bisa saja
lebih menyedihkan.
Sesampainya
di rumah kak Anisa, aku dan ayahku disambut baik oleh keluarga kak Anisa,
terutama ayahnya, pak Darmawan. Kemudian kami dipersilahkan duduk dan memberitahukan
apa maksud kedatangan kami. Lalu aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi
pada kak Anisa. Mereka sekeluarga yang mendengarkan ceritaku terlihat tidak
percaya. Namun beberapa dari mereka menintikkan air mata. Aku melihat pipi kak
Anisa juga telah basah oleh air matanya. Ibu dan ayah kak Anisa mengatakan
bahwa mereka telah merelakan kepergian anak yang disayanginya itu. Dan
berterima kasih padaku telah mengabarkannya.
Setelah
itu aku pamit kepada keluarga kak Anisa, dan sejak saat itu, aku tidak pernah
lagi melihat kak Anisa.
Sejak
saat itu, aku merasa bahwa kemampuanku ini, aku dapat membuat orang lain
menjadi lebih baik. Ayah mulai mengerti dengan kemampuanku ini dan meregangkan
pengawasannya terhadapku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar