Namaku Merry, aku adalah anak dari
seorang pemilik bengkel terbesar di kota ini. Pagi ini aku bangun di dalam
ruangan persegi yang cukup untuk menampung segala perlengkapanku. Segeralah aku
beranjak dari tempat tidur empuk ini dan aku terdiam sejenak, mataku tertuju
pada sebuah benda yang berbentuk bulat dan berlapiskan krim merah muda, sebuah
kue ulang tahun dengan lilin bernomor satu dan tujuh ditusuk bersampingan
berada di atas meja belajarku dengan sebuah surat di sampingnya.
“Selamat Ulang Tahun ke-17 anakku.
Semoga kamu makin cantik dan semakin dewasa.”
Aku terkejut, kue dan surat ini
merupakan pemberian ayahku. Aku bahkan tidak mengingat kalau hari ini adalah
ulang tahunku jika ayah tidak menaruh kue ulang tahun ini di atas meja belajarku.
Yah mau bagaimana, aku sering ketempat temanku, Bejo. Pikiranku hanya berisikan
gambar-gambar tato yang sangat membuatku bahagia. Bejo adalah seorang seniman
tato dan aku banyak belajar tentang semua seni tato darinya. Tidak ada yang
lebih mengasyikkan daripada membuat gambar dengan media kulit manusia. Ya,
bagiku Bejo adalah teman baik, dan bagi orang lain dia hanyalah seorang yang
tidak lebih dari sekedar kertas yang tidak terpakai.
Belum sempat aku melangkahkan kaki
keluar dari kamar, telepon genggamku berdering
dengan kerasnya seperti tidak sabar untuk segera diangkat.
“Hey monyong! Kapan lu ke kios?
Hari ini banyak pengunjung. Kata lu
kemarin mau kabur dari rumah?”
Kalimat itu sontak mengingatkanku
akan rencanaku untuk kabur dari rumah ini. Aku tidak tahan diperlakukan layaknya
anak kecil oleh ayah. Semenjak ibu meninggal, ayah menjadi lebih protektif
daripada sebelumnya. Dan aku telah memutuskan bahwa hari ini adalah hari dimana aku akan keluar dari
lingkaran perlindungan itu. Aku sudah merasa cukup dewasa untuk berusaha
sendiri di luar. Aku ingin belajar untuk mandiri dan tidak ingin menyusahkan
orang-orang disekitarku.
“Iya! Gua juga tau, gua baru bangun
nih! Lu tau gak? Ayah gua naruh kue ulang tahun di kamar! Gila kali, emang gua
anak kecil masih makan kue gituan!”
“Lu kan emang kayak putri dari
kerajaan peralatan bengkel.” Ucapnya sambil
tertawa senang setelah mengejekku.
“Ah, sialan lu! Udah, gua mau mandi
dulu. Ntar sehabis mandi gua langsung ke rumah lu.” aku langsung aku metutup
telepon dan melemparkannya ke atas kasur.
Ketika aku membuka pintu kamar,
kulihat seseorang berdiri dengan tegap di depanku. Dengan jas hitam dengan dasi
bermotifkan garis hitam dan putih. Ditemani oleh anak muda yang berusia lima
belas tahun menggenakan seragam putih
abu-abu nya.
“Papa! Andrew! Kukira papa sudah
berangkat kerja. Dan Andrew kok kamu belum berangkat sekolah? Nanti telat loh.”
ucapku kepada mereka.
“Siapa yang kamu telepon tadi?”
tanya papa dengan suara yang lantang.
“Siapa yah? Merry gak ada telepon
siapa-siapa kok?” kataku berusaha menutupi kenyataan bahwa tadi Bejo menelepon ku.
“Udahlah kak, kenapa gak jujur aja?
Kakak mau kabur dari rumah setelah mandi kan? Itu yang telepon tadi pasti teman
kakak si tukang tato itu. Mau peras duit? Dasar gelandangan kayak dia aja mau
diajak berteman.”
“Sudah kau diam dulu Andrew!
Biarkan kakakmu ini menjelaskan semuanya.” Ucap papa.
“Kenapa papa selalu membela dia?
Sudah jelas-jelas bahwa dia ingin keluar dari rumah ini. Ayah juga sudah
mendengarnya sendiri. Dari dulu perkataanku selalu tidak pernah didengar oleh
papa.” Kata Andrew sambil menunjuk ke arahku. Tatapan yang dipenuhi dengan rasa
benci itu membuatku merasa tidak nyaman dengan kondisi ini.
“Iya! Aku ingin keluar dari rumah ini.
Sudah lama aku merencanakannya, tetapi aku belum dapat tempat tinggal. Aku
tidak suka masih diperlakukan layaknya seorang putri. Apakah papa tau apa julukanku di luar sana? Putri dari kerajaan peralatan bengkel! Aku malu, pa! Aku tidak seperti
gadis-gadis lain yang ingin menikmati kehidupan dengan bersantai, aku suka
berekspresi! Aku ingin mengekspresikannya setelah aku keluar dari sangkar burung
ini. Dan saat yang tepat adalah hari ini!”
Langsung saja aku masuk kamar dan
mengunci pintu, untung saja dulu aku tidak mau untuk dibuatkan sebuah kunci
duplikat sehingga tidak ada yang bisa masuk ke kamarku seenaknya. Aku mengambil
koper yang terletak di atas lemari pakaianku. Koper yang telah kusiapkan untuk
rencana kabur dari hari ini, tidak ketinggalan pula handphone yang ku lempar ke
atas kasur tadi.
Satu-satunya jalur untuk keluar
dari rumah adalah melewati jalan tadi, itu tandanya aku harus berlari menabrak papa
dan Andrew terlebih dahulu. Ku tarik nafas dalam-dalam, sejenak aku berpikir,
haruskah aku mengambil jalan ini? Haruskan aku keluar dari kerajaan ini dan
memilih untuk bekerja keras demi mendapatkan sebungkus nasi?
Kubuang jauh-jauh semua pikiran
itu. Aku telah mantap dengan apa yang telah aku rencanakan selama ini. Aku
akhirnya akan benar-benar terjun ke dunia yang sangat buas, tidak akan ada lagi
Air Conditioner di kamar ku. Tidak
akan ada lagi boneka yang terpajang di atas kasurku. Tidak akan ada lagi
majalah mingguan yang berada di ruang tamu. Tidak akan ada lagi internet yang
cepat yang memudahkanku untuk mengakses sosial media.
Tiba-tiba papa mengetuk pintu.
“Merry, kalau kamu tidak ingin diperlakukan
seperti itu lagi. Papa akan berhenti melakukannya, papa berjanji. Papa tau bahwa papa bukanlah seorang papa
yang baik buatmu. Tapi papa ingin berusaha menjadi yang terbaik. Papa tidak
ingin anak kesayangan papa untuk pergi dari rumah. Hal ini hanya akan membuat
ibumu sedih. Papa akan belikan apapun yang kamu mau agar kamu tidak pergi dari
rumah ini.” Ucap ayah dengan suara yang halus.
Seketika hatiku bergejolak, di satu
sisi aku ingin sekali pergi dari rumah, tetapi di sisi lain aku tidak ingin
meninggalkan orang-orang yang aku sayang.
“Jika ibumu masih hidup, mungkin
ibu akan berjongkok memohon di depanmu agar kamu tidak memilih jalan untuk
pergi dari rumah ini.”
“Jangan sebut-sebut ibu lagi disini!
Ibu sudah tiada, ibu sudah meninggalkan kita. Ibu bahkan tidak tau bagaimana
rasanya ketika ibu pergi selamanya dari kehidupanku! Lihat, bahkan sebelum aku
pergi, papa masih bersikap seolah-olah aku ini anak kecil. Aku tidak ingin
hidup di masa lalu, yang penuh kesedihan atas kepergian ibu.” Teriakku sambil
menangis bersandar di balik pintu kayu dengan motif bunga kesukaan ibu.
“Kamu bilang ibu tidak tahu? Lalu
bagaimana dengan ayah? Kamu akan meninggalkan papa dan Andrew. Apakah kamu
tidak dapat membayangkan rasanya kami ditinggalkan olehmu?”
Aku tidak dapat berkata-kata lagi,
tentu saja aku tidak perlu lagi membayangkan jika hal tersebut terjadi karena
aku telah merasakannya juga. Namun tekadku sudah bulat. Aku ingin bebas!
Segera ku buka pintu dan berlari
menabrak adik dan ayahku sampai mereka terjatuh. Tidak kuperdulikan lagi betapa
sakitnya kedua bahu ini setelah
bertubrukkan dengan mereka, yang kuperdulikan sekarang adalah apakah aku akan
berhasil keluar dari rumah ini.
“Merry!”
“Sudah papa, itu semua keputusan
kakak, dia sudah bukan anak kecil lagi. Dia sudah berubah, dia sudah
terpengaruh oleh teman-temannya. Berharap saja suatu saat ada yang menyadarkan
dia.” ucap Andrew sambil menahan papa agar tetap berada di posisinya.
Aku berlari secepat mungkin sambil
meneteskan air mata. Dalam hatiku, aku tidak ingin meninggalkan mereka, hanya
merekalah yang aku punya. Tetapi sikap keras kepalaku tidak dapat untuk dilawan
lagi. Mungkin itulah terakhir kalinya kita berbicara, papa, Andrew. Aku tidak
akan kembali sebelum aku berhasil diluar tanpa bantuan ayah.
********
Merry 8 tahun yang lalu.
“Merry, kamu masih mau es krim
coklat lagi?” tanya papa kepadaku,
“Mau pa! Tapi belikan Andrew juga, ya!” Kataku sambil mengelus kepala kecil Andrew yang pada saat itu masih
berusia tujuh tahun.
Papa
yang pergi membeli es krim lagi untukku, padahal es krim yang sebelumnya masih
ada di dalam genggamanku, kami ditinggal papa di tempat duduk yang berada di
sekitar taman. Suasananya sangat menyenangkan, kulihat anak-anak seusiaku
berlari kesana kesini dengan gembiranya. Namun hal itu tidak nampak pada raut
wajah Andrew. Dia hanya duduk terdiam, merenung, dan aku pun tidak tau apa yang
sedang dipikirkannya.
“Andrew?
Kamu tidak mau es krim? Kakak masih ada es krim, kamu mau?”
Andrew
hanya mengangguk malu sambil menunduk dan melihat ke arah sepatu kecil merah
dengan gambar mickey mouse yang berada pada sisi kanan dan kiri sepatunya. Ku
julurkan tanganku untuk memberikan Andrew es krim yang masih belum habis olehku
tadi. Tiba-tiba pegangan Andrew melemah dan es krim yang diberikan olehku itu
jatuh. Papa yang melihat dari jauh segera menghampiri dan memarahi Andrew.
“Kenapa
kamu menjatuhkan es krim kakakmu, Drew?”
“Bukan
dia pa, ini salah Merry, Merry yang tak sengaja menjatuhkan es krim.” Kataku
kepada papa agar papa tidak memarahi Andrew. “Papa, papa, berikan es krim itu
ke Andrew, Merry udah tidak mau makan lagi. Kasihkan ke Andrew saja, pa.”
Papa
pun mendengarkanku dan memberikan es krim itu kepada Andrew, Andrew yang
malu-malu menerima es krim itu berterimakasih kepadaku dengan suara kecil.
“Terima
kasih kakak.” Kata Andrew sambil tersenyum kecil.
“Sama-sama
Andrew.” ucapku sambil membalas senyumannya. “Papa, lain kali jalan-jalan lagi
yah, Merry gak bisa kalau gak ada papa.”
********
“Woi,
melamun aja lu!” kata Bejo yang dengan tiba-tiba menjentikkan jarinya di depan
wajahku. “Kamar lu udah siap di belakang, baru nyampe malah langsung melamun
depan kios, kesambet ntar baru tau lu!”
“Oh
ok, thanks Jo. Aku mau mandi dulu. Belum makan juga, laper. Ada makanan gak
lu?” tanyaku sambil membawa koper masuk ke dalam kios.
“Loh?
Lu bukannya mandi di rumah tadi? Pantesan kecium bau ikan asin dari sejak lu
sampai disini.”
“Ah
sialan lu, tadi aku bertengkar sama papaku di rumah. Ketahuan aku mau kabur
gara-gara lu telepon pagi-pagi. Untung aja papa dan adikku gak tau tempat nongkrongku disini.”
“Wah
parah itu, ntar aku dituduh nyulik anak orang nih.”
“Tenang,
aku pasti ngebela lu kok. Aku yakin papaku pasti bakal minta bantuan
polisi buat cari aku. Jadi aku harus di
dalam kios terus, gak bisa keluar kios. Tapi masih ada dua hari aku untuk
bebas. Seingatku untuk laporan orang hilang ke polisi itu harus dua kali dua
puluh empat jam.”
“Setelah
itu jangan keluar-keluar. Gue gak mau ada masalah. Mau hidup tenang nih gue.”
“Tenang
aja. Siapin makanan dong Jo, laper. Aku mau pindahin barang-barang dulu.”
Bejo
pun menuruti permintaanku dan pergi membelikan nasi padang yang berada di dekat
kios.
Hari
ini menjadi hari pertamaku hidup di tempat yang asing. Tidak ada AC, tidak ada
Televisi 50 inch, tidak ada bathtub,
tidak ada kulkas dengan isi yang penuh dengan makanan, tidak ada kasur yang
empuk. Beginilah kehidupan tanpa ada orang tua yang membantu. Tekadku sudah
bulat untuk menjadi sukses tanpa bantuan orang tua. Mulai hari ini aku adalah
Merry yang baru, sosok yang kuat, yang gak hanya menunggu bantuan orang, tapi
aku adalah Merry yang akan selalu berusaha. Ku keluarkan semua barang-barang
dari dalam koper. Tidak ada baju-baju mahal, yang kubawa hanyalah baju-baju
kaos murahan yang didapat dari pegawai-pegawai bengkel yang berhenti. Jelek,
itulah kata pertama yang terlintas dipikiranku mengenai baju yang kubawa dari
rumah. Tapi itulah yang menutupi dan melindungi tubuhku mulai saat ini. Mulai
hari ini aku sudah berubah.
********
Aku
ingat waktu itu hari minggu sore, umurku yang masih delapan tahun membuatku sangat
ingin mencoba berbagai hal. Kutemukan beberapa spidol di ruangan kerja papa,
dan aku mulai membuat coretan-coretan kecil pada sebuah lembaran kertas kosong
yang lama kelamaan menjadi sebuah coretan bermakna, aku berhasil menggambar
sebuah rumah. Segera kutunjukkan gambar itu kepada papa. Papa yang sedang duduk santai di teras rumah
sambil membaca koran dan minum segelas kopi hitam pekatnya.
“Papa!
Lihat apa yang Merry gambar.”
Papa menerima kertas bergambar itu dan menatapnya sambil tersenyum. “Ini rumah kita ya, Merry? Kamu sangat hebat menggambar, kenapa kamu tidak mencoba
menggambar hal-hal lain lagi. Ayo papa temani kamu menggambar.”
Papa
memberiku semangat untuk menggambar, dan mulailah aku mencoret lagi dibalik
halaman kertas yang sama.
“Apa
yang kamu gambar sekarang, Merry? Papa tidak tahu gambar apa itu.” Tanya papa
yang mulai penasaran dengan apa yang aku gambar.
“Papa
jangan mengintip dong, ayah tutup mata sampai Merry bilang boleh buka ya.”
“Oke
deh, papa baca Koran saja, papa janji tidak mengintip. Kalau sudah selesai,
berikan ke papa untuk melihat ya.”
Tidak
berapa lama kemudian, gambarku pun sudah selesai dan aku menunjukkannya kepada
papa. Papa tidak mengeluarkan sepatah kata pun, papa hanya terdiam. Dari matanya
terpancar rasa senang dan sedih yang bercampur aduk. Senang karena hasil
gambarnya sangatlah bagus untuk anak seusiaku, dan sedih karena yang kugambar
adalah gambaran mengenai anggota keluarga kami yang lengkap dengan ibuku sambil
bergandengan tangan.
“Bagaimana
papa? Apa gambarku bagus?” kataku yang mencoba mencairkan suasana karena
terlihat mata papa telah memerah ingin menangis.
“Kamu
berbakat Mer, kamu suka menggambar?”
“Iya,
suka sekali, aku bisa membuat gambar-gambar ibu. Pa, ijinkan aku ikut kursus
menggambar?“
“Iya,
tentu saja papa ijinkan, tapi janji kamu harus serius mengikutinya, ya?”
“Iya
pa, terima kasih ya. Merry tidak akan mengecewakan papa. Merry janji akan
banyak menggambar dengan hasil yang bagus.”
********
“Merry
tidak akan mengecewakan papa.” Ucapku dengan pelan sambil tersenyum pahit,
kenapa aku harus mengingat-ingat sesuatu hal yang tidak boleh untukku ingat
lagi. Aku harus kuat. Aku sudah berhasil bertahan satu hari dari rumah besar
dengan segala peralatan yang serba lengkap tanpa kekurangan satu apapun. Aku
sudah tidak masuk sekolah dua hari, aku ingin masuk sekolah, tapi apa yang
harus aku lakukan, tidak ada pelanggan hari ini. Padahal aku sedang sangat
ingin menggambar dibagian tubuh seseorang.
“Jo,
kenapa sepi gini sih hari ini? Udah mau jam makan siang nih, lu pergi beli
makan sana. Nasi padang deh, jangan lupa telur asinnya, ya.”
“Waduh,
jadi pesuruh terus nih, siap tuan putri. Kalau nanti ada pengunjung, lu yang
urus, ingat, jarumnya cuma satu kali pakai. Gunakan kemampuan gambar lu.”
“Siap
mas bro.” Dan tidak sampai sepuluh menit ditinggal Bejo, aku tertidur.
********
“Dan
keputusan juri adalah yang memegang juara satu melukis SMP tingkat kota adalah
Merry Olivia dengan gambar yang berjudul “Sedih tak berbicara”. Merry Olivia
dipersilahkan untuk maju keatas panggung untuk menerima piala dan piagam dari
panitia.”
“Merry!
Kamu hebat! Papa bangga sama kamu, kemampuan menggambarmu sangatlah luar biasa.
Sekarang, naik ke atas panggung cepat.” Aku
melihat dengan jelas senyuman kebahagiaan yang terpancar dari wajah papa. Aku
sangat senang dapat membuatnya bahagia dengan gambarku ini.
“Andrew,
buatlah papa bangga seperti kakakmu, jangan kecewakan papa.” Bisik papa.
“Iya
pa, Andrew akan berlatih bulutangkis lebih giat agar bisa memenangkan
pertandingan bulan depan.”
Aku
pun telah berdiri di atas panggung, papa bertepuk tangan dengan riang. Papa
sangat bangga melihatku memenangkan lomba melukis ini.
“Bagaimana
perasaanmu berhasil memenangkan perlombaan melukis ini Merry?” tanya sang MC
kepadaku. Aku bingung harus berkata apa.
“A..a..aku
sangat bangga, baru pertama kali aku mengikuti lomba melukis dan berhasil
memenangkannya. Aku sangat senang sekali, sangat senang melihat wajah bahagia
mereka karena aku bisa berdiri di atas panggung ini.”
“Mereka?
Siapa mereka?”
“Ayah
dan adikku.”
“Ayo
berikan tepuk tangan yang meriah kepada Merry Olivia! Pasti gambar ini kamu
persembahkan untuk mereka ya?”
“Iya,”
jawabku sambil mengangguk pelan.
“Kenapa
kamu memberikan judul “Sedih tak Berbicara” pada lukisanmu ini?”
“Pertama
yang ingin ku katakan adalah, aku mendapatkan ide itu dari adikku sendiri,
Andrew. Dia sering sekali merasa kesepian walaupun aku ada disana bersamanya,
sehingga aku menggambar seorang anak kecil yang duduk di depan rumah, di bawah
lampu rumahnya sambil memegang sebuah foto dan boneka pada malam hari sambil
menangis. Anak kecil tersebut menangis,
sama sepertiku, menangis karena ibuku telah tiada ketika aku masih kecil, aku bahkan
tidak pernah melihat wajahnya secara langsung selain melalui foto.”
Suasana
acara tiba-tiba berubah menjadi tegang karena ucapanku, semua pengunjung tidak
mengeluarkan suara sama sekali. Hening. Itu yang sedang terjadi, semua mata
tertuju padaku. Kemudian salah seorang pengunjung berdiri dari tempat duduk dan
bertepuk tangan, dan yang lainnya pun mengikuti. Itulah pertama dan terakhirnya
aku bisa berdiri di atas panggung kemenangan, tidak sedikit orang yang hadir
pada saat itu yang menangis. Ayah dan Andrew juga turut masuk kedalam suasana
sedih dan menangis mendengar perkataanku.
********
“Permisi.”
Terdengar
suara ketukan pintu yang cukup keras yang langsung menyadarkanku dari tidur siang pendekku.
“Iya
silahkan masuk, mau buat tato bang?”
“Iya
nih dek, adek sendiri yang buat ya? Bisa buat dalam bentuk tulisan kan?”
“Bisa
bang, silahkan tulis disini kata apa yang akan dibuat jadi tatonya.” Aku pun
menyerahkan sebuah kertas kosong dan pen kepadanya.
Sambil
aku mempersiapkan barang-barang untuk membuat tato, dia menuliskan sebuah
kalimat untuk dijadikan tato. Tidak lama kemudian dia mengembalikan kertas dan
bolpoin yang ku pinjamkan kepadanya. Aku terkejut dengan tulisan yang ingin dia jadikan
tato, aku terdiam sejenak melihatnya.
“I'm sorry dad, I love you.” Begitulah yang tertulis. Aku tidak dapat berkata
apa-apa. Kalimat tersebut seperti langsung menghubungkan semua ingatan masa
laluku.
“Bisa
kan dek buat tato dengan kalimat itu? Soalnya tidak lama lagi saya mau pulang
ke kampung, sudah bertahun-tahun tidak pulang dan berkumpul bersama keluarga
karena merantau di kota ini. Saya mau tunjukkan itu sebagai salah satu permintaan maaf.”
“Bi..
bisa bang. Mau warna apa tulisan nya?” tanpa sadar air mata turun melewati
pipiku.
“Kenapa
kamu menangis? Warna hitam saja.”
Aku
bahkan tidak sadar kalau aku menangis, langsung saja aku mengusap air mataku
dan mempersiapkan lagi alat-alat untuk membuat tato.
“Tidak
bang, tidak apa-apa. Oke tunggu sebentar bang, silahkan duduk dulu ya.”
“Jangan
panggil pakai abang, panggil saja Nico. Namaku Nico, kamu?”
“Namaku
Merry.”
“Sudah
lama kerja disini, Mer?”
“Baru
satu hari, Nic.”
“Lalu
kenapa kamu menangis?” tanyanya dengan rasa penasaran.
“Aku
kabur dari rumah, aku tidak tahan di perlakukan seperti anak kecil lagi. Selama
ini papaku selalu memanjakanku.”
“Kamu
anak tunggal?”
“Tidak,
aku masih punya saudara, namanya Andrew, hanya beda dua tahun dari ku. Ku
yakin dia sangat membenciku.”
“Kenapa?
Bukankah kalian saudara?”
“Papa
terlalu menyayangiku, sampai-sampai Andrew tidak diperdulikannya. Makanya
Andrew seperti kurang menyukaiku, padahal aku selalu ingin bersamanya, dari
kecil aku selalu membagi apa yang aku punya.”
“Tidakkah
lebih baik kalau kamu pulang ke rumah saja? Aku juga sepertimu, aku kabur dari
rumah, aku tidak tahan hidup dengan ekonomi dibawah rata-rata. Jadinya aku kabur
dari rumah dan mencari pekerjaan. Sekarang aku menyesal, uang bukanlah hal yang
sangat penting, yang terpenting adalah keluarga. Suatu saat keluarga itu akan
hilang, dan yang tersisa hanyalah dirimu sendiri. Maka manfaatkanlah waktu
sebaik mungkin dengan keluargamu. Pulanglah, aku yakin orang tua dan adikmu
sedang mengkhawatirkanmu sekarang.”
Semua
kata-katanya menyadarkanku. Aku merasa menjadi orang paling bodoh. Bagaimana
tidak? Aku memiliki semuanya, aku hidup dan besar dalam keluarga yang
ekonominya lebih dari cukup, lebih beruntung daripada bang Nico. Aku hanya
perlu mengubah cara hidupku, cara berpikirku. Tujuh belas tahun, di umur tujuh belas tahun ini aku sudah
bisa berpikir dengan baik, walaupun terkadang masih banyak yang hanya
memikirkan kepentingan sendiri. Keegoisanlah yang membutakanku. Dan aku harus
mengubah sifat itu.
Tidak
lama kemudian Bejo pulang membawakan nasi padang.
“Wah,
ada pelanggan nih. Pelanggan pertama
untuk hari ini, akhirnya.”
“Bejo,
urusin bang Nico. By the way,
terimakasih bang, abang udah menyadarkan aku. Aku terlalu egois terhadap diri
sendiri. Sekarang aku akan pulang dan berkumpul bersama keluargaku lagi. Aku berjanji
tidak akan mengecewakan mereka. Hanya merekalah yang tulus menyayangiku.
Dengan
cepat aku langsung masuk ke dalam kamar dan membereskan barang-barangku dan
memasukkannya ke dalam koper. Aku langsung keluar dari kamar membawa koper dan
memanggil taxi.
“Mau
kemana kamu, Mer?”
“Aku
ingin pulang Jo, bang Nico udah menyadarkan aku. Kita hidup dijalan
masing-masing. Aku hidup di jalanku, dan kamu hidup di jalanmu. Takdirku
bersama keluargaku. Aku akan kembali berkumpul bersama mereka lagi. Terima
kasih udah ngijinin aku tinggal disini.” Ucapku kepada Bejo. “Kita mungkin
bakal jarang ketemu karena aku akan fokus sekolah, menuntut ilmu.”
“Tapi
aku sudah merencanakan untuk menikah denganmu, aku menyayangimu.”
“Apakah
rasa sayangmu melebihi rasa sayang keluargaku padaku? Jika sudah, maka carilah
pekerjaan baru dan buatlah aku tersanjung dengan dirimu yang baru nanti. Suatu
saat, jika sudah, datanglah lagi kepadaku. Karena kau tau? Aku adalah seorang
putri dari kerajaan peralatan bengkel.”
Setelah
itu aku masuk kedalam taxi dan melihat muka kecewa dari Bejo, tidak tau apakah
dia mengerti dengan perkataanku tadi, yang penting sekarang aku akan pulang
kerumah dan bertemu dengan papa dan adikku.
********
“Andrew, ayo kita ke kantor polisi
sekarang, papa sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Merry sudah
benar-benar berubah semenjak berteman dengan yang namanya Bejo itu.” Ucap papa
dengan suara yang lantang.
“Tunggu delapan belas jam lagi
ayah, sekarang sudah jam dua siang, besok kita sudah bisa ke kantor polisi dan
melapor bahwa kak Merry telah menghilang dari rumah.”
“Tidak, kalian tidak perlu ke
kantor polisi lagi. Aku sudah pulang.” Papa terkejut mendengar suara dari arah
pintu masuk.
Papa menghampiriku dan menampari
pipi kiriku.
“Kenapa kamu ingin berbuat
seenaknya saja? Apakah kamu tidak tahu betapa papa sangat khawatir kepada mu?
Kamu tau kan rasa nya kehilangan orang yang kita sayang. Kenapa kamu tega
menyakiti papa seperti itu Merry?”
“Aku tahu aku salah pa, aku terlalu
egois dengan pendirianku, aku belum cukup dewasa untuk bisa berpikir bahwa aku
telah dewasa, aku sudah sadar semuanya. Aku sadar bahwa tidak ada yang lebih
penting di dunia ini selain keluargaku. Jika ayah masih ingin menamparku,
silahkan. Aku pantas dihukum, aku anak tidak berguna.”
“Tidak kak, kakak adalah anak papa
dan saudaraku yang paling berguna, aku selalu iri denganmu karena aku tidak
bisa menyaingimu. Aku selalu berada di belakangmu, seperti hanya mengikuti
jejakmu. Tapi aku bangga memiliki saudara sepertimu. Begitu pula papa, dia
sangat mengkhawatirkan mu seharian. Dia takut kakak kenapa-napa.”
“Berjanjilah pada papa, kamu tidak
boleh berteman dengan orang seperti Bejo, karena orang-orang seperti dia lah
yang membutakanmu dan membuatmu semakin egois.”
“Baik pa, aku akan lebih selektif
dalam memilih teman.” Kataku sambil tersenyum di depan ayah.
********
Akhirnya tiba saatnya, empat hari
yang menentukan masa depanku telah tiba di depan mata. Tinggal empat hari lagi,
aku semakin dekat dengan cita-citaku. Aku ingin menjadi seorang seniman hebat,
dan aku memutuskan untuk berkuliah di London mengambil jurusan dibidang seni
lukis. Aku ingin hidup mandiri dengan jalan yang benar. Dan aku membuktikan
bahwa aku BERUBAH karena adanya bantuan dan dorongan moral dari keluargaku. Tanpa
mereka aku bukanlah apa-apa. Aku ingin bebas, dengan restu dari keluargaku.
THE END