Powered By Blogger

Selasa, 19 Agustus 2014

Aku Ingin Bebas

Namaku Merry, aku adalah anak dari seorang pemilik bengkel terbesar di kota ini. Pagi ini aku bangun di dalam ruangan persegi yang cukup untuk menampung segala perlengkapanku. Segeralah aku beranjak dari tempat tidur empuk ini dan aku terdiam sejenak, mataku tertuju pada sebuah benda yang berbentuk bulat dan berlapiskan krim merah muda, sebuah kue ulang tahun dengan lilin bernomor satu dan tujuh ditusuk bersampingan berada di atas meja belajarku dengan sebuah surat di sampingnya.
“Selamat Ulang Tahun ke-17 anakku. Semoga kamu makin cantik dan semakin dewasa.”
Aku terkejut, kue dan surat ini merupakan pemberian ayahku. Aku bahkan tidak mengingat kalau hari ini adalah ulang tahunku jika ayah tidak menaruh kue ulang tahun ini di atas meja belajarku. Yah mau bagaimana, aku sering ketempat temanku, Bejo. Pikiranku hanya berisikan gambar-gambar tato yang sangat membuatku bahagia. Bejo adalah seorang seniman tato dan aku banyak belajar tentang semua seni tato darinya. Tidak ada yang lebih mengasyikkan daripada membuat gambar dengan media kulit manusia. Ya, bagiku Bejo adalah teman baik, dan bagi orang lain dia hanyalah seorang yang tidak lebih dari sekedar kertas yang tidak terpakai.
Belum sempat aku melangkahkan kaki keluar dari kamar,  telepon genggamku berdering dengan kerasnya seperti tidak sabar untuk segera diangkat.
“Hey monyong! Kapan lu ke kios? Hari  ini banyak pengunjung. Kata lu kemarin mau kabur dari rumah?”
Kalimat itu sontak mengingatkanku akan rencanaku untuk kabur dari rumah ini. Aku tidak tahan diperlakukan layaknya anak kecil oleh ayah. Semenjak ibu meninggal, ayah menjadi lebih protektif daripada sebelumnya. Dan aku telah memutuskan bahwa hari ini adalah hari dimana aku akan keluar dari lingkaran perlindungan itu. Aku sudah merasa cukup dewasa untuk berusaha sendiri di luar. Aku ingin belajar untuk mandiri dan tidak ingin menyusahkan orang-orang disekitarku.
“Iya! Gua juga tau, gua baru bangun nih! Lu tau gak? Ayah gua naruh kue ulang tahun di kamar! Gila kali, emang gua anak kecil masih makan kue gituan!”
“Lu kan emang kayak putri dari kerajaan peralatan bengkel.” Ucapnya sambil  tertawa senang setelah mengejekku.
“Ah, sialan lu! Udah, gua mau mandi dulu. Ntar sehabis mandi gua langsung ke rumah lu.” aku langsung aku metutup telepon dan melemparkannya ke atas kasur.
Ketika aku membuka pintu kamar, kulihat seseorang berdiri dengan tegap di depanku. Dengan jas hitam dengan dasi bermotifkan garis hitam dan putih. Ditemani oleh anak muda yang berusia lima belas  tahun menggenakan seragam putih abu-abu nya.
“Papa! Andrew! Kukira papa sudah berangkat kerja. Dan Andrew kok kamu belum berangkat sekolah? Nanti telat loh.” ucapku kepada mereka.
“Siapa yang kamu telepon tadi?” tanya papa dengan suara yang lantang.
“Siapa yah? Merry gak ada telepon siapa-siapa kok?” kataku berusaha menutupi kenyataan bahwa tadi Bejo menelepon ku.
“Udahlah kak, kenapa gak jujur aja? Kakak mau kabur dari rumah setelah mandi kan? Itu yang telepon tadi pasti teman kakak si tukang tato itu. Mau peras duit? Dasar gelandangan kayak dia aja mau diajak berteman.”
“Sudah kau diam dulu Andrew! Biarkan kakakmu ini menjelaskan semuanya.” Ucap papa.
“Kenapa papa selalu membela dia? Sudah jelas-jelas bahwa dia ingin keluar dari rumah ini. Ayah juga sudah mendengarnya sendiri. Dari dulu perkataanku selalu tidak pernah didengar oleh papa.” Kata Andrew sambil menunjuk ke arahku. Tatapan yang dipenuhi dengan rasa benci itu membuatku merasa tidak nyaman dengan kondisi ini.
“Iya! Aku ingin keluar dari rumah ini. Sudah lama aku merencanakannya, tetapi aku belum dapat tempat tinggal. Aku tidak suka masih diperlakukan layaknya seorang putri. Apakah papa tau apa julukanku di luar sana? Putri dari kerajaan peralatan bengkel! Aku malu, pa! Aku tidak seperti gadis-gadis lain yang ingin menikmati kehidupan dengan bersantai, aku suka berekspresi! Aku ingin mengekspresikannya setelah aku keluar dari sangkar burung ini. Dan saat yang tepat adalah hari ini!”
Langsung saja aku masuk kamar dan mengunci pintu, untung saja dulu aku tidak mau untuk dibuatkan sebuah kunci duplikat sehingga tidak ada yang bisa masuk ke kamarku seenaknya. Aku mengambil koper yang terletak di atas lemari pakaianku. Koper yang telah kusiapkan untuk rencana kabur dari hari ini, tidak ketinggalan pula handphone yang ku lempar ke atas kasur tadi.
Satu-satunya jalur untuk keluar dari rumah adalah melewati jalan tadi, itu tandanya aku harus berlari menabrak papa dan Andrew terlebih dahulu. Ku tarik nafas dalam-dalam, sejenak aku berpikir, haruskah aku mengambil jalan ini? Haruskan aku keluar dari kerajaan ini dan memilih untuk bekerja keras demi mendapatkan sebungkus nasi?
Kubuang jauh-jauh semua pikiran itu. Aku telah mantap dengan apa yang telah aku rencanakan selama ini. Aku akhirnya akan benar-benar terjun ke dunia yang sangat buas, tidak akan ada lagi Air Conditioner di kamar ku. Tidak akan ada lagi boneka yang terpajang di atas kasurku. Tidak akan ada lagi majalah mingguan yang berada di ruang tamu. Tidak akan ada lagi internet yang cepat yang memudahkanku untuk mengakses sosial media.
Tiba-tiba papa mengetuk pintu.
“Merry, kalau kamu tidak ingin diperlakukan seperti itu lagi. Papa akan berhenti melakukannya, papa berjanji.  Papa tau bahwa papa bukanlah seorang papa yang baik buatmu. Tapi papa ingin berusaha menjadi yang terbaik. Papa tidak ingin anak kesayangan papa untuk pergi dari rumah. Hal ini hanya akan membuat ibumu sedih. Papa akan belikan apapun yang kamu mau agar kamu tidak pergi dari rumah ini.” Ucap ayah dengan suara yang halus.
Seketika hatiku bergejolak, di satu sisi aku ingin sekali pergi dari rumah, tetapi di sisi lain aku tidak ingin meninggalkan orang-orang yang aku sayang.
“Jika ibumu masih hidup, mungkin ibu akan berjongkok memohon di depanmu agar kamu tidak memilih jalan untuk pergi dari rumah ini.”
“Jangan sebut-sebut ibu lagi disini! Ibu sudah tiada, ibu sudah meninggalkan kita. Ibu bahkan tidak tau bagaimana rasanya ketika ibu pergi selamanya dari kehidupanku! Lihat, bahkan sebelum aku pergi, papa masih bersikap seolah-olah aku ini anak kecil. Aku tidak ingin hidup di masa lalu, yang penuh kesedihan atas kepergian ibu.” Teriakku sambil menangis bersandar di balik pintu kayu dengan motif bunga kesukaan ibu.
“Kamu bilang ibu tidak tahu? Lalu bagaimana dengan ayah? Kamu akan meninggalkan papa dan Andrew. Apakah kamu tidak dapat membayangkan rasanya kami ditinggalkan olehmu?”
Aku tidak dapat berkata-kata lagi, tentu saja aku tidak perlu lagi membayangkan jika hal tersebut terjadi karena aku telah merasakannya juga. Namun tekadku sudah bulat. Aku ingin bebas!
Segera ku buka pintu dan berlari menabrak adik dan ayahku sampai mereka terjatuh. Tidak kuperdulikan lagi betapa sakitnya kedua bahu  ini setelah bertubrukkan dengan mereka, yang kuperdulikan sekarang adalah apakah aku akan berhasil keluar dari rumah ini.
“Merry!”
“Sudah papa, itu semua keputusan kakak, dia sudah bukan anak kecil lagi. Dia sudah berubah, dia sudah terpengaruh oleh teman-temannya. Berharap saja suatu saat ada yang menyadarkan dia.” ucap Andrew sambil menahan papa agar tetap berada di posisinya.
Aku berlari secepat mungkin sambil meneteskan air mata. Dalam hatiku, aku tidak ingin meninggalkan mereka, hanya merekalah yang aku punya. Tetapi sikap keras kepalaku tidak dapat untuk dilawan lagi. Mungkin itulah terakhir kalinya kita berbicara, papa, Andrew. Aku tidak akan kembali sebelum aku berhasil diluar tanpa bantuan ayah.
********
Merry 8 tahun yang lalu.

“Merry, kamu masih mau es krim coklat lagi?” tanya papa kepadaku,
“Mau pa! Tapi belikan Andrew juga, ya!” Kataku sambil mengelus kepala kecil Andrew yang pada saat itu masih berusia tujuh tahun.
            Papa yang pergi membeli es krim lagi untukku, padahal es krim yang sebelumnya masih ada di dalam genggamanku, kami ditinggal papa di tempat duduk yang berada di sekitar taman. Suasananya sangat menyenangkan, kulihat anak-anak seusiaku berlari kesana kesini dengan gembiranya. Namun hal itu tidak nampak pada raut wajah Andrew. Dia hanya duduk terdiam, merenung, dan aku pun tidak tau apa yang sedang dipikirkannya.
            “Andrew? Kamu tidak mau es krim? Kakak masih ada es krim, kamu mau?”
            Andrew hanya mengangguk malu sambil menunduk dan melihat ke arah sepatu kecil merah dengan gambar mickey mouse yang berada pada sisi kanan dan kiri sepatunya. Ku julurkan tanganku untuk memberikan Andrew es krim yang masih belum habis olehku tadi. Tiba-tiba pegangan Andrew melemah dan es krim yang diberikan olehku itu jatuh. Papa yang melihat dari jauh segera menghampiri dan memarahi Andrew.
            “Kenapa kamu menjatuhkan es krim kakakmu, Drew?”
            “Bukan dia pa, ini salah Merry, Merry yang tak sengaja menjatuhkan es krim.” Kataku kepada papa agar papa tidak memarahi Andrew. “Papa, papa, berikan es krim itu ke Andrew, Merry udah tidak mau makan lagi. Kasihkan ke Andrew saja, pa.”
            Papa pun mendengarkanku dan memberikan es krim itu kepada Andrew, Andrew yang malu-malu menerima es krim itu berterimakasih kepadaku dengan suara kecil.
            “Terima kasih kakak.” Kata Andrew sambil tersenyum kecil.
            “Sama-sama Andrew.” ucapku sambil membalas senyumannya. “Papa, lain kali jalan-jalan lagi yah, Merry gak bisa kalau gak ada papa.”
********
            “Woi, melamun aja lu!” kata Bejo yang dengan tiba-tiba menjentikkan jarinya di depan wajahku. “Kamar lu udah siap di belakang, baru nyampe malah langsung melamun depan kios, kesambet ntar baru tau lu!”
            “Oh ok, thanks Jo. Aku mau mandi dulu. Belum makan juga, laper. Ada makanan gak lu?” tanyaku sambil membawa koper masuk ke dalam kios.
            “Loh? Lu bukannya mandi di rumah tadi? Pantesan kecium bau ikan asin dari sejak lu sampai disini.”
            “Ah sialan lu, tadi aku bertengkar sama papaku di rumah. Ketahuan aku mau kabur gara-gara lu telepon pagi-pagi. Untung aja papa dan adikku gak tau tempat nongkrongku disini.”
            “Wah parah itu, ntar aku dituduh nyulik anak orang nih.”
            “Tenang, aku pasti ngebela lu kok. Aku yakin papaku pasti bakal minta bantuan polisi  buat cari aku. Jadi aku harus di dalam kios terus, gak bisa keluar kios. Tapi masih ada dua hari aku untuk bebas. Seingatku untuk laporan orang hilang ke polisi itu harus dua kali dua puluh empat jam.”
            “Setelah itu jangan keluar-keluar. Gue gak mau ada masalah. Mau hidup tenang nih gue.”
            “Tenang aja. Siapin makanan dong Jo, laper. Aku mau pindahin barang-barang dulu.”
            Bejo pun menuruti permintaanku dan pergi membelikan nasi padang yang berada di dekat kios.
            Hari ini menjadi hari pertamaku hidup di tempat yang asing. Tidak ada AC, tidak ada Televisi 50 inch, tidak ada bathtub, tidak ada kulkas dengan isi yang penuh dengan makanan, tidak ada kasur yang empuk. Beginilah kehidupan tanpa ada orang tua yang membantu. Tekadku sudah bulat untuk menjadi sukses tanpa bantuan orang tua. Mulai hari ini aku adalah Merry yang baru, sosok yang kuat, yang gak hanya menunggu bantuan orang, tapi aku adalah Merry yang akan selalu berusaha. Ku keluarkan semua barang-barang dari dalam koper. Tidak ada baju-baju mahal, yang kubawa hanyalah baju-baju kaos murahan yang didapat dari pegawai-pegawai bengkel yang berhenti. Jelek, itulah kata pertama yang terlintas dipikiranku mengenai baju yang kubawa dari rumah. Tapi itulah yang menutupi dan melindungi tubuhku mulai saat ini. Mulai hari ini aku sudah berubah.
********
            Aku ingat waktu itu hari minggu sore, umurku yang masih delapan tahun membuatku sangat ingin mencoba berbagai hal. Kutemukan beberapa spidol di ruangan kerja papa, dan aku mulai membuat coretan-coretan kecil pada sebuah lembaran kertas kosong yang lama kelamaan menjadi sebuah coretan bermakna, aku berhasil menggambar sebuah rumah. Segera kutunjukkan gambar itu kepada papa.  Papa yang sedang duduk santai di teras rumah sambil membaca koran dan minum segelas kopi hitam pekatnya.
            “Papa! Lihat apa yang Merry gambar.”
            Papa menerima kertas bergambar itu dan menatapnya sambil tersenyum. “Ini rumah kita ya, Merry? Kamu sangat hebat menggambar, kenapa kamu tidak mencoba menggambar hal-hal lain lagi. Ayo papa temani kamu menggambar.”
            Papa memberiku semangat untuk menggambar, dan mulailah aku mencoret lagi dibalik halaman kertas yang sama.
            “Apa yang kamu gambar sekarang, Merry? Papa tidak tahu gambar apa itu.” Tanya papa yang mulai penasaran dengan apa yang aku gambar.
            “Papa jangan mengintip dong, ayah tutup mata sampai Merry bilang boleh buka ya.”
            “Oke deh, papa baca Koran saja, papa janji tidak mengintip. Kalau sudah selesai, berikan ke papa untuk melihat ya.”
            Tidak berapa lama kemudian, gambarku pun sudah selesai dan aku menunjukkannya kepada papa. Papa tidak mengeluarkan sepatah kata pun, papa hanya terdiam. Dari matanya terpancar rasa senang dan sedih yang bercampur aduk. Senang karena hasil gambarnya sangatlah bagus untuk anak seusiaku, dan sedih karena yang kugambar adalah gambaran mengenai anggota keluarga kami yang lengkap dengan ibuku sambil bergandengan tangan.
            “Bagaimana papa? Apa gambarku bagus?” kataku yang mencoba mencairkan suasana karena terlihat mata papa telah memerah ingin menangis.
            “Kamu berbakat Mer, kamu suka menggambar?”
            “Iya, suka sekali, aku bisa membuat gambar-gambar ibu. Pa, ijinkan aku ikut kursus menggambar?“
            “Iya, tentu saja papa ijinkan, tapi janji kamu harus serius mengikutinya, ya?”
            “Iya pa, terima kasih ya. Merry tidak akan mengecewakan papa. Merry janji akan banyak menggambar dengan hasil yang bagus.”
********
            “Merry tidak akan mengecewakan papa.” Ucapku dengan pelan sambil tersenyum pahit, kenapa aku harus mengingat-ingat sesuatu hal yang tidak boleh untukku ingat lagi. Aku harus kuat. Aku sudah berhasil bertahan satu hari dari rumah besar dengan segala peralatan yang serba lengkap tanpa kekurangan satu apapun. Aku sudah tidak masuk sekolah dua hari, aku ingin masuk sekolah, tapi apa yang harus aku lakukan, tidak ada pelanggan hari ini. Padahal aku sedang sangat ingin menggambar dibagian tubuh seseorang.
            “Jo, kenapa sepi gini sih hari ini? Udah mau jam makan siang nih, lu pergi beli makan sana. Nasi padang deh, jangan lupa telur asinnya, ya.”
            “Waduh, jadi pesuruh terus nih, siap tuan putri. Kalau nanti ada pengunjung, lu yang urus, ingat, jarumnya cuma satu kali pakai. Gunakan kemampuan gambar lu.”
            “Siap mas bro.” Dan tidak sampai sepuluh menit ditinggal Bejo, aku tertidur.
********
            “Dan keputusan juri adalah yang memegang juara satu melukis SMP tingkat kota adalah Merry Olivia dengan gambar yang berjudul “Sedih tak berbicara”. Merry Olivia dipersilahkan untuk maju keatas panggung untuk menerima piala dan piagam dari panitia.”
            “Merry! Kamu hebat! Papa bangga sama kamu, kemampuan menggambarmu sangatlah luar biasa. Sekarang, naik ke atas panggung cepat.”  Aku melihat dengan jelas senyuman kebahagiaan yang terpancar dari wajah papa. Aku sangat senang dapat membuatnya bahagia dengan gambarku ini.
            “Andrew, buatlah papa bangga seperti kakakmu, jangan kecewakan papa.” Bisik papa.
            “Iya pa, Andrew akan berlatih bulutangkis lebih giat agar bisa memenangkan pertandingan bulan depan.”
            Aku pun telah berdiri di atas panggung, papa bertepuk tangan dengan riang. Papa sangat bangga melihatku memenangkan lomba melukis ini.
            “Bagaimana perasaanmu berhasil memenangkan perlombaan melukis ini Merry?” tanya sang MC kepadaku. Aku bingung harus berkata apa.
            “A..a..aku sangat bangga, baru pertama kali aku mengikuti lomba melukis dan berhasil memenangkannya. Aku sangat senang sekali, sangat senang melihat wajah bahagia mereka karena aku bisa berdiri di atas panggung ini.”
            “Mereka? Siapa mereka?”
            “Ayah dan adikku.”
            “Ayo berikan tepuk tangan yang meriah kepada Merry Olivia! Pasti gambar ini kamu persembahkan untuk mereka ya?”
            “Iya,” jawabku sambil mengangguk pelan.
            “Kenapa kamu memberikan judul “Sedih tak Berbicara” pada lukisanmu ini?”
            “Pertama yang ingin ku katakan adalah, aku mendapatkan ide itu dari adikku sendiri, Andrew. Dia sering sekali merasa kesepian walaupun aku ada disana bersamanya, sehingga aku menggambar seorang anak kecil yang duduk di depan rumah, di bawah lampu rumahnya sambil memegang sebuah foto dan boneka pada malam hari sambil menangis.  Anak kecil tersebut menangis, sama sepertiku, menangis karena ibuku telah tiada ketika aku masih kecil, aku bahkan tidak pernah melihat wajahnya secara langsung selain melalui foto.”
            Suasana acara tiba-tiba berubah menjadi tegang karena ucapanku, semua pengunjung tidak mengeluarkan suara sama sekali. Hening. Itu yang sedang terjadi, semua mata tertuju padaku. Kemudian salah seorang pengunjung berdiri dari tempat duduk dan bertepuk tangan, dan yang lainnya pun mengikuti. Itulah pertama dan terakhirnya aku bisa berdiri di atas panggung kemenangan, tidak sedikit orang yang hadir pada saat itu yang menangis. Ayah dan Andrew juga turut masuk kedalam suasana sedih dan menangis mendengar perkataanku.
********
            “Permisi.”
           Terdengar suara ketukan pintu yang cukup keras yang langsung menyadarkanku dari tidur siang pendekku.
            “Iya silahkan masuk, mau buat tato bang?”
            “Iya nih dek, adek sendiri yang buat ya? Bisa buat dalam bentuk tulisan kan?”
            “Bisa bang, silahkan tulis disini kata apa yang akan dibuat jadi tatonya.” Aku pun menyerahkan sebuah kertas kosong dan pen kepadanya.
            Sambil aku mempersiapkan barang-barang untuk membuat tato, dia menuliskan sebuah kalimat untuk dijadikan tato. Tidak lama kemudian dia mengembalikan kertas dan bolpoin yang ku pinjamkan kepadanya. Aku terkejut dengan tulisan yang ingin dia jadikan tato, aku terdiam sejenak melihatnya.
            “I'm sorry dad, I love you.” Begitulah yang tertulis. Aku tidak dapat berkata apa-apa. Kalimat tersebut seperti langsung menghubungkan semua ingatan masa laluku.
            “Bisa kan dek buat tato dengan kalimat itu? Soalnya tidak lama lagi saya mau pulang ke kampung, sudah bertahun-tahun tidak pulang dan berkumpul bersama keluarga karena merantau di kota ini. Saya mau tunjukkan itu sebagai salah satu permintaan maaf.”
            “Bi.. bisa bang. Mau warna apa tulisan nya?” tanpa sadar air mata turun melewati pipiku.
            “Kenapa kamu menangis? Warna hitam saja.”
            Aku bahkan tidak sadar kalau aku menangis, langsung saja aku mengusap air mataku dan mempersiapkan lagi alat-alat untuk membuat tato.
            “Tidak bang, tidak apa-apa. Oke tunggu sebentar bang, silahkan duduk dulu ya.”
            “Jangan panggil pakai abang, panggil saja Nico. Namaku Nico, kamu?”
            “Namaku Merry.”
            “Sudah lama kerja disini, Mer?”
            “Baru satu hari, Nic.”
            “Lalu kenapa kamu menangis?” tanyanya dengan rasa penasaran.
            “Aku kabur dari rumah, aku tidak tahan di perlakukan seperti anak kecil lagi. Selama ini papaku selalu memanjakanku.”
            “Kamu anak tunggal?”
            “Tidak, aku masih punya saudara, namanya Andrew, hanya beda dua tahun dari ku. Ku yakin dia sangat membenciku.”
            “Kenapa? Bukankah kalian saudara?”
            “Papa terlalu menyayangiku, sampai-sampai Andrew tidak diperdulikannya. Makanya Andrew seperti kurang menyukaiku, padahal aku selalu ingin bersamanya, dari kecil aku selalu membagi apa yang aku punya.”
            “Tidakkah lebih baik kalau kamu pulang ke rumah saja? Aku juga sepertimu, aku kabur dari rumah, aku tidak tahan hidup dengan ekonomi dibawah rata-rata. Jadinya aku kabur dari rumah dan mencari pekerjaan. Sekarang aku menyesal, uang bukanlah hal yang sangat penting, yang terpenting adalah keluarga. Suatu saat keluarga itu akan hilang, dan yang tersisa hanyalah dirimu sendiri. Maka manfaatkanlah waktu sebaik mungkin dengan keluargamu. Pulanglah, aku yakin orang tua dan adikmu sedang mengkhawatirkanmu sekarang.”
            Semua kata-katanya menyadarkanku. Aku merasa menjadi orang paling bodoh. Bagaimana tidak? Aku memiliki semuanya, aku hidup dan besar dalam keluarga yang ekonominya lebih dari cukup, lebih beruntung daripada bang Nico. Aku hanya perlu mengubah cara hidupku, cara berpikirku. Tujuh belas  tahun, di umur tujuh belas tahun ini aku sudah bisa berpikir dengan baik, walaupun terkadang masih banyak yang hanya memikirkan kepentingan sendiri. Keegoisanlah yang membutakanku. Dan aku harus mengubah sifat itu.
            Tidak lama kemudian Bejo pulang membawakan nasi padang.
            “Wah,  ada pelanggan nih. Pelanggan pertama untuk hari ini, akhirnya.”
            “Bejo, urusin bang Nico. By the way, terimakasih bang, abang udah menyadarkan aku. Aku terlalu egois terhadap diri sendiri. Sekarang aku akan pulang dan berkumpul bersama keluargaku lagi. Aku berjanji tidak akan mengecewakan mereka. Hanya merekalah yang tulus menyayangiku.
            Dengan cepat aku langsung masuk ke dalam kamar dan membereskan barang-barangku dan memasukkannya ke dalam koper. Aku langsung keluar dari kamar membawa koper dan memanggil taxi.
            “Mau kemana kamu, Mer?”
            “Aku ingin pulang Jo, bang Nico udah menyadarkan aku. Kita hidup dijalan masing-masing. Aku hidup di jalanku, dan kamu hidup di jalanmu. Takdirku bersama keluargaku. Aku akan kembali berkumpul bersama mereka lagi. Terima kasih udah ngijinin aku tinggal disini.” Ucapku kepada Bejo. “Kita mungkin bakal jarang ketemu karena aku akan fokus sekolah, menuntut ilmu.”
            “Tapi aku sudah merencanakan untuk menikah denganmu, aku menyayangimu.”
            “Apakah rasa sayangmu melebihi rasa sayang keluargaku padaku? Jika sudah, maka carilah pekerjaan baru dan buatlah aku tersanjung dengan dirimu yang baru nanti. Suatu saat, jika sudah, datanglah lagi kepadaku. Karena kau tau? Aku adalah seorang putri dari  kerajaan peralatan bengkel.”
            Setelah itu aku masuk kedalam taxi dan melihat muka kecewa dari Bejo, tidak tau apakah dia mengerti dengan perkataanku tadi, yang penting sekarang aku akan pulang kerumah dan bertemu dengan papa dan adikku.
********
“Andrew, ayo kita ke kantor polisi sekarang, papa sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Merry sudah benar-benar berubah semenjak berteman dengan yang namanya Bejo itu.” Ucap papa dengan suara yang lantang.
“Tunggu delapan belas jam lagi ayah, sekarang sudah jam dua siang, besok kita sudah bisa ke kantor polisi dan melapor bahwa kak Merry telah menghilang dari rumah.”
“Tidak, kalian tidak perlu ke kantor polisi lagi. Aku sudah pulang.” Papa terkejut mendengar suara dari arah pintu masuk.
Papa menghampiriku dan menampari pipi kiriku.
“Kenapa kamu ingin berbuat seenaknya saja? Apakah kamu tidak tahu betapa papa sangat khawatir kepada mu? Kamu tau kan rasa nya kehilangan orang yang kita sayang. Kenapa kamu tega menyakiti papa seperti itu Merry?”
“Aku tahu aku salah pa, aku terlalu egois dengan pendirianku, aku belum cukup dewasa untuk bisa berpikir bahwa aku telah dewasa, aku sudah sadar semuanya. Aku sadar bahwa tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain keluargaku. Jika ayah masih ingin menamparku, silahkan. Aku pantas dihukum, aku anak tidak berguna.”
“Tidak kak, kakak adalah anak papa dan saudaraku yang paling berguna, aku selalu iri denganmu karena aku tidak bisa menyaingimu. Aku selalu berada di belakangmu, seperti hanya mengikuti jejakmu. Tapi aku bangga memiliki saudara sepertimu. Begitu pula papa, dia sangat mengkhawatirkan mu seharian. Dia takut kakak kenapa-napa.”
“Berjanjilah pada papa, kamu tidak boleh berteman dengan orang seperti Bejo, karena orang-orang seperti dia lah yang membutakanmu dan membuatmu semakin egois.”
“Baik pa, aku akan lebih selektif dalam memilih teman.” Kataku sambil tersenyum di depan ayah.
********
Akhirnya tiba saatnya, empat hari yang menentukan masa depanku telah tiba di depan mata. Tinggal empat hari lagi, aku semakin dekat dengan cita-citaku. Aku ingin menjadi seorang seniman hebat, dan aku memutuskan untuk berkuliah di London mengambil jurusan dibidang seni lukis. Aku ingin hidup mandiri dengan jalan yang benar. Dan aku membuktikan bahwa aku BERUBAH karena adanya bantuan dan dorongan moral dari keluargaku. Tanpa mereka aku bukanlah apa-apa. Aku ingin bebas, dengan restu dari keluargaku.

THE END

Senin, 11 Agustus 2014

Pahitnya Cinta

            Ketika kata sayang menghasilkan perpisahan, ketika kata cinta menghasilkan permusuhan, ketika cinta memberikan kesedihan yang mendalam dan ketika cinta membuatmu sakit hati. Maka itu adalah alasan yang cukup untukku menjauhi hal-hal yang berurusan dengan namanya pacaran. Jujur kukatakan bahwa aku bukanlah orang yang membenci cinta pada awalnya. Namun hal ini berubah ketika aku memiliki pacar yang ke empat belas. Namanya Anggi.
            Waktu itu hubungan kami telah berjalan hampir enam bulan lamanya. Walaupun aku seseorang yang terkenal playboy, aku adalah orang yang sangat sayang terhadap pasanganku. Dan hubungan kami baik-baik saja sampai pada saat aku akan menjalankan ujian sekolah minggu depan. Aku menjadi jarang menghubunginya karena jadwal belajarku semakin padat. Dari sekolah, tambahan, les. Sehingga hubungan kami memanas saat itu.
            Sebenarnya aku mengerti perasaan wanita yang membutuhkan rasa perhatian dari seorang pria. Namun aku juga berada di dalam kondisi yang membutuhkan konsentrasi penuh. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak menghubunginya sementara. Ketika dia mengirimkan pesan singkat kepadaku, aku hanya mengatakan bahwa aku perlu belajar demi kelulusanku. Aku juga hanya manusia biasa, yang akan berkembang apabila aku belajar, aku tidak mungkin bisa terus menerus bersamamu jika aku sedang berada di dalam posisi seperti ini.
            Beberapa hari berikutnya, dia mengirimkanku sebuah pesan singkat lagi. Awalnya hanya basa-basi, sehingga aku juga tidak begitu memikirkannya. Aku tidak memilih untuk membalasnya karena aku sedang berkonsentrasi dengan bahan yang aku pelajari.
Satu jam kemudian, dia kembali mengirimkanku sebuah pesan singkat. Aku sempat berpikir untuk tidak membacanya, namun aku membuang pikiran itu dan aku membuka pesan singkat tersebut. Isinya adalah “Mungkin kita harus berpisah. Aku tau kamu harus belajar, jadi aku tidak ingin mengganggumu. Kita putus ya?”
Sontak konsentrasiku menjadi kacau. Keinginanku untuk belajar pun pudar malam itu. Rasa tidak ingin putus dikalahkan oleh rasa kecewaku. Aku kecewa karena alasan yang sangat tidak masuk akal. Tidak ingin menggangguku. Aku tidak merasa terganggu dengan hubungan pacaran kami. Setidaknya itulah yang kurasakan selama aku menjadi lebih sering belajar. Sungguh kecewa, kecewa dia tidak bisa mengerti kondisiku.
Aku pun memutuskan untuk melanjutkan pekerjaanku sebelumnya, belajar. Aku tidak membalas pesan singkatnya itu. Menurutku hal itu tidak perlu kujawab karena dia pasti tetap bersikeras untuk minta putus.
Setelah aku merasa cukup belajar hari ini, aku merebahkan diriku di kasur. Mengambil handphone dan mengecek pesan dari siapa saja yang masuk karena handphone-ku terus berbunyi beberapa kali ketika aku sedang belajar.
Ternyata semua pesan yang masuk berasal dari dirinya. Jumlah ada sembilan pesan yang isinya seperti ini.
Aku gak mau ganggu kamu belajar, gak mau ganggu konsentrasimu.
Maafkan aku, aku cuman mau bilang kalau aku sayang banget sama kamu.
Aku butuh kamu. Tapi maaf, aku hanya mengganggu.
Aku merasa aku tidak pantas buatmu.
Apakah aku mengganggumu?
Selamat belajar, ya!
Aku rasa aku tetap pada pendirianku. Kita putus.
Aku akan pergi dari hidupmu. Gak akan pernah lagi ganggu-ganggu kamu.
Selamat malam, semoga nilaimu memuaskan. Maaf kalau selama ini aku mengganggumu.
Aku sungguh kecewa dengan semua isi pesan tersebut. Kata ‘mengganggu’ itu menjadi terasa di saat seperti ini. Aku ingin membalasnya dengan sebuah kalimat ‘kau tidak pernah menggangguku’. Hanya saja kalimat itu kurasa tidak berguna di saat seperti ini.
Aku pun memutuskan untuk tidur malam itu. Dengan sengaja aku tidur sambil mendengarkan lagu supaya aku akan lebih cepat terlelap. Lebih cepat lebih baik. Tidak ingin memikirkan hal yang telah membuatku kecewa.
*
Esoknya, ia mengirimkan lagi pesan singkat. Isinya berupa curhatannya bahwa dia masih menyanyangiku dan bermaksud untuk berhubungan kembali. Namun aku sudah terlanjur kecewa, ketika aku telah kecewa terhadap seseorang, maka aku tidak akan menarik kata-kataku kembali.
Aku melewati hari demi hari dengan sangat tidak bersemangat. Pikiranku selalu mengenai dia. Dia yang telah membuatku kecewa, namun dialah yang memberikan banyak sekali kenangan terindah. Aku terus berusaha memikirkan hal-hal negatif tentangnya. Hal tersebut membuatku dengan mudah menghilangkan pikiranku tentangnya. Mudah hilang, mudah juga kembali.
Aku adalah anak tunggal. Namun aku memiliki seorang adik angkat, adik yang sangat manis. Aku sempat menyukainya, namun dulu. Dan sempat juga aku kehilangan kontak dengannya selama setahun lebih karena dia telah memiliki pacar. Dan pacarnya melarangnya untuk memiliki hubungan dekat dengan pria lain. Tapi setelah putus, hubungan kami pun kembali, sebagai adik-kakak tentunya.
Kami telah berhubungan selama kurang lebih lima tahun. Dan ketika aku berhubungan kembali, dia sangat senang. Senang karena sifatku yang tidak berubah terhadapnya. Walaupun sempat dicampakkannya buat seorang laki-laki. Aku bukanlah tipe orang yang begitu mempermasalahkan sesuatu yang besar, maka dari itu, aku tidak begitu memperdulikan kenyataan bahwa kami telah kehilangan kontak selama setahun. Yang terpenting adalah sekarang kami berhubungan kembali.
Jujur, dengan kedatangannya kembali dalam hidupku, aku merasa lebih hidup. Tidak ada orang lain yang mengerti diriku selain dirinya. Namanya Julia. Gadis yang membuatku melupakan  Anggi.
Hubungan kami normal, sungguh seperti layaknya adik dan kakak yang sangat dekat. Kemanapun aku selalu bersamanya. Ketika dia bingung akan suatu hal, dia pun bertanya kepadaku. Pernah dia bertanya mengenai hadiah mana yang bagus, hadiah untuk seorang cowok. Pertama aku pikir bahwa dia ingin memberikanku hal tersebut, tapi aku tidak ingin berpikiran sejauh itu. Iya, aku seorang kakak yang baik menurutnya. Dan dia, seorang gadis yang manis menurutku.
Tentu saja, aku tidak berharap lebih. Aku tidak berharap untuk memiliki hubungan pacaran dengannya. Belum tentu juga aku diterimanya. Karena aku merasa bahwa dia nyaman dengan kondisi sekarang. Dia menjadikanku kakak yang baik, memperlakukanku seperti seorang yang sangat tua, jujur dia lucu sekali. Dan aku menjadikannya adikku satu-satunya, tentu dengan bumbu-bumbu rasa sayang yang telah tumbuh dalam hatiku.
Hari ini kami tidak saling mengirim pesan sejak pagi. Aku berencana untuk mengajaknya keluar sabtu malam. Aku mengirimkan sebuah pesan singkat untuknya.
Sabtu ini mau keluar?
Dia tidak membalasnya. Tidak biasa Julia membalas pesanku sangat lama. Hampir satu jam kemudian ketika aku sedang asik dengan pelajaran matematikaku, handphone-ku berdering. Ada sebuah pesan singkat yang masuk. Tertera nama Julia. Aku langsung menghentikan kegiatan belajarku dan membaca pesannya.
Maaf. Ini siapa? Tadi cowokku yang megang handphone. Dia hapus nomor-nomor cowok, jadi aku gak tau ini siapa.
Sebuah pukulan telak. Hatiku terasa sangat berat. Aku tidak ingat bahwa dia pernah cerita bahwa dia sedang dekat dengan seorang cowok. Dia telah berpacaran. Dan aku, yang telah dianggap sebagai kakak lelakinya, tidak diberitahu. Aku tidak mengerti. Apakah hal telah kulakukan selama ini sia-sia? Ataukah aku memang seseorang lelaki yang telah berharap terlalu banyak?
Maaf, aku salah mengirim pesan. Nomornya hanya beda satu digit soalnya.
Aku pun segera membereskan buku-buku di meja. Aku sudah tidak memiliki niat lagi untuk belajar. Sebuah rasa kecewa dan kesal bercampur aduk di hati. Tanpa kusadari tetesan air jatuh melewati pipiku. Aku menangis.
Mungkin ini takdirku. Aku telah diberikan sebuah cobaan berat. Aku merasa dimanfaatkan selama ini. Aku hanya sebagai pengganti sementara sosok cowok yang hilang. Rasa senang yang semu diberikannya kepadaku sebagai imbalan atas kebaikkan hatiku kepadanya.
Beberapa hari telah berlalu. Julia tidak memberikanku kabar apapun tentang cowok barunya. Dia bahkan dia datang mampir ke rumahku, padahal dia sudah sering datang untuk bermain. Aku sungguh tidak dapat menerima kenyataan itu sampai sekarang.
Aku bukanlah tipe cowok yang suka sekali mengumbar-ngumbar rasa patah hati, galau dan semacamnya. Aku biasanya hanya menceritakan kepada Andre, sahabatku, itupun kalau aku sudah tidak sanggup menahannya.
“Kau ingat Julia?” tanyaku pada Andre, ketika ia sedang menikmati es krim yang dibelinya dalam perjalanan menuju ke rumahku.
"Tentu saja ingat," ucapnya. "Si hidung pesek yang berkulit putih halus itu kan?"
"Iya, bener."
"Ada apa dengannya?" tanya Andre.
"Dia ternyata udah punya cowok, dan selama ini dia udah deket denganku. Namun hubungan kami dianggap hanya sebatas kakak dan adik."
“Mungkin karma.” Jawabnya santai.
“Karma? Kenapa?” tanyaku kebingungan.
“Kau gak ngerti? Atau hanya pura-pura gak ngerti?” tanyanya sambil mengarahkan stik es krimnya kepadaku.
“Beneran gak ngerti.”
“Astaga,” ucapnya sambil menepuk pelan jidatnya. “Aku perlu tanya kau satu hal.”
“Apa?”
“Bagaimana menurutmu, perasaan cewek yang baru kau putuskan, kemudian kau telah mendapatkan gadis lain tak lama setelah kau putus dengan cewek tersebut.”
“Mungkin sakit hati.”
“Nah, lalu apa yang kau rasakan sekarang?” tanyanya.
“Sakit hati.”
“Apakah sama?”
Aku terdiam. Aku berusaha mengingat lagi perasaan tiga belas mantanku. Pastinya merasa sakit sekali. Dengan rasa sayang yang kuberikan kepada mereka. Dan akhirnya aku menemukan yang lain, beberapa saat setelah aku memutuskan mereka.
“Tapi kan aku cuman mencari yang terbaik.”
“Karma tidak perduli alasan. Yang kau lakukan menyebabkan rasa sakit kepada mereka. Ya, kau juga mendapatkan rasa sakit seperti yang mereka rasakan.”
Mungkin apa yang Andre katakan benar. Aku harus menanggung rasa sakit yang mereka rasakan dengan apa yang telah Julia lakukan terhadapku.
“Lalu apa yang harus aku lakukan?”
Andre menatapku sebentar, tatapan yang sangat dalam. “Apa yang kau harapkan dari segala sesuatu yang telah terjadi?”
“Gak ada.”
“Tuh tau. Sudah, apa yang terjadi, ya terjadilah. Langkah yang paling baik adalah tidak mengulangi hal tersebut di masa depan.” Ucapnya sambil menepuk-nepuk pundakku dengan kuat.
“Hey! Sakit. Tapi yah, bener juga. Terlalu cepat jatuh cinta, terlalu cepet sakit hati pula. Dan rasa sakit itu bakal berkali lipat rasanya suatu hari nanti.”
“Oke sip!” ucapnya. “Jadi apa yang akan kau lakukan sekarang?”
“Aku jadi gak kepikiran untuk mau punya pasangan saat ini. Gak tau kenapa rasanya itu buang-buang waktu dan duitku saja.”
“Ya, kebanyakan sih gitu. Fokusin aja ke sekolah dulu. Gak perlu pusingin panjang-panjang.”
“Paling tidak aku ingin tau alasan kenapa Julia melakukan hal seperti itu kepadaku. Sakitnya tuh disini.” Ucapku sambil menunjuk ke arah dada.
“Ikhlaskan saja. Pengalaman baru, merasakan sakitnya dilupakan dan ditinggal.”
Aku mengangguk pelan. Namun dalam hati aku tidak dapat dengan mudahnya untuk menerima perlakuan dari Julia. Aku juga harus nyadar diri, bahwa aku pernah melakukan hal yang sama kepada orang lain. Perlakuan yang tidak aku lakukan hanya sekali, tapi telah terjadi berulang terus menerus. Penyesalan pun menyusul dibelakang.
*
Aku ingin sekali bertanya alasan kenapa Julia tidak mengatakan kepadaku mengenai cowok yang dekat dengannya. Sudah tepat satu minggu dan masih belum kontak dari dia. Aku telah mendapatkan rasa kecewa dari dua gadis sekaligus dalam waktu yang sangat dekat. Betapa bodohnya aku untuk cepat jatuh cinta kepada seorang gadis.
Anggi pun tidak menghubungiku lagi. Sudah satu bulan lamanya kami tidak berkomunikasi sama sekali. Tidak ada kabar apapun yang kudengar dari dia. Ketika bertemu di sekolah pun kami tidak saling tegur lagi. Kekecewaan masih terasa sampai saat ini, dan telah merasa bahwa dia tidak cocok sebagai teman.
Malam itu, sama seperti malam-malam sebelumnya. Aku berusaha mempersiapkan diri sebaik mungkin. Sekarang yang akan dihadapi adalah ujian nasional. Ujian sekolahku berjalan dengan lancer dan mengharapkan dapat nilai yang memuaskan. Ada sebuah pesan yang masuk ketika aku sedang menyusun jadwal belajar baru.
Aku di luar
Sebuah pesan dari nomor yang tidak aku simpan. Aku pun bergegas turun ke bawah dan membuka pintu. Betapa terkejutnya aku ternyata itu adalah Julia.
“Jul?”
“Nihh, aku bawain coklat kesukaanmu. Kemarin aku pergi ke Hongkong sama keluarga.” Ucapnya sambil menyerahkan sekotak coklat almond.
Aku masih bingung dengan apa yang kulihat sekarang. Julia berdiri di depanku dan menyerahkan sekotak coklat.
“Bagaimana kamu tau itu nomorku? Bukankah cowokmu sudah hapus?”
“Aku bertanya satu-satu kepada orang yang mengirimkan pesan kepadaku. Dan semuanya menjawab bahwa mereka bukanlah dirimu. Jadi tinggal nomormu dan aku yakin pasti kamu ada menghubungiku.” Ucapnya.
“Dan cowokmu?”
“Maafkan tindakan cowokku. Dia hapus nomor-nomor dengan nama cowok di handphone.”
Bukan. Bukan itu yang aku maksud.
“Oh, begitukah? By the way, selamat ya udah dapat pasangan baru. Dan gak perlu ajak aku untuk keluar temani kamu beli barang lagi. Sudah ada dia, aku hanya pengganti sementara.” Ah! Sial, aku tidak bermaksud untuk berbicara seperti itu.
“Tidak,” ucapnya. “Aku tidak sayang dengan cowokku. Dia terlalu memaksaku untuk berubah demi dia. Aku ingin mengakhiri hubungan kami secepatnya.”
“Kenapa kamu menerima dia?” tanyaku.
“Ketika aku dan sekeluarga pergi ke Hong Kong, aku sempat diculik.”
“Diculik?!”
“Iya, oleh sekelompok orang berbadan kekar ketika aku sedang berjalan-jalan mencari oleh-oleh buatmu.”
Dia diculik karena ingin membelikanku hadiah.
“Lalu? Apa yang membuatmu berpacaran dengannya?” tanyaku penasaran.
“Dia adalah seorang polisi muda yang menemukanku.”
“Dan kamu menerimanya karena balas budi?”
“Bukan aku., tapi ayah. Dia bersikeras bahwa aku harus menikahinya. Namun ibu membantuku dengan mengatakan bahwa tunggu sampai aku lulus di perguruan tinggi.”
“Aku akan ke rumahmu sekarang dan membicarakan hal ini dengan ayahmu.”
“Tidak. Cukup.” Ucapnya sambil menahanku. “Ayahku telah melarangku untuk bertemu denganmu karena dia tau bahwa kamu adalah satu-satunya cowok yang bisa membuat hubungan kami retak.”
“Retak? Kenapa? Apa kamu juga punya perasaan terhadapku?”
“Juga? Maksudmu? Kamu ada perasaan denganku?”
Ups. Aku telah mengeluarkan sebuah kata yang salah.
“Ya, selama ini sih itulah yang aku rasakan. Aku gak tau denganmu. Mungkin kamu merasa aku sebagai seorang kakak yang baik.”
“Kamu bukan hanya kakak yang baik buatku. Tapi lelaki terbaik yang pernah aku kenal.” Ucapnya.
Tanpa sadar aku pun mendekat padanya. Kami saling menatap satu sama lain. Matanya menyiratkan sebuah kesedihan. Seperti burung dalam sangkar, tidak dapat bebas keluar masuk seseuai keinginan, dan tidak dapat makan apa yang ingin di makan. Sebuah perasaan pahit yang dialaminya. Ingin sekali aku membebaskannya dari belenggu yang dipasang oleh ayahnya. Orang tua yang tidak mengerti akan perasaan anak perempuannya.
Tanpa sadar aku memeluknya, dia pun tidak melepaskan pelukkanku. Seakan-akan bahwa dia ingin sekali selalu berada di dalam pelukanku. Tak berapa lama kemudian, dia melepaskan pelukanku.
“Sudah ya? Mungkin kita gak bakal ketemu lagi. Sebenarnya aku tidak boleh kemana-mana. Tapi aku keluar bareng teman dengan alasan ke mall. Teman-temanku sudah menunggu di luar.”
“Aku ingin sekali berbicara dengan ayahmu.”
“Tidak apa. Tidak usah. Aku tidak ingin gara-gara masalah percintaanku, kamu mendapat musuh. Biarkan aku pelan-pelan menjalaninya. Aku harus menjadi anak yang berbakti. Semoga kamu mengerti dengan pilihan ini. Dan kamu sudah mengenalku lama sekali. Tolong, mengerti lah.”
Aku berusaha mengerti. Begitu sulit untukku melepaskannya. Sejak awal aku tidak ingin kehilangannya. Namun segala sesuatu telah ada yang mengatur, layaknya sebuah bidak dalam permainan catur. Sang pencipta sebagai pemain, dan manusia serta ciptaannya yang lain sebagai bidak catur.
Aku mengangguk pelan. Air mataku jatuh, aku tidak dapat menahan kesedihan ini. Julia melihatku menangis. Dia menyentuh pipiku, dan mengangkat kepalaku agar kami dapat saling bertatapan satu sama lain.
“Aku sayang sama kamu. Lebih dari siapapun. Tapi aku tak sanggup melawan yang telah ditakdirkan untukku. Teman-temanku sudah menunggu lama, ini sudah saatnya aku untuk berpisah denganmu.” Ucapnya.
Hal tersebut menambah kesedihanku. Aku menangis, namun aku berusaha untuk tidak mengeluarkan suara tangisanku.
“Hei. Aku berjanji akan menghubungimu suatu saat nanti. Aku janji.”
Dia mencubit kedua pipiku dengan kuat, namun aku tidak merasakan rasa sakitnya. Rasa sakit di dalam hati lebih terasa dibandingkan dengan rasa sakit yang timbul akibat cubitan di pipi.
“Oke. Aku pergi sekarang ya? Kasihan teman-temanku udah nunggu lama.” Ucapnya.
Ketika dia berjalan meninggalkanku. Aku merasa bahwa seperti aku tidak akan bertemu dengannya lagi. Sebuah ketakutan yang mendalam. Ketakutan atas kehilangan gadis yang kita cintai.
Terakhir aku melihatnya adalah ketika dia membalikkan badannya sebelum masuk ke dalam mobil. Ia mengeluarkan handphonenya sebentar, kemudian masuk ke dalam mobil. Beberapa detik kemudian, handphoneku berdering, tanda ada sebuah pesan yang masuk.
Besok, aku akan terbang ke Hong Kong, aku akan menetap disana untuk sementara waktu. Suatu hari nanti, aku akan pulang lagi dan akan mengunjungimu. Love you.
Pada akhirnya, aku tidak akan pernah bisa menemuinya lagi. Telah terjadi sebuah kecelakaan pesawat. Pesawat yang terbang dari Jakarta menuju ke Hong Kong. Salah satu mesin meledak dan pesawat berakhir di tengah-tengah laut. Berita terakhir mengatakan bahwa tidak ada orang yang selamat dalam kecelakaan tersebut. Dan salah satu korbannya adalah Julia.
Aku berdiri di depan televisiku. Melihat berita mengenai kejadian tersebut dan aku terjatuh. Kakiku lemas, menjadi dia bertenaga. Air mataku keluar lagi, kali ini sangat keras, suara tangisanku terdengar sampai di telinga Andre yang sedang menonton televisi di lantai dasar.
Andre langsung menuju ke kamarku dan bertanya apa yang terjadi. Aku hanya menggerakan ujung jariku dan menujuk ke salah satu nama yang terpampang sebagai korban di televisi. Andre pun mengerti mengapa aku menangis seperti ini.
“Sudah, dia sudah berpulang. Tidak ada gunanya menangis. Kata orang, itu malah bakal membuat dia sedih disana.” Ucap Andre berusaha menenangkanku.
Aku tidak bisa berhenti menangis, aku telah kehilangan seseorang yang sangat aku cintai. Beda dengan gadis-gadis lain yang telah aku pacari. Tidak ada gadis yang kukenal lebih dalam daripada dirinya. Aku telah mengerti luar dalam mengenainya. Segala kebiasaan buruknya pun sudah kuhafal.
Aku berusaha menenangkan diri, namun selalu wajah sedih Julia muncul dalam benakku. Wajah sedihnya di malam itu membuatku tidak dapat menerima kenyataan ini. Andaikan saja aku menghadapi ayahnya langsung malam itu. Mungkin kejadian ini tidak akan terjadi. Aku harap bahwa ayahnya menyesal telah menjodohkannya dengan salah satu polisi Hong Kong, sebab hal tersebut malah membuatnya kehilangan anak perempuannya.
Sampai akhirnya, berita paling terakhir pun telah keluar. Tidak ada penumpang yang selamat dari kecelakaan tersebut. Semua jasadnya ditemukan mengapung beberapa hari setelah pesawat terjatuh. Mayat Julia akan dipulangkan ke Indonesia beberapa hari lagi.
Andre mengajakku untuk pergi menghadiri pemakaman Julia. Tapi aku tidak sanggup untuk mengikhlaskan kepergiannya. Tidak sanggup untuk melihat raga Julia dikubur dan menyatu dengan bumi. Andre pun pasrah dengan jawabanku dan tidak jadi untuk menghadiri pemakaman Julia.
Aku merasakan rasa sakit yang berlipat ganda. Kesedihan yang amat mendalam. Semua karena cinta, cinta dan cinta. Cinta membuatku merana. Merasakan sakit hati ditinggal sementara, dan sekarang merasakan kesedihan yang mendalam ditinggal selamanya. Semua akibat cinta. Andai saja aku tidak mencintainya, aku tidak akan merasakan pedih yang amat sangat terasa. Andai saja aku tidak mencintainya, aku tidak akan terpuruk dengan keadaanku sekarang. Andai saja aku tidak mencintainya, aku tidak akan menangis tiap malam mengingat wajahnya.
Andai saja cinta tidak datang menghampiriku, aku tidak akan merasakan semua itu. Tidak akan merasakan betapa sakitnya kehilangan seseorang yang kita cintai. Aku merasa bahwa cinta hanya membawa petaka, membawa rasa sakit hati, membawa permusuhan. Sehingga aku pun berjalan jauh meninggalkan cinta dibelakangku. Aku hanya ingin fokus dengan apa yang aku hadapi sekarang.

Namun sungguh, kehilangan Julia memberikanku banyak sekali pelajaran berharga. Aku tidak akan mendekati siapapun hanya demi mengisi kekosongan hatiku. Biarlah waktu yang menjawabnya. Di masa depan nanti, aku hanya berharap mendapatkan gadis yang bisa membahagiakanku, tanpa ditambah rasa sakit hati dan kesedihan yang ikut serta dalam kehidupanku nantinya.