Ketika
kata sayang menghasilkan perpisahan, ketika kata cinta menghasilkan permusuhan,
ketika cinta memberikan kesedihan yang mendalam dan ketika cinta membuatmu sakit
hati. Maka itu adalah alasan yang cukup untukku menjauhi hal-hal yang berurusan
dengan namanya pacaran. Jujur kukatakan bahwa aku bukanlah orang yang membenci
cinta pada awalnya. Namun hal ini berubah ketika aku memiliki pacar yang ke
empat belas. Namanya Anggi.
Waktu
itu hubungan kami telah berjalan hampir enam bulan lamanya. Walaupun aku
seseorang yang terkenal playboy, aku adalah orang yang sangat sayang terhadap
pasanganku. Dan hubungan kami baik-baik saja sampai pada saat aku akan
menjalankan ujian sekolah minggu depan. Aku menjadi jarang menghubunginya
karena jadwal belajarku semakin padat. Dari sekolah, tambahan, les. Sehingga
hubungan kami memanas saat itu.
Sebenarnya
aku mengerti perasaan wanita yang membutuhkan rasa perhatian dari seorang pria.
Namun aku juga berada di dalam kondisi yang membutuhkan konsentrasi penuh.
Akhirnya aku memutuskan untuk tidak menghubunginya sementara. Ketika dia
mengirimkan pesan singkat kepadaku, aku hanya mengatakan bahwa aku perlu
belajar demi kelulusanku. Aku juga hanya manusia biasa, yang akan berkembang
apabila aku belajar, aku tidak mungkin bisa terus menerus bersamamu jika aku
sedang berada di dalam posisi seperti ini.
Beberapa
hari berikutnya, dia mengirimkanku sebuah pesan singkat lagi. Awalnya hanya
basa-basi, sehingga aku juga tidak begitu memikirkannya. Aku tidak memilih
untuk membalasnya karena aku sedang berkonsentrasi dengan bahan yang aku
pelajari.
Satu jam kemudian, dia kembali
mengirimkanku sebuah pesan singkat. Aku sempat berpikir untuk tidak membacanya,
namun aku membuang pikiran itu dan aku membuka pesan singkat tersebut. Isinya
adalah “Mungkin kita harus berpisah. Aku tau kamu harus belajar, jadi aku tidak
ingin mengganggumu. Kita putus ya?”
Sontak konsentrasiku menjadi kacau.
Keinginanku untuk belajar pun pudar malam itu. Rasa tidak ingin putus
dikalahkan oleh rasa kecewaku. Aku kecewa karena alasan yang sangat tidak masuk
akal. Tidak ingin menggangguku. Aku tidak merasa terganggu dengan hubungan
pacaran kami. Setidaknya itulah yang kurasakan selama aku menjadi lebih sering
belajar. Sungguh kecewa, kecewa dia tidak bisa mengerti kondisiku.
Aku pun memutuskan untuk
melanjutkan pekerjaanku sebelumnya, belajar. Aku tidak membalas pesan
singkatnya itu. Menurutku hal itu tidak perlu kujawab karena dia pasti tetap
bersikeras untuk minta putus.
Setelah aku merasa cukup belajar
hari ini, aku merebahkan diriku di kasur. Mengambil handphone dan mengecek pesan dari siapa saja yang masuk karena handphone-ku terus berbunyi beberapa
kali ketika aku sedang belajar.
Ternyata semua pesan yang masuk
berasal dari dirinya. Jumlah ada sembilan pesan yang isinya seperti ini.
Aku
gak mau ganggu kamu belajar, gak mau ganggu konsentrasimu.
Maafkan
aku, aku cuman mau bilang kalau aku sayang banget sama kamu.
Aku
butuh kamu. Tapi maaf, aku hanya mengganggu.
Aku
merasa aku tidak pantas buatmu.
Apakah
aku mengganggumu?
Selamat
belajar, ya!
Aku
rasa aku tetap pada pendirianku. Kita putus.
Aku
akan pergi dari hidupmu. Gak akan pernah lagi ganggu-ganggu kamu.
Selamat
malam, semoga nilaimu memuaskan. Maaf kalau selama ini aku mengganggumu.
Aku sungguh kecewa dengan semua isi
pesan tersebut. Kata ‘mengganggu’ itu menjadi terasa di saat seperti ini. Aku
ingin membalasnya dengan sebuah kalimat ‘kau
tidak pernah menggangguku’. Hanya saja kalimat itu kurasa tidak berguna di
saat seperti ini.
Aku pun memutuskan untuk tidur
malam itu. Dengan sengaja aku tidur sambil mendengarkan lagu supaya aku akan
lebih cepat terlelap. Lebih cepat lebih baik. Tidak ingin memikirkan hal yang
telah membuatku kecewa.
*
Esoknya, ia mengirimkan lagi pesan
singkat. Isinya berupa curhatannya bahwa dia masih menyanyangiku dan bermaksud
untuk berhubungan kembali. Namun aku sudah terlanjur kecewa, ketika aku telah
kecewa terhadap seseorang, maka aku tidak akan menarik kata-kataku kembali.
Aku melewati hari demi hari dengan
sangat tidak bersemangat. Pikiranku selalu mengenai dia. Dia yang telah
membuatku kecewa, namun dialah yang memberikan banyak sekali kenangan terindah.
Aku terus berusaha memikirkan hal-hal negatif tentangnya. Hal tersebut
membuatku dengan mudah menghilangkan pikiranku tentangnya. Mudah hilang, mudah
juga kembali.
Aku adalah anak tunggal. Namun aku
memiliki seorang adik angkat, adik yang sangat manis. Aku sempat menyukainya,
namun dulu. Dan sempat juga aku kehilangan kontak dengannya selama setahun
lebih karena dia telah memiliki pacar. Dan pacarnya melarangnya untuk memiliki
hubungan dekat dengan pria lain. Tapi setelah putus, hubungan kami pun kembali,
sebagai adik-kakak tentunya.
Kami telah berhubungan selama
kurang lebih lima tahun. Dan ketika aku berhubungan kembali, dia sangat senang.
Senang karena sifatku yang tidak berubah terhadapnya. Walaupun sempat
dicampakkannya buat seorang laki-laki. Aku bukanlah tipe orang yang begitu
mempermasalahkan sesuatu yang besar, maka dari itu, aku tidak begitu
memperdulikan kenyataan bahwa kami telah kehilangan kontak selama setahun. Yang
terpenting adalah sekarang kami berhubungan kembali.
Jujur, dengan kedatangannya kembali
dalam hidupku, aku merasa lebih hidup. Tidak ada orang lain yang mengerti
diriku selain dirinya. Namanya Julia. Gadis yang membuatku melupakan Anggi.
Hubungan kami normal, sungguh
seperti layaknya adik dan kakak yang sangat dekat. Kemanapun aku selalu
bersamanya. Ketika dia bingung akan suatu hal, dia pun bertanya kepadaku.
Pernah dia bertanya mengenai hadiah mana yang bagus, hadiah untuk seorang
cowok. Pertama aku pikir bahwa dia ingin memberikanku hal tersebut, tapi aku
tidak ingin berpikiran sejauh itu. Iya, aku seorang kakak yang baik menurutnya.
Dan dia, seorang gadis yang manis menurutku.
Tentu saja, aku tidak berharap
lebih. Aku tidak berharap untuk memiliki hubungan pacaran dengannya. Belum
tentu juga aku diterimanya. Karena aku merasa bahwa dia nyaman dengan kondisi
sekarang. Dia menjadikanku kakak yang baik, memperlakukanku seperti seorang
yang sangat tua, jujur dia lucu sekali. Dan aku menjadikannya adikku
satu-satunya, tentu dengan bumbu-bumbu rasa sayang yang telah tumbuh dalam
hatiku.
Hari ini kami tidak saling mengirim
pesan sejak pagi. Aku berencana untuk mengajaknya keluar sabtu malam. Aku
mengirimkan sebuah pesan singkat untuknya.
Sabtu
ini mau keluar?
Dia tidak membalasnya. Tidak biasa
Julia membalas pesanku sangat lama. Hampir satu jam kemudian ketika aku sedang
asik dengan pelajaran matematikaku, handphone-ku
berdering. Ada sebuah pesan singkat yang masuk. Tertera nama Julia. Aku
langsung menghentikan kegiatan belajarku dan membaca pesannya.
Maaf.
Ini siapa? Tadi cowokku yang megang handphone. Dia hapus nomor-nomor cowok,
jadi aku gak tau ini siapa.
Sebuah pukulan telak. Hatiku terasa
sangat berat. Aku tidak ingat bahwa dia pernah cerita bahwa dia sedang dekat
dengan seorang cowok. Dia telah berpacaran. Dan aku, yang telah dianggap
sebagai kakak lelakinya, tidak diberitahu. Aku tidak mengerti. Apakah hal telah
kulakukan selama ini sia-sia? Ataukah aku memang seseorang lelaki yang telah
berharap terlalu banyak?
Maaf,
aku salah mengirim pesan. Nomornya hanya beda satu digit soalnya.
Aku pun segera membereskan
buku-buku di meja. Aku sudah tidak memiliki niat lagi untuk belajar. Sebuah
rasa kecewa dan kesal bercampur aduk di hati. Tanpa kusadari tetesan air jatuh
melewati pipiku. Aku menangis.
Mungkin ini takdirku. Aku telah diberikan
sebuah cobaan berat. Aku merasa dimanfaatkan selama ini. Aku hanya sebagai
pengganti sementara sosok cowok yang hilang. Rasa senang yang semu diberikannya
kepadaku sebagai imbalan atas kebaikkan hatiku kepadanya.
Beberapa hari telah berlalu. Julia
tidak memberikanku kabar apapun tentang cowok barunya. Dia bahkan dia datang
mampir ke rumahku, padahal dia sudah sering datang untuk bermain. Aku sungguh
tidak dapat menerima kenyataan itu sampai sekarang.
Aku bukanlah tipe cowok yang suka
sekali mengumbar-ngumbar rasa patah hati, galau dan semacamnya. Aku biasanya
hanya menceritakan kepada Andre, sahabatku, itupun kalau aku sudah tidak
sanggup menahannya.
“Kau ingat Julia?” tanyaku pada
Andre, ketika ia sedang menikmati es krim yang dibelinya dalam perjalanan
menuju ke rumahku.
"Tentu saja ingat," ucapnya. "Si hidung pesek yang berkulit putih halus itu kan?"
"Iya, bener."
"Ada apa dengannya?" tanya Andre.
"Dia ternyata udah punya cowok, dan selama ini dia udah deket denganku. Namun hubungan kami dianggap hanya sebatas kakak dan adik."
"Tentu saja ingat," ucapnya. "Si hidung pesek yang berkulit putih halus itu kan?"
"Iya, bener."
"Ada apa dengannya?" tanya Andre.
"Dia ternyata udah punya cowok, dan selama ini dia udah deket denganku. Namun hubungan kami dianggap hanya sebatas kakak dan adik."
“Mungkin karma.” Jawabnya santai.
“Karma? Kenapa?” tanyaku
kebingungan.
“Kau gak ngerti? Atau hanya
pura-pura gak ngerti?” tanyanya sambil mengarahkan stik es krimnya kepadaku.
“Beneran gak ngerti.”
“Astaga,” ucapnya sambil menepuk
pelan jidatnya. “Aku perlu tanya kau satu hal.”
“Apa?”
“Bagaimana menurutmu, perasaan
cewek yang baru kau putuskan, kemudian kau telah mendapatkan gadis lain tak
lama setelah kau putus dengan cewek tersebut.”
“Mungkin sakit hati.”
“Nah, lalu apa yang kau rasakan
sekarang?” tanyanya.
“Sakit hati.”
“Apakah sama?”
Aku terdiam. Aku berusaha mengingat
lagi perasaan tiga belas mantanku. Pastinya merasa sakit sekali. Dengan rasa
sayang yang kuberikan kepada mereka. Dan akhirnya aku menemukan yang lain,
beberapa saat setelah aku memutuskan mereka.
“Tapi kan aku cuman mencari yang
terbaik.”
“Karma tidak perduli alasan. Yang
kau lakukan menyebabkan rasa sakit kepada mereka. Ya, kau juga mendapatkan rasa
sakit seperti yang mereka rasakan.”
Mungkin apa yang Andre katakan
benar. Aku harus menanggung rasa sakit yang mereka rasakan dengan apa yang
telah Julia lakukan terhadapku.
“Lalu apa yang harus aku lakukan?”
Andre menatapku sebentar, tatapan
yang sangat dalam. “Apa yang kau harapkan dari segala sesuatu yang telah
terjadi?”
“Gak ada.”
“Tuh tau. Sudah, apa yang terjadi,
ya terjadilah. Langkah yang paling baik adalah tidak mengulangi hal tersebut di
masa depan.” Ucapnya sambil menepuk-nepuk pundakku dengan kuat.
“Hey! Sakit. Tapi yah, bener juga.
Terlalu cepat jatuh cinta, terlalu cepet sakit hati pula. Dan rasa sakit itu
bakal berkali lipat rasanya suatu hari nanti.”
“Oke sip!” ucapnya. “Jadi apa yang
akan kau lakukan sekarang?”
“Aku jadi gak kepikiran untuk mau
punya pasangan saat ini. Gak tau kenapa rasanya itu buang-buang waktu dan
duitku saja.”
“Ya, kebanyakan sih gitu. Fokusin
aja ke sekolah dulu. Gak perlu pusingin panjang-panjang.”
“Paling tidak aku ingin tau alasan
kenapa Julia melakukan hal seperti itu kepadaku. Sakitnya tuh disini.” Ucapku
sambil menunjuk ke arah dada.
“Ikhlaskan saja. Pengalaman baru,
merasakan sakitnya dilupakan dan ditinggal.”
Aku mengangguk pelan. Namun dalam
hati aku tidak dapat dengan mudahnya untuk menerima perlakuan dari Julia. Aku juga
harus nyadar diri, bahwa aku pernah melakukan hal yang sama kepada orang lain. Perlakuan
yang tidak aku lakukan hanya sekali, tapi telah terjadi berulang terus menerus.
Penyesalan pun menyusul dibelakang.
*
Aku ingin sekali bertanya alasan
kenapa Julia tidak mengatakan kepadaku mengenai cowok yang dekat dengannya.
Sudah tepat satu minggu dan masih belum kontak dari dia. Aku telah mendapatkan
rasa kecewa dari dua gadis sekaligus dalam waktu yang sangat dekat. Betapa
bodohnya aku untuk cepat jatuh cinta kepada seorang gadis.
Anggi pun tidak menghubungiku lagi.
Sudah satu bulan lamanya kami tidak berkomunikasi sama sekali. Tidak ada kabar
apapun yang kudengar dari dia. Ketika bertemu di sekolah pun kami tidak saling
tegur lagi. Kekecewaan masih terasa sampai saat ini, dan telah merasa bahwa dia
tidak cocok sebagai teman.
Malam itu, sama seperti malam-malam
sebelumnya. Aku berusaha mempersiapkan diri sebaik mungkin. Sekarang yang akan
dihadapi adalah ujian nasional. Ujian sekolahku berjalan dengan lancer dan mengharapkan
dapat nilai yang memuaskan. Ada sebuah pesan yang masuk ketika aku sedang
menyusun jadwal belajar baru.
Aku
di luar
Sebuah pesan dari nomor yang tidak
aku simpan. Aku pun bergegas turun ke bawah dan membuka pintu. Betapa terkejutnya
aku ternyata itu adalah Julia.
“Jul?”
“Nihh, aku bawain coklat
kesukaanmu. Kemarin aku pergi ke Hongkong sama keluarga.” Ucapnya sambil
menyerahkan sekotak coklat almond.
Aku masih bingung dengan apa yang
kulihat sekarang. Julia berdiri di depanku dan menyerahkan sekotak coklat.
“Bagaimana kamu tau itu nomorku? Bukankah
cowokmu sudah hapus?”
“Aku bertanya satu-satu kepada
orang yang mengirimkan pesan kepadaku. Dan semuanya menjawab bahwa mereka
bukanlah dirimu. Jadi tinggal nomormu dan aku yakin pasti kamu ada
menghubungiku.” Ucapnya.
“Dan cowokmu?”
“Maafkan tindakan cowokku. Dia hapus
nomor-nomor dengan nama cowok di handphone.”
Bukan. Bukan itu yang aku maksud.
“Oh, begitukah? By the way, selamat ya udah dapat
pasangan baru. Dan gak perlu ajak aku untuk keluar temani kamu beli barang
lagi. Sudah ada dia, aku hanya pengganti sementara.” Ah! Sial, aku tidak
bermaksud untuk berbicara seperti itu.
“Tidak,” ucapnya. “Aku tidak sayang
dengan cowokku. Dia terlalu memaksaku untuk berubah demi dia. Aku ingin
mengakhiri hubungan kami secepatnya.”
“Kenapa kamu menerima dia?”
tanyaku.
“Ketika aku dan sekeluarga pergi ke
Hong Kong, aku sempat diculik.”
“Diculik?!”
“Iya, oleh sekelompok orang
berbadan kekar ketika aku sedang berjalan-jalan mencari oleh-oleh buatmu.”
Dia diculik karena ingin
membelikanku hadiah.
“Lalu? Apa yang membuatmu
berpacaran dengannya?” tanyaku penasaran.
“Dia adalah seorang polisi muda
yang menemukanku.”
“Dan kamu menerimanya karena balas
budi?”
“Bukan aku., tapi ayah. Dia bersikeras
bahwa aku harus menikahinya. Namun ibu membantuku dengan mengatakan bahwa
tunggu sampai aku lulus di perguruan tinggi.”
“Aku akan ke rumahmu sekarang dan
membicarakan hal ini dengan ayahmu.”
“Tidak. Cukup.” Ucapnya sambil
menahanku. “Ayahku telah melarangku untuk bertemu denganmu karena dia tau bahwa
kamu adalah satu-satunya cowok yang bisa membuat hubungan kami retak.”
“Retak? Kenapa? Apa kamu juga punya
perasaan terhadapku?”
“Juga? Maksudmu? Kamu ada perasaan
denganku?”
Ups. Aku telah mengeluarkan sebuah
kata yang salah.
“Ya, selama ini sih itulah yang aku
rasakan. Aku gak tau denganmu. Mungkin kamu merasa aku sebagai seorang kakak yang
baik.”
“Kamu bukan hanya kakak yang baik
buatku. Tapi lelaki terbaik yang pernah aku kenal.” Ucapnya.
Tanpa sadar aku pun mendekat
padanya. Kami saling menatap satu sama lain. Matanya menyiratkan sebuah
kesedihan. Seperti burung dalam sangkar, tidak dapat bebas keluar masuk seseuai
keinginan, dan tidak dapat makan apa yang ingin di makan. Sebuah perasaan pahit
yang dialaminya. Ingin sekali aku membebaskannya dari belenggu yang dipasang
oleh ayahnya. Orang tua yang tidak mengerti akan perasaan anak perempuannya.
Tanpa sadar aku memeluknya, dia pun
tidak melepaskan pelukkanku. Seakan-akan bahwa dia ingin sekali selalu berada
di dalam pelukanku. Tak berapa lama kemudian, dia melepaskan pelukanku.
“Sudah ya? Mungkin kita gak bakal
ketemu lagi. Sebenarnya aku tidak boleh kemana-mana. Tapi aku keluar bareng
teman dengan alasan ke mall. Teman-temanku sudah menunggu di luar.”
“Aku ingin sekali berbicara dengan
ayahmu.”
“Tidak apa. Tidak usah. Aku tidak
ingin gara-gara masalah percintaanku, kamu mendapat musuh. Biarkan aku
pelan-pelan menjalaninya. Aku harus menjadi anak yang berbakti. Semoga kamu
mengerti dengan pilihan ini. Dan kamu sudah mengenalku lama sekali. Tolong, mengerti
lah.”
Aku berusaha mengerti. Begitu sulit
untukku melepaskannya. Sejak awal aku tidak ingin kehilangannya. Namun segala
sesuatu telah ada yang mengatur, layaknya sebuah bidak dalam permainan catur. Sang
pencipta sebagai pemain, dan manusia serta ciptaannya yang lain sebagai bidak
catur.
Aku mengangguk pelan. Air mataku
jatuh, aku tidak dapat menahan kesedihan ini. Julia melihatku menangis. Dia
menyentuh pipiku, dan mengangkat kepalaku agar kami dapat saling bertatapan
satu sama lain.
“Aku sayang sama kamu. Lebih dari
siapapun. Tapi aku tak sanggup melawan yang telah ditakdirkan untukku. Teman-temanku
sudah menunggu lama, ini sudah saatnya aku untuk berpisah denganmu.” Ucapnya.
Hal tersebut menambah kesedihanku. Aku
menangis, namun aku berusaha untuk tidak mengeluarkan suara tangisanku.
“Hei. Aku berjanji akan
menghubungimu suatu saat nanti. Aku janji.”
Dia mencubit kedua pipiku dengan
kuat, namun aku tidak merasakan rasa sakitnya. Rasa sakit di dalam hati lebih
terasa dibandingkan dengan rasa sakit yang timbul akibat cubitan di pipi.
“Oke. Aku pergi sekarang ya? Kasihan
teman-temanku udah nunggu lama.” Ucapnya.
Ketika dia berjalan meninggalkanku.
Aku merasa bahwa seperti aku tidak akan bertemu dengannya lagi. Sebuah ketakutan
yang mendalam. Ketakutan atas kehilangan gadis yang kita cintai.
Terakhir aku melihatnya adalah
ketika dia membalikkan badannya sebelum masuk ke dalam mobil. Ia mengeluarkan handphonenya sebentar, kemudian masuk ke
dalam mobil. Beberapa detik kemudian, handphoneku
berdering, tanda ada sebuah pesan yang masuk.
Besok,
aku akan terbang ke Hong Kong, aku akan menetap disana untuk sementara waktu. Suatu
hari nanti, aku akan pulang lagi dan akan mengunjungimu. Love you.
Pada akhirnya, aku tidak akan
pernah bisa menemuinya lagi. Telah terjadi sebuah kecelakaan pesawat. Pesawat yang
terbang dari Jakarta menuju ke Hong Kong. Salah satu mesin meledak dan pesawat
berakhir di tengah-tengah laut. Berita terakhir mengatakan bahwa tidak ada
orang yang selamat dalam kecelakaan tersebut. Dan salah satu korbannya adalah
Julia.
Aku berdiri di depan televisiku. Melihat
berita mengenai kejadian tersebut dan aku terjatuh. Kakiku lemas, menjadi dia
bertenaga. Air mataku keluar lagi, kali ini sangat keras, suara tangisanku
terdengar sampai di telinga Andre yang sedang menonton televisi di lantai
dasar.
Andre langsung menuju ke kamarku
dan bertanya apa yang terjadi. Aku hanya menggerakan ujung jariku dan menujuk
ke salah satu nama yang terpampang sebagai korban di televisi. Andre pun
mengerti mengapa aku menangis seperti ini.
“Sudah, dia sudah berpulang. Tidak ada
gunanya menangis. Kata orang, itu malah bakal membuat dia sedih disana.” Ucap Andre
berusaha menenangkanku.
Aku tidak bisa berhenti menangis,
aku telah kehilangan seseorang yang sangat aku cintai. Beda dengan gadis-gadis
lain yang telah aku pacari. Tidak ada gadis yang kukenal lebih dalam daripada
dirinya. Aku telah mengerti luar dalam mengenainya. Segala kebiasaan buruknya
pun sudah kuhafal.
Aku berusaha menenangkan diri,
namun selalu wajah sedih Julia muncul dalam benakku. Wajah sedihnya di malam
itu membuatku tidak dapat menerima kenyataan ini. Andaikan saja aku menghadapi
ayahnya langsung malam itu. Mungkin kejadian ini tidak akan terjadi. Aku harap
bahwa ayahnya menyesal telah menjodohkannya dengan salah satu polisi Hong Kong,
sebab hal tersebut malah membuatnya kehilangan anak perempuannya.
Sampai akhirnya, berita paling
terakhir pun telah keluar. Tidak ada penumpang yang selamat dari kecelakaan
tersebut. Semua jasadnya ditemukan mengapung beberapa hari setelah pesawat
terjatuh. Mayat Julia akan dipulangkan ke Indonesia beberapa hari lagi.
Andre mengajakku untuk pergi
menghadiri pemakaman Julia. Tapi aku tidak sanggup untuk mengikhlaskan
kepergiannya. Tidak sanggup untuk melihat raga Julia dikubur dan menyatu dengan
bumi. Andre pun pasrah dengan jawabanku dan tidak jadi untuk menghadiri
pemakaman Julia.
Aku merasakan rasa sakit yang
berlipat ganda. Kesedihan yang amat mendalam. Semua karena cinta, cinta dan
cinta. Cinta membuatku merana. Merasakan sakit hati ditinggal sementara, dan
sekarang merasakan kesedihan yang mendalam ditinggal selamanya. Semua akibat
cinta. Andai saja aku tidak mencintainya, aku tidak akan merasakan pedih yang
amat sangat terasa. Andai saja aku tidak mencintainya, aku tidak akan terpuruk
dengan keadaanku sekarang. Andai saja aku tidak mencintainya, aku tidak akan
menangis tiap malam mengingat wajahnya.
Andai saja cinta tidak datang
menghampiriku, aku tidak akan merasakan semua itu. Tidak akan merasakan betapa
sakitnya kehilangan seseorang yang kita cintai. Aku merasa bahwa cinta hanya
membawa petaka, membawa rasa sakit hati, membawa permusuhan. Sehingga aku pun
berjalan jauh meninggalkan cinta dibelakangku. Aku hanya ingin fokus dengan apa
yang aku hadapi sekarang.
Namun sungguh, kehilangan Julia
memberikanku banyak sekali pelajaran berharga. Aku tidak akan mendekati
siapapun hanya demi mengisi kekosongan hatiku. Biarlah waktu yang menjawabnya. Di
masa depan nanti, aku hanya berharap mendapatkan gadis yang bisa
membahagiakanku, tanpa ditambah rasa sakit hati dan kesedihan yang ikut serta
dalam kehidupanku nantinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar