Powered By Blogger

Senin, 11 Agustus 2014

Pahitnya Cinta

            Ketika kata sayang menghasilkan perpisahan, ketika kata cinta menghasilkan permusuhan, ketika cinta memberikan kesedihan yang mendalam dan ketika cinta membuatmu sakit hati. Maka itu adalah alasan yang cukup untukku menjauhi hal-hal yang berurusan dengan namanya pacaran. Jujur kukatakan bahwa aku bukanlah orang yang membenci cinta pada awalnya. Namun hal ini berubah ketika aku memiliki pacar yang ke empat belas. Namanya Anggi.
            Waktu itu hubungan kami telah berjalan hampir enam bulan lamanya. Walaupun aku seseorang yang terkenal playboy, aku adalah orang yang sangat sayang terhadap pasanganku. Dan hubungan kami baik-baik saja sampai pada saat aku akan menjalankan ujian sekolah minggu depan. Aku menjadi jarang menghubunginya karena jadwal belajarku semakin padat. Dari sekolah, tambahan, les. Sehingga hubungan kami memanas saat itu.
            Sebenarnya aku mengerti perasaan wanita yang membutuhkan rasa perhatian dari seorang pria. Namun aku juga berada di dalam kondisi yang membutuhkan konsentrasi penuh. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak menghubunginya sementara. Ketika dia mengirimkan pesan singkat kepadaku, aku hanya mengatakan bahwa aku perlu belajar demi kelulusanku. Aku juga hanya manusia biasa, yang akan berkembang apabila aku belajar, aku tidak mungkin bisa terus menerus bersamamu jika aku sedang berada di dalam posisi seperti ini.
            Beberapa hari berikutnya, dia mengirimkanku sebuah pesan singkat lagi. Awalnya hanya basa-basi, sehingga aku juga tidak begitu memikirkannya. Aku tidak memilih untuk membalasnya karena aku sedang berkonsentrasi dengan bahan yang aku pelajari.
Satu jam kemudian, dia kembali mengirimkanku sebuah pesan singkat. Aku sempat berpikir untuk tidak membacanya, namun aku membuang pikiran itu dan aku membuka pesan singkat tersebut. Isinya adalah “Mungkin kita harus berpisah. Aku tau kamu harus belajar, jadi aku tidak ingin mengganggumu. Kita putus ya?”
Sontak konsentrasiku menjadi kacau. Keinginanku untuk belajar pun pudar malam itu. Rasa tidak ingin putus dikalahkan oleh rasa kecewaku. Aku kecewa karena alasan yang sangat tidak masuk akal. Tidak ingin menggangguku. Aku tidak merasa terganggu dengan hubungan pacaran kami. Setidaknya itulah yang kurasakan selama aku menjadi lebih sering belajar. Sungguh kecewa, kecewa dia tidak bisa mengerti kondisiku.
Aku pun memutuskan untuk melanjutkan pekerjaanku sebelumnya, belajar. Aku tidak membalas pesan singkatnya itu. Menurutku hal itu tidak perlu kujawab karena dia pasti tetap bersikeras untuk minta putus.
Setelah aku merasa cukup belajar hari ini, aku merebahkan diriku di kasur. Mengambil handphone dan mengecek pesan dari siapa saja yang masuk karena handphone-ku terus berbunyi beberapa kali ketika aku sedang belajar.
Ternyata semua pesan yang masuk berasal dari dirinya. Jumlah ada sembilan pesan yang isinya seperti ini.
Aku gak mau ganggu kamu belajar, gak mau ganggu konsentrasimu.
Maafkan aku, aku cuman mau bilang kalau aku sayang banget sama kamu.
Aku butuh kamu. Tapi maaf, aku hanya mengganggu.
Aku merasa aku tidak pantas buatmu.
Apakah aku mengganggumu?
Selamat belajar, ya!
Aku rasa aku tetap pada pendirianku. Kita putus.
Aku akan pergi dari hidupmu. Gak akan pernah lagi ganggu-ganggu kamu.
Selamat malam, semoga nilaimu memuaskan. Maaf kalau selama ini aku mengganggumu.
Aku sungguh kecewa dengan semua isi pesan tersebut. Kata ‘mengganggu’ itu menjadi terasa di saat seperti ini. Aku ingin membalasnya dengan sebuah kalimat ‘kau tidak pernah menggangguku’. Hanya saja kalimat itu kurasa tidak berguna di saat seperti ini.
Aku pun memutuskan untuk tidur malam itu. Dengan sengaja aku tidur sambil mendengarkan lagu supaya aku akan lebih cepat terlelap. Lebih cepat lebih baik. Tidak ingin memikirkan hal yang telah membuatku kecewa.
*
Esoknya, ia mengirimkan lagi pesan singkat. Isinya berupa curhatannya bahwa dia masih menyanyangiku dan bermaksud untuk berhubungan kembali. Namun aku sudah terlanjur kecewa, ketika aku telah kecewa terhadap seseorang, maka aku tidak akan menarik kata-kataku kembali.
Aku melewati hari demi hari dengan sangat tidak bersemangat. Pikiranku selalu mengenai dia. Dia yang telah membuatku kecewa, namun dialah yang memberikan banyak sekali kenangan terindah. Aku terus berusaha memikirkan hal-hal negatif tentangnya. Hal tersebut membuatku dengan mudah menghilangkan pikiranku tentangnya. Mudah hilang, mudah juga kembali.
Aku adalah anak tunggal. Namun aku memiliki seorang adik angkat, adik yang sangat manis. Aku sempat menyukainya, namun dulu. Dan sempat juga aku kehilangan kontak dengannya selama setahun lebih karena dia telah memiliki pacar. Dan pacarnya melarangnya untuk memiliki hubungan dekat dengan pria lain. Tapi setelah putus, hubungan kami pun kembali, sebagai adik-kakak tentunya.
Kami telah berhubungan selama kurang lebih lima tahun. Dan ketika aku berhubungan kembali, dia sangat senang. Senang karena sifatku yang tidak berubah terhadapnya. Walaupun sempat dicampakkannya buat seorang laki-laki. Aku bukanlah tipe orang yang begitu mempermasalahkan sesuatu yang besar, maka dari itu, aku tidak begitu memperdulikan kenyataan bahwa kami telah kehilangan kontak selama setahun. Yang terpenting adalah sekarang kami berhubungan kembali.
Jujur, dengan kedatangannya kembali dalam hidupku, aku merasa lebih hidup. Tidak ada orang lain yang mengerti diriku selain dirinya. Namanya Julia. Gadis yang membuatku melupakan  Anggi.
Hubungan kami normal, sungguh seperti layaknya adik dan kakak yang sangat dekat. Kemanapun aku selalu bersamanya. Ketika dia bingung akan suatu hal, dia pun bertanya kepadaku. Pernah dia bertanya mengenai hadiah mana yang bagus, hadiah untuk seorang cowok. Pertama aku pikir bahwa dia ingin memberikanku hal tersebut, tapi aku tidak ingin berpikiran sejauh itu. Iya, aku seorang kakak yang baik menurutnya. Dan dia, seorang gadis yang manis menurutku.
Tentu saja, aku tidak berharap lebih. Aku tidak berharap untuk memiliki hubungan pacaran dengannya. Belum tentu juga aku diterimanya. Karena aku merasa bahwa dia nyaman dengan kondisi sekarang. Dia menjadikanku kakak yang baik, memperlakukanku seperti seorang yang sangat tua, jujur dia lucu sekali. Dan aku menjadikannya adikku satu-satunya, tentu dengan bumbu-bumbu rasa sayang yang telah tumbuh dalam hatiku.
Hari ini kami tidak saling mengirim pesan sejak pagi. Aku berencana untuk mengajaknya keluar sabtu malam. Aku mengirimkan sebuah pesan singkat untuknya.
Sabtu ini mau keluar?
Dia tidak membalasnya. Tidak biasa Julia membalas pesanku sangat lama. Hampir satu jam kemudian ketika aku sedang asik dengan pelajaran matematikaku, handphone-ku berdering. Ada sebuah pesan singkat yang masuk. Tertera nama Julia. Aku langsung menghentikan kegiatan belajarku dan membaca pesannya.
Maaf. Ini siapa? Tadi cowokku yang megang handphone. Dia hapus nomor-nomor cowok, jadi aku gak tau ini siapa.
Sebuah pukulan telak. Hatiku terasa sangat berat. Aku tidak ingat bahwa dia pernah cerita bahwa dia sedang dekat dengan seorang cowok. Dia telah berpacaran. Dan aku, yang telah dianggap sebagai kakak lelakinya, tidak diberitahu. Aku tidak mengerti. Apakah hal telah kulakukan selama ini sia-sia? Ataukah aku memang seseorang lelaki yang telah berharap terlalu banyak?
Maaf, aku salah mengirim pesan. Nomornya hanya beda satu digit soalnya.
Aku pun segera membereskan buku-buku di meja. Aku sudah tidak memiliki niat lagi untuk belajar. Sebuah rasa kecewa dan kesal bercampur aduk di hati. Tanpa kusadari tetesan air jatuh melewati pipiku. Aku menangis.
Mungkin ini takdirku. Aku telah diberikan sebuah cobaan berat. Aku merasa dimanfaatkan selama ini. Aku hanya sebagai pengganti sementara sosok cowok yang hilang. Rasa senang yang semu diberikannya kepadaku sebagai imbalan atas kebaikkan hatiku kepadanya.
Beberapa hari telah berlalu. Julia tidak memberikanku kabar apapun tentang cowok barunya. Dia bahkan dia datang mampir ke rumahku, padahal dia sudah sering datang untuk bermain. Aku sungguh tidak dapat menerima kenyataan itu sampai sekarang.
Aku bukanlah tipe cowok yang suka sekali mengumbar-ngumbar rasa patah hati, galau dan semacamnya. Aku biasanya hanya menceritakan kepada Andre, sahabatku, itupun kalau aku sudah tidak sanggup menahannya.
“Kau ingat Julia?” tanyaku pada Andre, ketika ia sedang menikmati es krim yang dibelinya dalam perjalanan menuju ke rumahku.
"Tentu saja ingat," ucapnya. "Si hidung pesek yang berkulit putih halus itu kan?"
"Iya, bener."
"Ada apa dengannya?" tanya Andre.
"Dia ternyata udah punya cowok, dan selama ini dia udah deket denganku. Namun hubungan kami dianggap hanya sebatas kakak dan adik."
“Mungkin karma.” Jawabnya santai.
“Karma? Kenapa?” tanyaku kebingungan.
“Kau gak ngerti? Atau hanya pura-pura gak ngerti?” tanyanya sambil mengarahkan stik es krimnya kepadaku.
“Beneran gak ngerti.”
“Astaga,” ucapnya sambil menepuk pelan jidatnya. “Aku perlu tanya kau satu hal.”
“Apa?”
“Bagaimana menurutmu, perasaan cewek yang baru kau putuskan, kemudian kau telah mendapatkan gadis lain tak lama setelah kau putus dengan cewek tersebut.”
“Mungkin sakit hati.”
“Nah, lalu apa yang kau rasakan sekarang?” tanyanya.
“Sakit hati.”
“Apakah sama?”
Aku terdiam. Aku berusaha mengingat lagi perasaan tiga belas mantanku. Pastinya merasa sakit sekali. Dengan rasa sayang yang kuberikan kepada mereka. Dan akhirnya aku menemukan yang lain, beberapa saat setelah aku memutuskan mereka.
“Tapi kan aku cuman mencari yang terbaik.”
“Karma tidak perduli alasan. Yang kau lakukan menyebabkan rasa sakit kepada mereka. Ya, kau juga mendapatkan rasa sakit seperti yang mereka rasakan.”
Mungkin apa yang Andre katakan benar. Aku harus menanggung rasa sakit yang mereka rasakan dengan apa yang telah Julia lakukan terhadapku.
“Lalu apa yang harus aku lakukan?”
Andre menatapku sebentar, tatapan yang sangat dalam. “Apa yang kau harapkan dari segala sesuatu yang telah terjadi?”
“Gak ada.”
“Tuh tau. Sudah, apa yang terjadi, ya terjadilah. Langkah yang paling baik adalah tidak mengulangi hal tersebut di masa depan.” Ucapnya sambil menepuk-nepuk pundakku dengan kuat.
“Hey! Sakit. Tapi yah, bener juga. Terlalu cepat jatuh cinta, terlalu cepet sakit hati pula. Dan rasa sakit itu bakal berkali lipat rasanya suatu hari nanti.”
“Oke sip!” ucapnya. “Jadi apa yang akan kau lakukan sekarang?”
“Aku jadi gak kepikiran untuk mau punya pasangan saat ini. Gak tau kenapa rasanya itu buang-buang waktu dan duitku saja.”
“Ya, kebanyakan sih gitu. Fokusin aja ke sekolah dulu. Gak perlu pusingin panjang-panjang.”
“Paling tidak aku ingin tau alasan kenapa Julia melakukan hal seperti itu kepadaku. Sakitnya tuh disini.” Ucapku sambil menunjuk ke arah dada.
“Ikhlaskan saja. Pengalaman baru, merasakan sakitnya dilupakan dan ditinggal.”
Aku mengangguk pelan. Namun dalam hati aku tidak dapat dengan mudahnya untuk menerima perlakuan dari Julia. Aku juga harus nyadar diri, bahwa aku pernah melakukan hal yang sama kepada orang lain. Perlakuan yang tidak aku lakukan hanya sekali, tapi telah terjadi berulang terus menerus. Penyesalan pun menyusul dibelakang.
*
Aku ingin sekali bertanya alasan kenapa Julia tidak mengatakan kepadaku mengenai cowok yang dekat dengannya. Sudah tepat satu minggu dan masih belum kontak dari dia. Aku telah mendapatkan rasa kecewa dari dua gadis sekaligus dalam waktu yang sangat dekat. Betapa bodohnya aku untuk cepat jatuh cinta kepada seorang gadis.
Anggi pun tidak menghubungiku lagi. Sudah satu bulan lamanya kami tidak berkomunikasi sama sekali. Tidak ada kabar apapun yang kudengar dari dia. Ketika bertemu di sekolah pun kami tidak saling tegur lagi. Kekecewaan masih terasa sampai saat ini, dan telah merasa bahwa dia tidak cocok sebagai teman.
Malam itu, sama seperti malam-malam sebelumnya. Aku berusaha mempersiapkan diri sebaik mungkin. Sekarang yang akan dihadapi adalah ujian nasional. Ujian sekolahku berjalan dengan lancer dan mengharapkan dapat nilai yang memuaskan. Ada sebuah pesan yang masuk ketika aku sedang menyusun jadwal belajar baru.
Aku di luar
Sebuah pesan dari nomor yang tidak aku simpan. Aku pun bergegas turun ke bawah dan membuka pintu. Betapa terkejutnya aku ternyata itu adalah Julia.
“Jul?”
“Nihh, aku bawain coklat kesukaanmu. Kemarin aku pergi ke Hongkong sama keluarga.” Ucapnya sambil menyerahkan sekotak coklat almond.
Aku masih bingung dengan apa yang kulihat sekarang. Julia berdiri di depanku dan menyerahkan sekotak coklat.
“Bagaimana kamu tau itu nomorku? Bukankah cowokmu sudah hapus?”
“Aku bertanya satu-satu kepada orang yang mengirimkan pesan kepadaku. Dan semuanya menjawab bahwa mereka bukanlah dirimu. Jadi tinggal nomormu dan aku yakin pasti kamu ada menghubungiku.” Ucapnya.
“Dan cowokmu?”
“Maafkan tindakan cowokku. Dia hapus nomor-nomor dengan nama cowok di handphone.”
Bukan. Bukan itu yang aku maksud.
“Oh, begitukah? By the way, selamat ya udah dapat pasangan baru. Dan gak perlu ajak aku untuk keluar temani kamu beli barang lagi. Sudah ada dia, aku hanya pengganti sementara.” Ah! Sial, aku tidak bermaksud untuk berbicara seperti itu.
“Tidak,” ucapnya. “Aku tidak sayang dengan cowokku. Dia terlalu memaksaku untuk berubah demi dia. Aku ingin mengakhiri hubungan kami secepatnya.”
“Kenapa kamu menerima dia?” tanyaku.
“Ketika aku dan sekeluarga pergi ke Hong Kong, aku sempat diculik.”
“Diculik?!”
“Iya, oleh sekelompok orang berbadan kekar ketika aku sedang berjalan-jalan mencari oleh-oleh buatmu.”
Dia diculik karena ingin membelikanku hadiah.
“Lalu? Apa yang membuatmu berpacaran dengannya?” tanyaku penasaran.
“Dia adalah seorang polisi muda yang menemukanku.”
“Dan kamu menerimanya karena balas budi?”
“Bukan aku., tapi ayah. Dia bersikeras bahwa aku harus menikahinya. Namun ibu membantuku dengan mengatakan bahwa tunggu sampai aku lulus di perguruan tinggi.”
“Aku akan ke rumahmu sekarang dan membicarakan hal ini dengan ayahmu.”
“Tidak. Cukup.” Ucapnya sambil menahanku. “Ayahku telah melarangku untuk bertemu denganmu karena dia tau bahwa kamu adalah satu-satunya cowok yang bisa membuat hubungan kami retak.”
“Retak? Kenapa? Apa kamu juga punya perasaan terhadapku?”
“Juga? Maksudmu? Kamu ada perasaan denganku?”
Ups. Aku telah mengeluarkan sebuah kata yang salah.
“Ya, selama ini sih itulah yang aku rasakan. Aku gak tau denganmu. Mungkin kamu merasa aku sebagai seorang kakak yang baik.”
“Kamu bukan hanya kakak yang baik buatku. Tapi lelaki terbaik yang pernah aku kenal.” Ucapnya.
Tanpa sadar aku pun mendekat padanya. Kami saling menatap satu sama lain. Matanya menyiratkan sebuah kesedihan. Seperti burung dalam sangkar, tidak dapat bebas keluar masuk seseuai keinginan, dan tidak dapat makan apa yang ingin di makan. Sebuah perasaan pahit yang dialaminya. Ingin sekali aku membebaskannya dari belenggu yang dipasang oleh ayahnya. Orang tua yang tidak mengerti akan perasaan anak perempuannya.
Tanpa sadar aku memeluknya, dia pun tidak melepaskan pelukkanku. Seakan-akan bahwa dia ingin sekali selalu berada di dalam pelukanku. Tak berapa lama kemudian, dia melepaskan pelukanku.
“Sudah ya? Mungkin kita gak bakal ketemu lagi. Sebenarnya aku tidak boleh kemana-mana. Tapi aku keluar bareng teman dengan alasan ke mall. Teman-temanku sudah menunggu di luar.”
“Aku ingin sekali berbicara dengan ayahmu.”
“Tidak apa. Tidak usah. Aku tidak ingin gara-gara masalah percintaanku, kamu mendapat musuh. Biarkan aku pelan-pelan menjalaninya. Aku harus menjadi anak yang berbakti. Semoga kamu mengerti dengan pilihan ini. Dan kamu sudah mengenalku lama sekali. Tolong, mengerti lah.”
Aku berusaha mengerti. Begitu sulit untukku melepaskannya. Sejak awal aku tidak ingin kehilangannya. Namun segala sesuatu telah ada yang mengatur, layaknya sebuah bidak dalam permainan catur. Sang pencipta sebagai pemain, dan manusia serta ciptaannya yang lain sebagai bidak catur.
Aku mengangguk pelan. Air mataku jatuh, aku tidak dapat menahan kesedihan ini. Julia melihatku menangis. Dia menyentuh pipiku, dan mengangkat kepalaku agar kami dapat saling bertatapan satu sama lain.
“Aku sayang sama kamu. Lebih dari siapapun. Tapi aku tak sanggup melawan yang telah ditakdirkan untukku. Teman-temanku sudah menunggu lama, ini sudah saatnya aku untuk berpisah denganmu.” Ucapnya.
Hal tersebut menambah kesedihanku. Aku menangis, namun aku berusaha untuk tidak mengeluarkan suara tangisanku.
“Hei. Aku berjanji akan menghubungimu suatu saat nanti. Aku janji.”
Dia mencubit kedua pipiku dengan kuat, namun aku tidak merasakan rasa sakitnya. Rasa sakit di dalam hati lebih terasa dibandingkan dengan rasa sakit yang timbul akibat cubitan di pipi.
“Oke. Aku pergi sekarang ya? Kasihan teman-temanku udah nunggu lama.” Ucapnya.
Ketika dia berjalan meninggalkanku. Aku merasa bahwa seperti aku tidak akan bertemu dengannya lagi. Sebuah ketakutan yang mendalam. Ketakutan atas kehilangan gadis yang kita cintai.
Terakhir aku melihatnya adalah ketika dia membalikkan badannya sebelum masuk ke dalam mobil. Ia mengeluarkan handphonenya sebentar, kemudian masuk ke dalam mobil. Beberapa detik kemudian, handphoneku berdering, tanda ada sebuah pesan yang masuk.
Besok, aku akan terbang ke Hong Kong, aku akan menetap disana untuk sementara waktu. Suatu hari nanti, aku akan pulang lagi dan akan mengunjungimu. Love you.
Pada akhirnya, aku tidak akan pernah bisa menemuinya lagi. Telah terjadi sebuah kecelakaan pesawat. Pesawat yang terbang dari Jakarta menuju ke Hong Kong. Salah satu mesin meledak dan pesawat berakhir di tengah-tengah laut. Berita terakhir mengatakan bahwa tidak ada orang yang selamat dalam kecelakaan tersebut. Dan salah satu korbannya adalah Julia.
Aku berdiri di depan televisiku. Melihat berita mengenai kejadian tersebut dan aku terjatuh. Kakiku lemas, menjadi dia bertenaga. Air mataku keluar lagi, kali ini sangat keras, suara tangisanku terdengar sampai di telinga Andre yang sedang menonton televisi di lantai dasar.
Andre langsung menuju ke kamarku dan bertanya apa yang terjadi. Aku hanya menggerakan ujung jariku dan menujuk ke salah satu nama yang terpampang sebagai korban di televisi. Andre pun mengerti mengapa aku menangis seperti ini.
“Sudah, dia sudah berpulang. Tidak ada gunanya menangis. Kata orang, itu malah bakal membuat dia sedih disana.” Ucap Andre berusaha menenangkanku.
Aku tidak bisa berhenti menangis, aku telah kehilangan seseorang yang sangat aku cintai. Beda dengan gadis-gadis lain yang telah aku pacari. Tidak ada gadis yang kukenal lebih dalam daripada dirinya. Aku telah mengerti luar dalam mengenainya. Segala kebiasaan buruknya pun sudah kuhafal.
Aku berusaha menenangkan diri, namun selalu wajah sedih Julia muncul dalam benakku. Wajah sedihnya di malam itu membuatku tidak dapat menerima kenyataan ini. Andaikan saja aku menghadapi ayahnya langsung malam itu. Mungkin kejadian ini tidak akan terjadi. Aku harap bahwa ayahnya menyesal telah menjodohkannya dengan salah satu polisi Hong Kong, sebab hal tersebut malah membuatnya kehilangan anak perempuannya.
Sampai akhirnya, berita paling terakhir pun telah keluar. Tidak ada penumpang yang selamat dari kecelakaan tersebut. Semua jasadnya ditemukan mengapung beberapa hari setelah pesawat terjatuh. Mayat Julia akan dipulangkan ke Indonesia beberapa hari lagi.
Andre mengajakku untuk pergi menghadiri pemakaman Julia. Tapi aku tidak sanggup untuk mengikhlaskan kepergiannya. Tidak sanggup untuk melihat raga Julia dikubur dan menyatu dengan bumi. Andre pun pasrah dengan jawabanku dan tidak jadi untuk menghadiri pemakaman Julia.
Aku merasakan rasa sakit yang berlipat ganda. Kesedihan yang amat mendalam. Semua karena cinta, cinta dan cinta. Cinta membuatku merana. Merasakan sakit hati ditinggal sementara, dan sekarang merasakan kesedihan yang mendalam ditinggal selamanya. Semua akibat cinta. Andai saja aku tidak mencintainya, aku tidak akan merasakan pedih yang amat sangat terasa. Andai saja aku tidak mencintainya, aku tidak akan terpuruk dengan keadaanku sekarang. Andai saja aku tidak mencintainya, aku tidak akan menangis tiap malam mengingat wajahnya.
Andai saja cinta tidak datang menghampiriku, aku tidak akan merasakan semua itu. Tidak akan merasakan betapa sakitnya kehilangan seseorang yang kita cintai. Aku merasa bahwa cinta hanya membawa petaka, membawa rasa sakit hati, membawa permusuhan. Sehingga aku pun berjalan jauh meninggalkan cinta dibelakangku. Aku hanya ingin fokus dengan apa yang aku hadapi sekarang.

Namun sungguh, kehilangan Julia memberikanku banyak sekali pelajaran berharga. Aku tidak akan mendekati siapapun hanya demi mengisi kekosongan hatiku. Biarlah waktu yang menjawabnya. Di masa depan nanti, aku hanya berharap mendapatkan gadis yang bisa membahagiakanku, tanpa ditambah rasa sakit hati dan kesedihan yang ikut serta dalam kehidupanku nantinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar