Powered By Blogger

Minggu, 24 Juli 2016

Lingkaran Merah

Namaku Andre, mahasiswa semester 6 yang sedang berada di dalam ‘lingkaran merah’, lingkungan pacaran yang merasa lelah. Aku sedang break dengan wanita yang menemaniku selama 6 bulan terakhir. Mungkin ini yang mereka sebut dengan masa-masa jenuh.
Aku baru saja memberikan sebuah kesempatan untuk diri kami masing-masing untuk saling mengintrospeksi diri. Apa yang membuat kami merasa jenuh dengan hubungan ini?
Dari pertemuanku dengan gadis yang tidak aku kenal tadi, aku akhirnya menyadari bahwa banyak sekali orang diluar sana yang menyepelekan sebuah komitmen atas hubungan yang dibangunnya. Dan orang diluar sana yang kumaksud itu termasuk diriku ini.
Awalnya, kami saling menyukai. Dari rasa suka itu, kami merasa bahwa kami ingin memiliki sebuah ikatan yang lebih. Dan aku menembaknya. Tetapi, tidak ada kejelasan sebagaimana serius kami menjalani hubungan ini.
“Apa kamu benar-benar sayang denganku?” tanyanya ketika kami sedang makan malam di salah satu restoran di pusat kota, yang sangat mewah.
“Ya,” jawabku singkat. “bagaimana denganmu?” tanyaku. Menatap kedua matanya dengan tatapan tegas.
“Sama.” Jawabnya, senyuman merekah dibibirnya.
Kami menjalani hubungan dengan bahagia dibulan pertama, senang dibulan kedua, sedih dibulan ketiga, canggung dibulan keempat, hilang dibulan kelima, dan berhenti dibulan keenam.
“Apa ini jenis hubungan yang kita inginkan?” tanyanya melalui aplikasi chatting ketika aku baru saja selesai mandi sepulang kantor.
“Aku hanya mengikuti permainanmu,” aku membalas. “kau diam, aku diam.”
“Aku diam karena aku ingin diperhatikan!”
“Karena kau diam, aku tidak tau kau ingin diperhatikan.” Balasku santai.
Dia hanya read balasan chatku. “Mungkin dia marah,” pikirku.
Aku terlalu menyepelekan hubungan ini, dan malam itu, dia memutuskan bahwa kami sebaiknya berhenti untuk saling mencari dan menemukan sendiri apa kesalahan yang telah diperbuat oleh masing-masing dari kami, sengaja ataupun tidak sengaja.
“Kenapa kau selalu membuatnya nangis setiap malam?!” tanya adiknya malam itu melalui facebook.
“Tanya saja kepadanya. Aku hanya mengikuti keinginannya.” Balasku.
Aku tidak merasa egois dengan pilihanku ini karena ini adalah permintaan dari pihak cewek. Aku sebagai cowok harus mengalah, setidaknya aku mengalah dalam hal ini.
Besok paginya, aku bangun dengan sebuah pesan di kotak masuk.
Jangan hubungi aku lagi.
Aku tidak mengerti mengapa wanita ingin meminta untuk diperlakukan suatu hal yang sudah pasti akan menyakiti dirinya. Aku mengabaikan pesannya, dan menjalankan aktivitasku seperti biasa, namun kali ini terasa lebih sepi.
Beberapa hari kemudian, sepulang kantor, aku berhenti di sebuah taman yang berada di tepi kota. Aku memarkirkan sepeda motorku di pelataran parkir motor, dan kemudian berjalan menyusuri danau buatan yang selalu ramai dikunjungi orang sebagai tempat untuk berduaan.
Dan di tempat ini lah, aku menyadari bahwa aku terlalu menyepelekan sebuah hubungan.
Aku mengerlingkan mata, menyusuri setiap sudut taman. Aku melihat sepasang kekasih yang sedang asik berdua, aku melihat sebuah keluarga yang sedang berjalan santai dengan menggandeng anak mereka dengan riangnya, aku melihat pasangan yang sudah tidak muda lagi sedang asik berjalan dengan sang pria mendorong kursi roda yang diduduki oleh sang wanitanya.
“Mereka romantis sekali,” pikirku. “kenapa aku tidak bisa seperti mereka?”
Aku mengambil tempat duduk di tepi taman, mengamati dengan seksama setiap pasangan yang lewat. Aku ingin sekali seperti mereka, merasa bahagia dengan pasangannya. Aku cukup rindu dengan rasa itu. Mungkin aku terlalu egois dan tidak memposisikan diriku di posisinya.
“Bagaimana kabarmu?” tiba-tiba terdengar suara dari samping kiriku.
Aku menoleh, dan sedikit terkejut bahwa yang sedang duduk disampingku adalah seorang gadis yang sedang berhenti berkomunikasi denganku.
“Wah, ngapain kamu disini?” tanyaku.
“Aku sedang jalan-jalan,” katanya. Ia terdiam sesaat sebelum mengatakan kalimat yang membuatku terdiam kaku. “dengan pacar baruku.”
Seketika, aku merasa ada sebuah timah panas yang menembus jantungku. Perih.
“Ha-ha!” aku tertawa kaku. “Hebat ya, baru beberapa hari,” aku menggelengkan kepala.
 “Selamat menempuh kehidupan pacaranmu yang baru.” Aku beranjak dari tempat dudukku dan pergi dari tempat itu.
“Aku sudah lelah diperlakukan seperti itu,” katanya halus. Aku berhenti melangkah ketika dia mulai berbicara. “aku ingin diperhatikan.”
“Dan kamu sudah mendapat perhatian yang seharusnya, dan itu bukan dariku.”
“Aku ingin kamu paham-” katanya.
“Aku paham.” Aku memotong kalimatnya sebelum dia berbicara lebih panjang. “Aku pergi.”
Aku pergi, meninggalkannya duduk di tempat itu, ditemani oleh kekasih barunya.
Sepanjang perjalanan, aku merasakan sakit yang luar biasa. “Inikah sakit karena putus cinta?”
Aku benar-benar baru kali ini merasa sesak di dada, dan ini adalah rasa yang sesungguhnya, aku tidak pernah merasakan hal seperti ini.
Aku merasa bahwa, hubungan yang awalnya lancar, kemudian menjadi rusak gara-gara aku, dan ketika aku ingin memperbaiki hubungan tersebut. Aku terlambat.
Ada yang membahagiakannya.
Mulai dari sifat yang tidak dewasa itu, kini aku menyesal. Gadis yang aku sayangi, dan yang sempat aku telantarkan. Kini telah bahagia dengan orang lain.

Sekarang aku cukup takut untuk memulai hubungan yang baru. Aku takut, takut akan masuk kembali ke dalam ‘lingkaran merah’. Karena, aku belum terbiasa memposisikan diri sebagai orang lain.

Kamis, 21 Juli 2016

A Mask

Aku muak melihat mukamu!
Kau gak senang dengan denganku? Wajah kau menunjukkan gak suka dengan keputusanku.
Kau saja yang jadi ketua, mata empat!
Pakai masker! Tutupi wajahmu! Tutupi ekspresimu!

Dan aku selalu memakai masker kemanapun sejak saat itu.
Aku tidak tau, ekspresi apa yang kumunculkan ketika berhadapan dengan orang yang tidak sependapat denganku. Aku tidak membenci mereka, hanya saja, aku tidak bisa menutupi sesuatu. Aku tidak bisa mengatakan tidak ketika aku ingin memberikan jawaban iya. Aku tidak bisa berbohong. Aku hanya seperti itu, jujur, terlalu ekspresif, dan jujur sedikit emosional.
“Apa kau sedang sakit?” tanya pak Agus kepadaku ketika aku baru saja melewati pintu kantor. Pak Agus adalah satpam kantor dan juga seseorang yang sangat aku hargai karena beliau melihat sesuatu dari sudut pandang yang luas. Kebijaksanaannya benar-benar aku kagumi.
“Tidak pak,” jawabku tanpa melihat ke arahnya.
“Kamu bukan pakai masker karena ucapan Diana jumat lalu, kan?” tanyanya, tepat sasaran.
“Tidak pak,” jawabku. Aku mengambil cara paling singkat untuk mengakhiri percakapan ini, batuk. “Uhuk-uhuk.”
Pak Agus menatap wajahku cukup lama. “Kamu bohong. Gak perlu dimasukkin ke hati, dia tidak serius untuk mengatakan itu.” Katanya, berusaha membuatku tidak memikirkan hal tersebut lebih jauh.
“Oh, halo, selamat pagi, pak. Ada yang bisa saya bantu?” pak Agus kemudian sibuk dengan melayani beberapa konsumen yang sudah datang ke kantor.
Aku berjalan masuk ke dalam ruang dimana para karyawan sibuk menelpon dan menawarkan produk dengan bahasa marketingnya. Aku melangkah dengan tegap. Tentu tetap dengan masker yang terpasang, menutupi dari hidung sampai ke dagu.
Semua mata memandang ke arahku, kecuali seorang office girl yang berada di dalam ruang fotokopi, Siti.
“Hey, masker yang bagus, mata empat!” seru Nicky dengan lantang dari meja kerjanya yang berjarak 20 langkah dari tempatku berdiri saat ini.
“Abu-abu, huh?” timpal teman disebelahnya yang tidak ku kenal. Mereka tertawa bahagia.
Aku menatap mereka dengan sinis. Namun, mungkin Nicky, gadis dengan mata silinder itu tidak menyadari bahwa aku menatapnya demikian.
“Lebih baik kalian kerjakan kerjaanmu!” seru teman kerjaku, Billy.
Mereka diam. Nicky tertunduk malu menghadap komputernya dan tangannya mulai sibuk mengetik keyboard-nya. Billy termasuk salah satu karyawan yang berpengaruh di kantor. Pencapaian yang bagus dan wajah yang enak dilihat, menjadikannya sebagai pria idaman di kantor.
“Bagaimana perasaanmu?” tanyanya ketika aku baru saja ingin duduk dengan indah di kursiku.
“Baik saja, kurasa.” Jawabku tak acuh.
“Ada apa dengan masker abu-abu itu?” tanyanya sambil menunjuk ke arah ‘pelindung ekspresi’ku.
“Hanya mengikuti tren anak muda, kau tidak tau?” tanyaku balik.
“Tidak, mungkin karena aku sudah dewasa.” Jawabnya dengan gaya sok dewasa.
“Mungkin aku tidak ingin menjadi tua,” kataku. “Tidak ingin.” Aku menegaskan ucapanku sekali lagi.
Dia menatapku cukup lama, hingga akhirnya berkata. “Kau seperti tidak memiliki emosi dengan memakai masker.”
Is that good?” tanyaku.
Dia mengusap-usap pelan dagunya dengan gaya berpikir kerasnya, memejamkan mata dan berkata. “Tidak.” Kemudian ia melanjutkan aktivitas kerjanya.
“Kenapa?” tanyaku penasaran. “Ada orang yang menyuruhku lebih baik menggunakan masker daripada aku harus menunjukkan setiap ekspresiku ketika aku sedang emosi.”
“Dan membuat mereka juga ikutan marah?” tanyanya memastikan dengan mata yang tetap berfokus pada komputer.
Aku mengedikan bahu. “Dari perintah mereka, sepertinya begitu.”
Ia berhenti mengetik, berbalik arah kepadaku.
“Kau memakai masker, untuk menutupi identitas aslimu sebagai pemegang nama Hendro, dan juga kau ingin menjauhkan diri dari masalah yang ditimbulkan oleh Hendro.” Katanya sambil menusuk-nusuk bahuku dengan telunjuknya.
“Hey! Gak perlu seperti itu.” Seruku.
“Kau bukan Hendro! Setidaknya bukan Hendro yang sesungguhnya. Kau membunuh Hendro dengan masker itu.” Serunya, menghentikan pembicaraan dan pergi sambil membawa tas kerjanya.
Aku ditinggal begitu saja. Terdiam di dalam lamunanku. Aku berpikir keras. “Aku bukanlah aku ketika menggunakan masker.” Kalimat itu terus terngiang di dalam kepala kecilku.
Hendro yang asli lebih ekspresif, sedangkan yang sedang lebih cenderung seperti sosok patung yang diam karena wajah yang ditutup dengan masker, menghindari kontak langsung dan takut membuat ekspresi yang mengecewakan orang sekitar.
Aku kalah dengan takut atas kejujuran yang aku tunjukkan. Kejujuran itu pahit dan menyakitkan, namun lebih menenangkan dibanding berbohong yang malah nantinya akan memunculkan kebohongan lainnya untuk menutupi kebohongan di awal.
Kebanyakan orang berusaha untuk menutupi ‘wajah’ mereka dengan masker hanya untuk menyenangkan atasan, contohnya. Dibalik masker itu, ada wajah lain yang berekspresi siap untuk menikam si atasan dari belakang.
Semua orang punya masker. Namun, keputusan tetap ada ditangan kita. Bagaimana kita bisa dengan bijak menggunakan ‘masker’ itu di waktu yang tepat dan tidak merugikan siapapun.
Dan aku mengaku kalah karena sudah mengikuti pilihan otak yang ingin melindungi diri, daripada hati yang ingin selalu jujur dengan tanpa adanya masker tersebut.
Aku mengambil handphone dari balik saku celanaku. Mengetik nama Billy di daftar nomor kontak, dan mengirimi pesan singkat kepadanya.

'Aku Hendro. Dan aku sedang marah. Baliklah ke kantor sebelum istirahat siang, dan kau akan melihat ekspresiku yang menyeramkan.'
Aku membuang masker itu di tempat sampah dan kembali menjadi Hendro yang sebelumnya.

Selasa, 19 Juli 2016

Turn Back, Love

Ini adalah kali kelima aku gagal.
Aku mondar-mandir di dalam ruangan VVIP di salah satu cafe milik sahabatku. Aku berhenti, menatap setumpuk kertas yang berada di atas meja bundar di tengah ruangan, kemudian melanjutkan kembali kegiatanku memutari meja tersebut sambil menggigiti kuku jari tanganku.
“Kau terlihat penuh semangat,” kata Anton, sahabatku yang juga pemilik cafe. “kau punya kesempatan untuk duduk dan memikirkan hal ini bersama.”
Aku berhenti, menatapnya dengan sinis.
“Ayolah, aku tidak mengejekmu, aku mengenalmu sejak SD.” katanya sambil menyeruput kopi racikkannya sendiri.
“Capucino,” katanya sambil mengangkat cangkirnya tinggi-tinggi dengan memamerkan deretan giginya yang sudah menguning akibat keseringan minum kopi dan tidak mempunyai kebiasaan menyikat gigi dengan teratur. “ini hanya buat kita merasa rileks.”
“Rileks? Apa itu yang kau rasakan?” tanyaku. “Aku malah merasakan sebaliknya, jantungku selalu berdebar kencang.”
Aku mengalihkan pandanganku ke arah luar ruangan private ini, aku mengayunkan tangan memanggil salah satu waiter yang sudah kenal baik denganku. Aku memberikan kode dengan mengangkat jari telunjukku, dan dia pun mengerti.
“Teh tarik?” tanya Anton.
“Iya, seperti naskahku, yang aku tarik ulur dari beberapa penerbit.” Aku mendesah kecewa. “Berturut-turut selama lima kali,” tegasku.
“Kau tau, berapa lama Thomas Alfa Edison berhasil menciptakan lampu?”
“9.955 kali,” jawabku singkat. “dan kau juga bertanya kepadaku pertanyaan yang sama berulang kali sebanyak itu.”
“Dan kau baru saja gagal sebanyak lima kali, kau masih punya 9.950 kali kesempatan.”
“Aku tidak berkembang, selalu gagal dengan hasil yang sama.” Ucapku lemah sambil mengambil posisi duduk di sebrangnya.
“Nah, begini dong, duduk dulu baru kita bicara.”
Waiter yang kupanggil tadi sekarang sudah berada di luar pintu, mendorong pintu masuk dengan membawa nampan yang diatasnya terdapat pesananku.
“Teh tarik pesanan mas Andhika sudah datang,” katanya dengan logat khas Jawa sambil meletakkan gelas itu tepat di hadapanku.
“Terima kasih, mas Dono.”
“Sama-sama, mas.” Balasnya kemudian pergi keluar dari ruangan.
“Jadi?” tanyanya sambil menatapku dalam-dalam. “Ada yang ingin kau bicarakan denganku sekarang anak muda?”
“Kita seumuran, dan kau hanya berbeda bulan denganku.” Kataku.
Aku meminum teh yang ada di hadapanku ini, kemudian mengubah posisi duduk menghadap ke jendela.
Aku melihat sosok anak kecil, yang aku percayai baru saja belajar berjalan, dipandu oleh sang ibu dibelakangnya. Ia terjatuh, namun sebelum sang anak menangis, si ibu sudah lebih dulu memberikan semangat dan sang anak kemudian berdiri dan mencoba berjalan dengan kedua lengan terbuka lebar seperti seekor burung yang sedang menyeimbangkan posisi terbangnya di udara.
Dan ia berhasil, sang anak berhasil berjalan melangkah kira-kira sepuluh langkah dari sang ibu menuju ke tempat sang ayah. Mereka terlihat bahagia dengan pencapaian sang anak.
“Kau lihat anak itu?” kataku. “dia berhasil.”
“Apa yang dia lakukan? Dia hanya berjalan.”
“iya, dia berjalan, dia telah meningkatkan kemampuannya.” Kataku.
Aku kemudian kembali meneguk beberapa mililiter teh tarik, berdiri, dan mengambil setumpuk kertas itu.
“Aku akan membakarnnya, dan memulai semua dari awal.”
Anton menatapku dengan senyuman menantang. “Apa yang akan kau lakukan setelah itu?”
Well, aku melihat anak kecil berhasil mencoba untuk berkembang. Ia mulai merangkak dan akhirnya bisa berjalan dengan baik walaupun masih terpatah-patah.” Kataku.
Aku tersenyum. “Aku melihat diriku sendiri ketika aku masih berusia belia sama seperti dia.”
“Kau merangkak?”
“Tentu saja, dasar bodoh.”
“Baiklah, baiklah, Andhika yang pernah merangkak. Kenapa kau ingin membakar itu? Kau ingin merangkak kembali dari awal?”
“Aku rasa,” aku terdiam sejenak. Memandang kembali ke arah anak kecil itu. “Aku melupakan bagian terpenting.” lanjutku.
“Apa itu?”
“Aku membutuhkan sesuatu yang dapat menopangku sebelum aku jatuh, dan dapat memberiku pencerahan ketika aku menutup mata.”
“Dan?”
“Aku membutuhkan cinta. Aku mencintai dunia menulis, aku sangat mencintai kegiatan ini.”
“Ya, aku ingat ketika SMP kau bersikeras untuk menjadi bagian dari acara pentas seni sehingga kau dapat menjadi penulis naskah drama kita.”
“Iya, itu salah satu caraku menunjukkan seberapa besar cintaku pada dunia ini dan sekarang aku telah kehilangan cinta. Tepat ketika aku kehilangan kepercayaan diri atas kegagalan yang kulalui.”
“Gagal adalah permulaan yang baru.” Anton berdiri, mengambil tumpukan tulisanku, dan membacanya.
“Sebenarnya, kau telah berkembang.” Katanya. “Kau ingat, dulu kau bahkan tidak dapat membuat seseorang menangis. Kemudian ketika kuliah, kau dapat membuat seseorang menangis dari bacaanmu.”
“Iya, aku berkembang, namun masih membutuhkan kedua lengan untuk menyeimbangkan posisiku, posisi sebagai penulis.” Kataku. “Tangan kanan, keluargaku. Tangan kiri, orang terdekatku.”
Aku menghabiskan sisa teh tarik yang masih menunggu giliran untuk masuk ke dalam ususku.
“Apa kau ingin membantuku membakarnya, tangan kiriku?” tanyaku kepada Anton sambil mengambil sebagian dari tumpukkan kertas yang sedang dibaca olehnya.
“Jadi, aku orang terdekatmu, begitu?” tanyanya. “kau membuatku malu.”
“Itu hadiah karena telah mengijinkanku menggunakan cafemu sebagai tempat sandaran ketika aku lelah akan kenyataan.”
“Kau sahabatku yang paling berlebihan. Dan jangan lupa, kau harus mengembalikan cintamu.”
“Baiklah.”

Kami membakarnya dibelakang cafe sambil tertawa. Menyadari bahwa kehidupan ini akan sangat hampa jika tak ada hadirnya cinta disekitar kita. Cinta bukan hanya dari pasangan, tapi bagaimana kita bisa menikmati hidup dengan cinta kita kepada semua hal. 

Rabu, 06 Juli 2016

Blind

“Love is blind, you can’t just tell someone you love them. You have to show it.”
Cinta itu buta. That’s right. Kau, siapapun kau, apapun statusmu, laki-laki atau perempuan. Kalau kau benar-benar mencintai orang tersebut, harus kau tunjukkan kepadanya.
Menunjukkan cintamu kepada seseorang bukanlah harus dengan sesuatu yang tampak. Jaga dia, lindungi dia kemanapun dia pergi, lakukan apapun yang membuatnya senang walau itu dengan menelpon dia tengah malam hanya untuk mengucapkan selamat malam. Ataupun temani dia minum teh atau kopi di teras rumah sambil mengobrol tentang masa depan. Aku mengatakan begitu, karena aku buta.
Aku benci dikasihani. Semoga kalian bisa membayangkan rasanya. Aku pikir, tanpa salah satu indra kita, tidak ada yang dapat mengganggu imajinasi, bukan?
Namaku Indro, yang pasti bukan seorang entertainer, dan aku tidak botak, setidaknya itu gambaranku mengenai sosok Indro DKI yang masih aku ingat sampai sekarang. Di media, aku hanya bisa mendengar suaranya. Gambarannya? Dia masih tidak berubah selama bertahun-tahun dibenakku.
Oke, buta, aku kehilangan penglihatanku sejak aku berada dalam kategori dibawah umur. Di umur enam belas tahun. Aku mengemudi, belum memiliki SIM, hanya modal nekat.  Keluargaku yang miskin, sekarang menjadi semakin miskin berkat usahaku mencari uang. Balap.
Aku tumbuh menjadi anak yang punya sifat berandal. Kemiskinan yang aku rasakan sejak kecil, membuatku ingin selalu memberontak. “Kenapa aku tidak punya ini?!” Berontak, lari, judi, mencuri, sampai akhirnya aku dapat membeli sebuah motor dengan uang haram. Walaupun keluargaku memberikan cinta yang sepenuhnya, aku mengakui bahwa itu semua tidak cukup.
Orang tuaku mencintaiku. “Karena mereka tidak punya uang, tidak ada barang berharga yang bisa mereka sayang-sayangi,” itu alasan yang selalu aku pikirkan.
Adik-adikku sangat bangga denganku. “Karena kami tidak punya televisi untuk ditonton, tidak ada juga tokoh superhero yang dapat mereka kagumi,” itu yang kupikirkan.
Dan aku pergi meninggalkan rumah, sekolah. Aku mencari tempat berjudi yang paling ramai. Aku bertaruh semua pada nasib, aku akan berdiri di puncak dengan uang. Itu yang anak labil pikirkan. Apa kau berani bertaruh bahwa aku mendapatkan banyak duit dengan ini. Pasanglah sebanyak-banyaknya, karena jawabannya adalah iya! Aku mendapatkan banyak duit dengan berjudi. Aku memodifikasi motorku hingga layak disebut sebagai setan di arena balap. Aku ingin tampil mendominasi di arena. Aku ingin mendominasi semua hal.
Aku ingin mendominasi Lala. Anak gadis dari bos club motor di kota ini. Aku telah mendekati ayahnya sekian lama. Dengan duitku yang banyak, aku bertaruh demi mendapatkan Lala dengan menunjukkan kendaraan kesayanganku. Aku berjanji akan menang di setiap perlombaan demi dia. Big Bos, begitu julukannya, mengakui keberanianku. Dan memberikan kesempatan kepadaku untuk mendapatkan hatinya dan hati anaknya.
“Aku berani bertaruh, tidak ada yang bisa mengalahkanku. Nasibku selalu baik.” Dengan percaya diri aku berkata demikian. Di depan semua geng club, dihadapan senior-seniorku, aku merendahkan mereka.
Banyak lomba yang aku ikuti sejak saat itu. Dengan membawa nama besar Big Bos di pundakku, aku tidak pernah mempermalukannya. Lala mulai meresponku. Dan puncaknya, pada saat aku mengajaknya makan malam di restoran.
“Bagaimana? Kau suka?” tanyaku ketika kami sedang menyantap makan malam diiringi lagu instrumental mozzart yang sengaja dimainkan atas permintaanku. Aku ingin membuat suasana menjadi seromantis mungkin.
“Suka,” jawabnya. “Aku belum pernah diajak keluar oleh siapapun. Kau yang pertama.” Ujarnya.
“Aku spesial?” tanyaku lagi.
“Mungkin,” jawabnya singkat, melanjutkan gigitannya. “kau berani. Itu saja.” Lanjutnya.
 “Tidak ada yang pernah dengan percaya diri mengatakan hal seperti itu kepada ayah. Apalagi meminta ijin untuk mengajakku keluar makan malam.” Katanya.
“Ho,” aku merespon singkat. “mungkin karena aku juga ganteng.” Kataku. Dia hanya tersenyum, tersenyum malu.
“Aku ingin mengatakan satu hal. Boleh?” tanyaku. Dia mengangguk pelan.“Aku minta ijin untuk mengatakan perasaanku malam ini. Apa boleh?”
Dia tertawa. “Aku tidak pernah membaca kisah di novel romantis, seorang cowok meminta ijin kepada perempuan yang ingin ditembaknya. Kau lucu sekali.”
 “Aku mencintaimu sejak pandangan pertama, sejak aku datang ke club dan melihatmu berdiri bersama dengan Big Bos,” kataku. Aku menatap dalam matanya. Ia memandangku, berharap aku melanjutkan kalimatku. “Maukah kamu menjadi pacarku? Menemaniku setiap aku membawa nama besar ayahmu di track?”
Tatapannya biasa saja, tapi aku sudah dapat menebak jawabannya. “Apa aku harus menjadi umbrella girl?”
“Tidak, tidak perlu. Kamu hanya perlu untuk duduk di barisan tepi, bersama dengan ayahmu, menonton setiap lombaku.”
“Kalau begitu, baiklah. Aku akan selalu menemanimu, dengan catatan, kau tidak akan memaksaku menjadi umbrella girl.” Aku menggeleng sambil tertawa pelan.
Begitu manisnya kenangan itu. Aku mengingat setiap gambarannya, lebih tepatnya, aku melihat jelas sekarang, di dalam kegelapan, suasana restoran, pemain musik, para penikmat makanan yang dating ketika lapar dan pergi ketika sudah kenyang.
Lala hadir disetiap perlombaanku, duduk dengan topi bundar besar yang melindunginya dari sinar matahari.
Ia hadir lagi hari ini, berharap cemas dengan hasil perlombaan, karena aku berada di posisi kedua sekarang. Tertinggal beberapa meter dibelakang Renald, rivalku.
3 putaran lagi dan aku akan kalah jika tidak mendahuluinya. Dan tiga putaran itulah yang tidak akan pernah aku selesaikan. Tiba-tiba dari arah belakang, seseorang menabrakku dan aku menabrak Renald. Kami berdua terpental cukup jauh. Kepalaku terdorong cukup kuat, terkena stang motor, dan pandanganku menjadi hitam semua. Aku tidak ingat lagi apapun setelah kejadian itu.
Aku sadar ketika aku sudah terbaring di rumah sakit. Kaki kiri dan tangan kananku patah. Pandanganku, gelap.
“Lala, Lala, Lala,” aku menyebut namanya terus dan terus. Suster mengatakan bahwa tidak ada siapapun yang bernama Lala di kamarku. Hanya ada seorang bapak dan ibu yang sudah berumur dengan pakaian lusuh duduk disampingku.
“Nak,” suaranya terdengar tidak asing bagiku. “Apa kamu mengenal suara ibu nak?”
“I-ibu? “ tanyaku gemetar. “Lala, dimana Lala?”
“Mereka meninggalkanmu. Kamu sudah dikeluarkan dari club.” Terdengar suara ayah disebelah kiriku.
“Kenapa gelap sekali? Apa mati lampu disini? Apa ini rumah sakit?” tanyaku. Tidak ada jawaban dari mereka berdua.
“Suster! Suster!” aku berteriak memanggil suster, kemudian datang seorang suster menenangkanku. “Kenapa gelap sekali suster?”
“Maaf, tabrakan yang terjadi kemarin sangat kuat. Matamu menjadi tidak dapat berfungsi lagi.” Aku sontak terkejut dengan kalimat itu. Aku tidak dapat melihat lagi, aku tidak tahan dengan kegelapan ini. Aku takut gelap. “Ibu! Aku takut gelap, bu.”
“Tidak apa-apa, nak.” Kata ibu berusaha menenangkan, mengelus-elus kepalaku dengan kasih sayang.
“Bagaimana tidak apa-apa?! Aku tidak bisa melihat! Dasar perempuan tua miskin!” aku membentak, kesal. “Suster, dimana Lala?”
“Dia pergi, meninggalkan surat. Saya bacakan ya.”
Kau sudah buta, tidak berguna lagi, kau tidak akan bisa balap dan membawa nama besar ayahku. Kau tidak mungkin bisa mengajakku dinner lagi seperti kemarin. Aku tidak ingin terlihat seperti seorang babysitter. Aku pergi.
Air mata turun melewati pipiku. Aku menangis karena kondisiku yang sekarang. aku menangis karena hanya kegelapanlah temanku sekarang. “Nak, bayangin wajah ibu yang dulu. kamu tidak akan kesepian. Ibu selalu bersamamu.”

Kini, yang lama kembali. Dan seseorang yang kupercaya pergi. Begitukah nasibku? Nasib baikkah? Nasib buruk? Yang pasti, ini  adalah nasib baikku. Karena mereka masih mau menerimaku apa adanya.

A Simple 'Happy Birthday'

Pada umumnya, orang-orang berharap mendapatkan kado di hari ulang tahunnya, itu wajar, terutama bagi anak kecil. Namun, tidak sedikit orang yang tidak pernah sama sekali merasakan yang namanya diberikan sebuah kado pada saat ulang tahun. Dan aku salah satu orang berada dalam daftar orang-orang yang tidak pernah menerima hadiah ulang tahun, dan aku mengakuinya dengan sangat terpaksa.
 Sebentar lagi usiaku masuk ke tahun yang manis. Orang menyebutnya Sweet Seventeen makanya aku menyebutnya tahun yang manis. Terhitung sudah enam belas tahun aku tidak pernah menerima satupun bingkisan berupa kotak yang isinya mungkin bisa berupa jam, topi, ataupun parfum. Dan setiap tahun aku menunggu 'itu', itu yang sering kusebut dengan harapanku. 
Harapan tidak akan pernah menjadi kenyataan jika hanya satu pihak yang tahu, sehingga tidak ada pihak yang akan membantu mengabulkannya. Aku seorang introvert. Susah dalam hal bersosialisasi dengan orang lain. Tidak heran jika tidak ada yang memberikan ucapan kepadaku, apalagi kado. Jadi di tahun ini, aku tidak ingin berharap lagi, walaupun bisa aku pastikan satu hari sebelum hari-H, aku akan terus menunggu sampai tengah malam. Menunggu siapapun yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku. Karena suatu kemungkinan tidak akan berada di angka nol.

Hari H.
Pagi ini, aku merasakan pusing yang luar biasa hebatnya. Bukan karena aku begadang semalaman demi menunggu ucapan selamat ulang tahun. Dan ini bukan hal yang mengganggu lagi,  karena aku sudah merasakan hal yang sama sejak aku masih berada di lingkungan anak sekolah bercelana merah.
Ayah sempat bercerita bahwa aku dulu pernah mengalami kecelakaan. Mungkin itulah akar masalahnya, tetapi aku tidak mengingat sedikit pun mengenai kejadian itu dan akupun tidak begitu penasaran dengan kejadian itu. Setiap dua minggu sekali, biasanya rasa pusing ini akan muncul menghantui kepalaku untuk beberapa saat.
Aku memasukkan beberapa obat resep dokter ke dalam mulut lalu menenggak air dalam jumlah yang cukup banyak karena aku ingin cepat-cepat menghilangkan rasa pahitnya dari obat ini.  Beberapa saat kemudian, rasa sakit itu hilang, aku dapat duduk dengan tenang. Di tengah keheningan itu, aku menyadari bahwa aku belum mendapat satu ucapan dari siapapun.
Kalau suatu saat, aku diberi pertanyaan, mana yang akan aku pilih antara kado dan ucapan atau memori pasca kecelakaan. Aku akan memilih menjawab kado dan ucapan selamat ulang tahun. Masa lalu biarlah berlalu. Itulah prinsipku, itulah sebabnya aku tidak ingin mengakui bahwa aku belum pernah mendapatkan kado selama enam belas tahun.
Aku bergegas menuju  kamar mandi ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul 6. Dalam lima menit, aku sudah dibalut handuk dalam keadaan kering. Tidak perlu lama-lama berada di dalam WC.
Selesai berpakaian, aku segera turun menuju ke arah dapur, mencari roti yang aku beli semalam di dalam lemari serta tidak ketinggalan keju dan susu kental manis.
Aku tinggal sendirian dikota ini. Ayah dan ibu berada di suatu desa karena sedang ada proyek yang cukup besar yang dikelola ayahku bersama dengan paman. Aku tetap selalu berhubungan melalui telepon dan mengabarkan berita gembira kepada mereka bahwa aku baik-baik saja disini.
Aku mengeluarkan sepedaku dari garasi. Perjalanan dari rumah ke sekolah memakan waktu kira-kira 10 menit jika ditempuh dengan mengengkol sepeda buntut. Tidak begitu jauh jika mengendarai sepeda motor.
Setiap pagi aku melewati rumah makan padang kecil yang posisinya berada ditengah-tengah antara rumahku dan sekolah. “Bungkus satu dong, seperti biasa,” seruku ketika sampai di depan dan menyandarkan sepedaku ke dinding rumah makan itu.
“Extra tempe untukmu hari ini.” Kata sang pemilik kedai, bu Ijah namanya.
“Wuih, terima kasih, bu.” Kataku. Aku mengerling, mencari sosok wanita yang selalu ku temui setiap pagi. “Nina kemana? Tumben gak bantuin ibu pagi ini?” tanyaku. Nina adalah teman dekatku saat ini. Semenjak aku bersekolah di sekolahku sekarang, aku selalu mampir di warungnya untuk membeli bekal untuk aku makan saat jam istirahat di sekolah. Ia adalah anak tunggal dari pasangan bu Ijah dan pak Handoko. Namun pak Handoko telah berpulang ke surga ketika Nina masih berusia sepuluh tahun.
“Katanya dia piket hari ini. Jadinya dia duluan ke sekolah.” Kata bu Nina sembari tangan-tangannya sedang asik memasukkan beberapa lauk menjadi satu bungkus.
“Oh,” aku merespon datar. Biasanya aku akan berjalan kaki bersama dengan Nina menuju sekolah. Tapi setiap hari Selasa, dia selalu berangkat lebih dulu untuk mengerjakan tugas piketnya.
“Ini, udah,” kata bu Ijah, menyodorkan satu bungkus nasi dan satu kotak bekal kepadaku. “Ini sekalian nitip buat Nina, makanannya ketinggalan. Bawanya hati-hati ya, nanti hancur isinya.
“Oke bu. Siap!” seruku dengan tegas. “Ada lagi?” tanyaku.
“Hati-hati di jalan, nak.” Pesan bu Ijah.
Aku senang sekali mengenal bu Ijah. Aku sudah menganggap dia sebagai ibu angkatku sendiri. Dia selalu memperhatikanku. Tak jarang dia mengajakku makan malam di rumahnya bersama dengan Nina. Keluarga kecil baruku kala ditinggal kedua orang tuaku ke kampung.
Aku mengangguk pelan sambil tersenyum. Kembali mengengkol sepedaku menuju ke gedung besar tempatku menuntut ilmu.
Sesampainya aku di sekolah, aku mendorong sepedaku dari gerbang masuk sampai ke pelataran parkiran khusus sepeda. Bertemu dengan beberapa “teman” saling melempar sapa dan senyum setengah hati dan tidak ada satupun yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku.
Aku menghela napas panjang. Tanpa kusadari, Nina sedari tadi mengekoriku hingga tempat parkir.
“Panjang amat bos napasnya?” tanyanya.
“E-eh. Sejak kapan disini?”
“Sejak kamu masuk gerbang, aku baru saja buang sampah di depan.” Ujarnya sambil menunjuk ke arah lokasi TPS di sebrang sekolah.
“Oh,”
“Mana bekalku?” tanyanya. Pertanyaan itu mengingatkanku tentang titipan bu Ijah yang sedang berada di dalam tasku.
“Ada, sebentar,” kataku. “Aku parkirin sepedaku dulu.” Setelah selesai memarkirkan sepeda, tanpa kusadari, aku baru saja kehilangan sosok Nina yang seharusnya berdiri di belakangku.
TENG TENG, TENG TENG
Bunyi lonceng sekolah yang menandakan bahwa jam sudah menujukkan pukul 7 bergema di sekitar kawasan sekolah. Aku mengambil langkah panjang dan cepat agar tidak telat sampai di kelas.
“Ah, bekalnya Nina di tasku.” Pikirku ketika sampai di depan kelas. “Nanti akan kuantar ke kelasnya.”
Aku melewati tiga jam pelajaran dengan mata tak bertenaga. Sangat ngantuk. Namun mataku kembali segar ketika mengingat kotak bekal milik Nina.
Segera aku berlari keluar kelas sambil menenteng bekal Nina, mencari-cari sosoknya di kelas namun tidak ketemu. Ke kantin, kantor guru, toilet, perpustakaan,di semua tempat yang bisa aku pikirkan.
Aku berhenti sejenak di taman, berharap bahwa ia melihatku. Aku membuka bungkusan nasi yang kubeli tadi di warung bu Ijah. Dengan lahap aku memakan semua lauknya. Memang enak masakkan bu Ijah.
“Enak?” terdengar suara perempuan dari arah belakangku.
“Nina!” seruku hingga tersedak. “Dari tadi aku mencarimu. Nih, bekalmu.” Aku menyodorkan kotak bekalnya.
“Aku duduk disini ya?” tanyanya sambil melangkah mengambil tempat di sampingku.
“Tentu.” Jawabku.
Dia kemudian membuka kotak bekalnya perlahan. Dan yang kulihat bukanlah daun ubi atau pun ayam rendang. Melainkan sebuah kue ulang tahun kecil yang sudah cukup hancur karena aku berlari-lari mencari sosoknya tadi.
Nina mengeluarkan seseuatu dari saku roknya, sepasang lilin dengan angka 1 dan 7 serta korek api.
“Selamat ulang tahun Dhika,” Nina mengangkat kotak bekal yang berisikan kue ke depan wajahku. “Aku mikir semalaman buat surprise ini. Untungnya kamu selalu beli nasi di warungku.”
Aku diam terpaku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bagiku, surprise seperti ini adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Kenangan ini akan terus membekas. Kalau suatu saat nanti, aku diberi sebuah pertanyaan, mana yang akan aku pilih antara kado dan ucapan atau memori tentang ini. Aku akan memilih menjawab kenangan dari Nina.

Dan air mata mengucur pelan menuruni pipiku.