Ini adalah
kali kelima aku gagal.
Aku
mondar-mandir di dalam ruangan VVIP di salah satu cafe milik sahabatku. Aku
berhenti, menatap setumpuk kertas yang berada di atas meja bundar di tengah
ruangan, kemudian melanjutkan kembali kegiatanku memutari meja tersebut sambil
menggigiti kuku jari tanganku.
“Kau terlihat penuh
semangat,” kata Anton, sahabatku yang juga pemilik cafe. “kau punya kesempatan
untuk duduk dan memikirkan hal ini bersama.”
Aku berhenti,
menatapnya dengan sinis.
“Ayolah, aku
tidak mengejekmu, aku mengenalmu sejak SD.” katanya sambil menyeruput kopi
racikkannya sendiri.
“Capucino,”
katanya sambil mengangkat cangkirnya tinggi-tinggi dengan memamerkan deretan
giginya yang sudah menguning akibat keseringan minum kopi dan tidak mempunyai
kebiasaan menyikat gigi dengan teratur. “ini hanya buat kita merasa rileks.”
“Rileks? Apa itu
yang kau rasakan?” tanyaku. “Aku malah merasakan sebaliknya, jantungku selalu
berdebar kencang.”
Aku
mengalihkan pandanganku ke arah luar ruangan private ini, aku mengayunkan tangan memanggil salah satu waiter yang sudah kenal baik denganku. Aku
memberikan kode dengan mengangkat jari telunjukku, dan dia pun mengerti.
“Teh tarik?”
tanya Anton.
“Iya, seperti
naskahku, yang aku tarik ulur dari beberapa penerbit.” Aku mendesah kecewa. “Berturut-turut
selama lima kali,” tegasku.
“Kau tau,
berapa lama Thomas Alfa Edison berhasil menciptakan lampu?”
“9.955 kali,”
jawabku singkat. “dan kau juga bertanya kepadaku pertanyaan yang sama berulang
kali sebanyak itu.”
“Dan kau baru
saja gagal sebanyak lima kali, kau masih punya 9.950 kali kesempatan.”
“Aku tidak
berkembang, selalu gagal dengan hasil yang sama.” Ucapku lemah sambil mengambil
posisi duduk di sebrangnya.
“Nah, begini
dong, duduk dulu baru kita bicara.”
Waiter yang kupanggil tadi sekarang
sudah berada di luar pintu, mendorong pintu masuk dengan membawa nampan yang
diatasnya terdapat pesananku.
“Teh tarik
pesanan mas Andhika sudah datang,” katanya dengan logat khas Jawa sambil
meletakkan gelas itu tepat di hadapanku.
“Terima kasih,
mas Dono.”
“Sama-sama,
mas.” Balasnya kemudian pergi keluar dari ruangan.
“Jadi?”
tanyanya sambil menatapku dalam-dalam. “Ada yang ingin kau bicarakan denganku
sekarang anak muda?”
“Kita
seumuran, dan kau hanya berbeda bulan denganku.” Kataku.
Aku meminum
teh yang ada di hadapanku ini, kemudian mengubah posisi duduk menghadap ke
jendela.
Aku melihat
sosok anak kecil, yang aku percayai baru saja belajar berjalan, dipandu oleh
sang ibu dibelakangnya. Ia terjatuh, namun sebelum sang anak menangis, si ibu
sudah lebih dulu memberikan semangat dan sang anak kemudian berdiri dan mencoba
berjalan dengan kedua lengan terbuka lebar seperti seekor burung yang sedang
menyeimbangkan posisi terbangnya di udara.
Dan ia
berhasil, sang anak berhasil berjalan melangkah kira-kira sepuluh
langkah dari sang ibu menuju ke tempat sang ayah. Mereka terlihat bahagia dengan pencapaian sang anak.
“Kau lihat
anak itu?” kataku. “dia berhasil.”
“Apa yang dia
lakukan? Dia hanya berjalan.”
“iya, dia
berjalan, dia telah meningkatkan kemampuannya.” Kataku.
Aku kemudian
kembali meneguk beberapa mililiter teh tarik, berdiri, dan mengambil setumpuk
kertas itu.
“Aku akan
membakarnnya, dan memulai semua dari awal.”
Anton
menatapku dengan senyuman menantang. “Apa yang akan kau lakukan setelah itu?”
“Well, aku melihat anak kecil berhasil
mencoba untuk berkembang. Ia mulai merangkak dan akhirnya bisa berjalan dengan
baik walaupun masih terpatah-patah.” Kataku.
Aku tersenyum.
“Aku melihat diriku sendiri ketika aku masih berusia belia sama seperti dia.”
“Kau
merangkak?”
“Tentu saja,
dasar bodoh.”
“Baiklah,
baiklah, Andhika yang pernah merangkak. Kenapa kau ingin membakar itu? Kau ingin
merangkak kembali dari awal?”
“Aku rasa,”
aku terdiam sejenak. Memandang kembali ke arah anak kecil itu. “Aku melupakan
bagian terpenting.” lanjutku.
“Apa itu?”
“Aku membutuhkan
sesuatu yang dapat menopangku sebelum aku jatuh, dan dapat memberiku pencerahan
ketika aku menutup mata.”
“Dan?”
“Aku
membutuhkan cinta. Aku mencintai dunia menulis, aku sangat mencintai kegiatan ini.”
“Ya, aku ingat
ketika SMP kau bersikeras untuk menjadi bagian dari acara pentas seni sehingga
kau dapat menjadi penulis naskah drama kita.”
“Iya, itu salah satu caraku menunjukkan seberapa besar cintaku pada dunia ini dan sekarang aku
telah kehilangan cinta. Tepat ketika aku kehilangan kepercayaan diri atas kegagalan yang kulalui.”
“Gagal adalah
permulaan yang baru.” Anton berdiri, mengambil tumpukan tulisanku, dan
membacanya.
“Sebenarnya,
kau telah berkembang.” Katanya. “Kau ingat, dulu kau bahkan tidak dapat membuat
seseorang menangis. Kemudian ketika kuliah, kau dapat membuat seseorang
menangis dari bacaanmu.”
“Iya, aku
berkembang, namun masih membutuhkan kedua lengan untuk menyeimbangkan posisiku,
posisi sebagai penulis.” Kataku. “Tangan kanan, keluargaku. Tangan kiri, orang
terdekatku.”
Aku
menghabiskan sisa teh tarik yang masih menunggu giliran untuk masuk ke dalam
ususku.
“Apa kau ingin
membantuku membakarnya, tangan kiriku?” tanyaku kepada Anton sambil mengambil
sebagian dari tumpukkan kertas yang sedang dibaca olehnya.
“Jadi, aku
orang terdekatmu, begitu?” tanyanya. “kau membuatku malu.”
“Itu hadiah
karena telah mengijinkanku menggunakan cafemu sebagai tempat sandaran ketika
aku lelah akan kenyataan.”
“Kau sahabatku
yang paling berlebihan. Dan jangan lupa, kau harus mengembalikan cintamu.”
“Baiklah.”
Kami membakarnya
dibelakang cafe sambil tertawa. Menyadari bahwa kehidupan ini akan sangat hampa
jika tak ada hadirnya cinta disekitar kita. Cinta bukan hanya dari pasangan,
tapi bagaimana kita bisa menikmati hidup dengan cinta kita kepada semua hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar