Powered By Blogger

Selasa, 19 Juli 2016

Turn Back, Love

Ini adalah kali kelima aku gagal.
Aku mondar-mandir di dalam ruangan VVIP di salah satu cafe milik sahabatku. Aku berhenti, menatap setumpuk kertas yang berada di atas meja bundar di tengah ruangan, kemudian melanjutkan kembali kegiatanku memutari meja tersebut sambil menggigiti kuku jari tanganku.
“Kau terlihat penuh semangat,” kata Anton, sahabatku yang juga pemilik cafe. “kau punya kesempatan untuk duduk dan memikirkan hal ini bersama.”
Aku berhenti, menatapnya dengan sinis.
“Ayolah, aku tidak mengejekmu, aku mengenalmu sejak SD.” katanya sambil menyeruput kopi racikkannya sendiri.
“Capucino,” katanya sambil mengangkat cangkirnya tinggi-tinggi dengan memamerkan deretan giginya yang sudah menguning akibat keseringan minum kopi dan tidak mempunyai kebiasaan menyikat gigi dengan teratur. “ini hanya buat kita merasa rileks.”
“Rileks? Apa itu yang kau rasakan?” tanyaku. “Aku malah merasakan sebaliknya, jantungku selalu berdebar kencang.”
Aku mengalihkan pandanganku ke arah luar ruangan private ini, aku mengayunkan tangan memanggil salah satu waiter yang sudah kenal baik denganku. Aku memberikan kode dengan mengangkat jari telunjukku, dan dia pun mengerti.
“Teh tarik?” tanya Anton.
“Iya, seperti naskahku, yang aku tarik ulur dari beberapa penerbit.” Aku mendesah kecewa. “Berturut-turut selama lima kali,” tegasku.
“Kau tau, berapa lama Thomas Alfa Edison berhasil menciptakan lampu?”
“9.955 kali,” jawabku singkat. “dan kau juga bertanya kepadaku pertanyaan yang sama berulang kali sebanyak itu.”
“Dan kau baru saja gagal sebanyak lima kali, kau masih punya 9.950 kali kesempatan.”
“Aku tidak berkembang, selalu gagal dengan hasil yang sama.” Ucapku lemah sambil mengambil posisi duduk di sebrangnya.
“Nah, begini dong, duduk dulu baru kita bicara.”
Waiter yang kupanggil tadi sekarang sudah berada di luar pintu, mendorong pintu masuk dengan membawa nampan yang diatasnya terdapat pesananku.
“Teh tarik pesanan mas Andhika sudah datang,” katanya dengan logat khas Jawa sambil meletakkan gelas itu tepat di hadapanku.
“Terima kasih, mas Dono.”
“Sama-sama, mas.” Balasnya kemudian pergi keluar dari ruangan.
“Jadi?” tanyanya sambil menatapku dalam-dalam. “Ada yang ingin kau bicarakan denganku sekarang anak muda?”
“Kita seumuran, dan kau hanya berbeda bulan denganku.” Kataku.
Aku meminum teh yang ada di hadapanku ini, kemudian mengubah posisi duduk menghadap ke jendela.
Aku melihat sosok anak kecil, yang aku percayai baru saja belajar berjalan, dipandu oleh sang ibu dibelakangnya. Ia terjatuh, namun sebelum sang anak menangis, si ibu sudah lebih dulu memberikan semangat dan sang anak kemudian berdiri dan mencoba berjalan dengan kedua lengan terbuka lebar seperti seekor burung yang sedang menyeimbangkan posisi terbangnya di udara.
Dan ia berhasil, sang anak berhasil berjalan melangkah kira-kira sepuluh langkah dari sang ibu menuju ke tempat sang ayah. Mereka terlihat bahagia dengan pencapaian sang anak.
“Kau lihat anak itu?” kataku. “dia berhasil.”
“Apa yang dia lakukan? Dia hanya berjalan.”
“iya, dia berjalan, dia telah meningkatkan kemampuannya.” Kataku.
Aku kemudian kembali meneguk beberapa mililiter teh tarik, berdiri, dan mengambil setumpuk kertas itu.
“Aku akan membakarnnya, dan memulai semua dari awal.”
Anton menatapku dengan senyuman menantang. “Apa yang akan kau lakukan setelah itu?”
Well, aku melihat anak kecil berhasil mencoba untuk berkembang. Ia mulai merangkak dan akhirnya bisa berjalan dengan baik walaupun masih terpatah-patah.” Kataku.
Aku tersenyum. “Aku melihat diriku sendiri ketika aku masih berusia belia sama seperti dia.”
“Kau merangkak?”
“Tentu saja, dasar bodoh.”
“Baiklah, baiklah, Andhika yang pernah merangkak. Kenapa kau ingin membakar itu? Kau ingin merangkak kembali dari awal?”
“Aku rasa,” aku terdiam sejenak. Memandang kembali ke arah anak kecil itu. “Aku melupakan bagian terpenting.” lanjutku.
“Apa itu?”
“Aku membutuhkan sesuatu yang dapat menopangku sebelum aku jatuh, dan dapat memberiku pencerahan ketika aku menutup mata.”
“Dan?”
“Aku membutuhkan cinta. Aku mencintai dunia menulis, aku sangat mencintai kegiatan ini.”
“Ya, aku ingat ketika SMP kau bersikeras untuk menjadi bagian dari acara pentas seni sehingga kau dapat menjadi penulis naskah drama kita.”
“Iya, itu salah satu caraku menunjukkan seberapa besar cintaku pada dunia ini dan sekarang aku telah kehilangan cinta. Tepat ketika aku kehilangan kepercayaan diri atas kegagalan yang kulalui.”
“Gagal adalah permulaan yang baru.” Anton berdiri, mengambil tumpukan tulisanku, dan membacanya.
“Sebenarnya, kau telah berkembang.” Katanya. “Kau ingat, dulu kau bahkan tidak dapat membuat seseorang menangis. Kemudian ketika kuliah, kau dapat membuat seseorang menangis dari bacaanmu.”
“Iya, aku berkembang, namun masih membutuhkan kedua lengan untuk menyeimbangkan posisiku, posisi sebagai penulis.” Kataku. “Tangan kanan, keluargaku. Tangan kiri, orang terdekatku.”
Aku menghabiskan sisa teh tarik yang masih menunggu giliran untuk masuk ke dalam ususku.
“Apa kau ingin membantuku membakarnya, tangan kiriku?” tanyaku kepada Anton sambil mengambil sebagian dari tumpukkan kertas yang sedang dibaca olehnya.
“Jadi, aku orang terdekatmu, begitu?” tanyanya. “kau membuatku malu.”
“Itu hadiah karena telah mengijinkanku menggunakan cafemu sebagai tempat sandaran ketika aku lelah akan kenyataan.”
“Kau sahabatku yang paling berlebihan. Dan jangan lupa, kau harus mengembalikan cintamu.”
“Baiklah.”

Kami membakarnya dibelakang cafe sambil tertawa. Menyadari bahwa kehidupan ini akan sangat hampa jika tak ada hadirnya cinta disekitar kita. Cinta bukan hanya dari pasangan, tapi bagaimana kita bisa menikmati hidup dengan cinta kita kepada semua hal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar