Powered By Blogger

Rabu, 06 Juli 2016

Blind

“Love is blind, you can’t just tell someone you love them. You have to show it.”
Cinta itu buta. That’s right. Kau, siapapun kau, apapun statusmu, laki-laki atau perempuan. Kalau kau benar-benar mencintai orang tersebut, harus kau tunjukkan kepadanya.
Menunjukkan cintamu kepada seseorang bukanlah harus dengan sesuatu yang tampak. Jaga dia, lindungi dia kemanapun dia pergi, lakukan apapun yang membuatnya senang walau itu dengan menelpon dia tengah malam hanya untuk mengucapkan selamat malam. Ataupun temani dia minum teh atau kopi di teras rumah sambil mengobrol tentang masa depan. Aku mengatakan begitu, karena aku buta.
Aku benci dikasihani. Semoga kalian bisa membayangkan rasanya. Aku pikir, tanpa salah satu indra kita, tidak ada yang dapat mengganggu imajinasi, bukan?
Namaku Indro, yang pasti bukan seorang entertainer, dan aku tidak botak, setidaknya itu gambaranku mengenai sosok Indro DKI yang masih aku ingat sampai sekarang. Di media, aku hanya bisa mendengar suaranya. Gambarannya? Dia masih tidak berubah selama bertahun-tahun dibenakku.
Oke, buta, aku kehilangan penglihatanku sejak aku berada dalam kategori dibawah umur. Di umur enam belas tahun. Aku mengemudi, belum memiliki SIM, hanya modal nekat.  Keluargaku yang miskin, sekarang menjadi semakin miskin berkat usahaku mencari uang. Balap.
Aku tumbuh menjadi anak yang punya sifat berandal. Kemiskinan yang aku rasakan sejak kecil, membuatku ingin selalu memberontak. “Kenapa aku tidak punya ini?!” Berontak, lari, judi, mencuri, sampai akhirnya aku dapat membeli sebuah motor dengan uang haram. Walaupun keluargaku memberikan cinta yang sepenuhnya, aku mengakui bahwa itu semua tidak cukup.
Orang tuaku mencintaiku. “Karena mereka tidak punya uang, tidak ada barang berharga yang bisa mereka sayang-sayangi,” itu alasan yang selalu aku pikirkan.
Adik-adikku sangat bangga denganku. “Karena kami tidak punya televisi untuk ditonton, tidak ada juga tokoh superhero yang dapat mereka kagumi,” itu yang kupikirkan.
Dan aku pergi meninggalkan rumah, sekolah. Aku mencari tempat berjudi yang paling ramai. Aku bertaruh semua pada nasib, aku akan berdiri di puncak dengan uang. Itu yang anak labil pikirkan. Apa kau berani bertaruh bahwa aku mendapatkan banyak duit dengan ini. Pasanglah sebanyak-banyaknya, karena jawabannya adalah iya! Aku mendapatkan banyak duit dengan berjudi. Aku memodifikasi motorku hingga layak disebut sebagai setan di arena balap. Aku ingin tampil mendominasi di arena. Aku ingin mendominasi semua hal.
Aku ingin mendominasi Lala. Anak gadis dari bos club motor di kota ini. Aku telah mendekati ayahnya sekian lama. Dengan duitku yang banyak, aku bertaruh demi mendapatkan Lala dengan menunjukkan kendaraan kesayanganku. Aku berjanji akan menang di setiap perlombaan demi dia. Big Bos, begitu julukannya, mengakui keberanianku. Dan memberikan kesempatan kepadaku untuk mendapatkan hatinya dan hati anaknya.
“Aku berani bertaruh, tidak ada yang bisa mengalahkanku. Nasibku selalu baik.” Dengan percaya diri aku berkata demikian. Di depan semua geng club, dihadapan senior-seniorku, aku merendahkan mereka.
Banyak lomba yang aku ikuti sejak saat itu. Dengan membawa nama besar Big Bos di pundakku, aku tidak pernah mempermalukannya. Lala mulai meresponku. Dan puncaknya, pada saat aku mengajaknya makan malam di restoran.
“Bagaimana? Kau suka?” tanyaku ketika kami sedang menyantap makan malam diiringi lagu instrumental mozzart yang sengaja dimainkan atas permintaanku. Aku ingin membuat suasana menjadi seromantis mungkin.
“Suka,” jawabnya. “Aku belum pernah diajak keluar oleh siapapun. Kau yang pertama.” Ujarnya.
“Aku spesial?” tanyaku lagi.
“Mungkin,” jawabnya singkat, melanjutkan gigitannya. “kau berani. Itu saja.” Lanjutnya.
 “Tidak ada yang pernah dengan percaya diri mengatakan hal seperti itu kepada ayah. Apalagi meminta ijin untuk mengajakku keluar makan malam.” Katanya.
“Ho,” aku merespon singkat. “mungkin karena aku juga ganteng.” Kataku. Dia hanya tersenyum, tersenyum malu.
“Aku ingin mengatakan satu hal. Boleh?” tanyaku. Dia mengangguk pelan.“Aku minta ijin untuk mengatakan perasaanku malam ini. Apa boleh?”
Dia tertawa. “Aku tidak pernah membaca kisah di novel romantis, seorang cowok meminta ijin kepada perempuan yang ingin ditembaknya. Kau lucu sekali.”
 “Aku mencintaimu sejak pandangan pertama, sejak aku datang ke club dan melihatmu berdiri bersama dengan Big Bos,” kataku. Aku menatap dalam matanya. Ia memandangku, berharap aku melanjutkan kalimatku. “Maukah kamu menjadi pacarku? Menemaniku setiap aku membawa nama besar ayahmu di track?”
Tatapannya biasa saja, tapi aku sudah dapat menebak jawabannya. “Apa aku harus menjadi umbrella girl?”
“Tidak, tidak perlu. Kamu hanya perlu untuk duduk di barisan tepi, bersama dengan ayahmu, menonton setiap lombaku.”
“Kalau begitu, baiklah. Aku akan selalu menemanimu, dengan catatan, kau tidak akan memaksaku menjadi umbrella girl.” Aku menggeleng sambil tertawa pelan.
Begitu manisnya kenangan itu. Aku mengingat setiap gambarannya, lebih tepatnya, aku melihat jelas sekarang, di dalam kegelapan, suasana restoran, pemain musik, para penikmat makanan yang dating ketika lapar dan pergi ketika sudah kenyang.
Lala hadir disetiap perlombaanku, duduk dengan topi bundar besar yang melindunginya dari sinar matahari.
Ia hadir lagi hari ini, berharap cemas dengan hasil perlombaan, karena aku berada di posisi kedua sekarang. Tertinggal beberapa meter dibelakang Renald, rivalku.
3 putaran lagi dan aku akan kalah jika tidak mendahuluinya. Dan tiga putaran itulah yang tidak akan pernah aku selesaikan. Tiba-tiba dari arah belakang, seseorang menabrakku dan aku menabrak Renald. Kami berdua terpental cukup jauh. Kepalaku terdorong cukup kuat, terkena stang motor, dan pandanganku menjadi hitam semua. Aku tidak ingat lagi apapun setelah kejadian itu.
Aku sadar ketika aku sudah terbaring di rumah sakit. Kaki kiri dan tangan kananku patah. Pandanganku, gelap.
“Lala, Lala, Lala,” aku menyebut namanya terus dan terus. Suster mengatakan bahwa tidak ada siapapun yang bernama Lala di kamarku. Hanya ada seorang bapak dan ibu yang sudah berumur dengan pakaian lusuh duduk disampingku.
“Nak,” suaranya terdengar tidak asing bagiku. “Apa kamu mengenal suara ibu nak?”
“I-ibu? “ tanyaku gemetar. “Lala, dimana Lala?”
“Mereka meninggalkanmu. Kamu sudah dikeluarkan dari club.” Terdengar suara ayah disebelah kiriku.
“Kenapa gelap sekali? Apa mati lampu disini? Apa ini rumah sakit?” tanyaku. Tidak ada jawaban dari mereka berdua.
“Suster! Suster!” aku berteriak memanggil suster, kemudian datang seorang suster menenangkanku. “Kenapa gelap sekali suster?”
“Maaf, tabrakan yang terjadi kemarin sangat kuat. Matamu menjadi tidak dapat berfungsi lagi.” Aku sontak terkejut dengan kalimat itu. Aku tidak dapat melihat lagi, aku tidak tahan dengan kegelapan ini. Aku takut gelap. “Ibu! Aku takut gelap, bu.”
“Tidak apa-apa, nak.” Kata ibu berusaha menenangkan, mengelus-elus kepalaku dengan kasih sayang.
“Bagaimana tidak apa-apa?! Aku tidak bisa melihat! Dasar perempuan tua miskin!” aku membentak, kesal. “Suster, dimana Lala?”
“Dia pergi, meninggalkan surat. Saya bacakan ya.”
Kau sudah buta, tidak berguna lagi, kau tidak akan bisa balap dan membawa nama besar ayahku. Kau tidak mungkin bisa mengajakku dinner lagi seperti kemarin. Aku tidak ingin terlihat seperti seorang babysitter. Aku pergi.
Air mata turun melewati pipiku. Aku menangis karena kondisiku yang sekarang. aku menangis karena hanya kegelapanlah temanku sekarang. “Nak, bayangin wajah ibu yang dulu. kamu tidak akan kesepian. Ibu selalu bersamamu.”

Kini, yang lama kembali. Dan seseorang yang kupercaya pergi. Begitukah nasibku? Nasib baikkah? Nasib buruk? Yang pasti, ini  adalah nasib baikku. Karena mereka masih mau menerimaku apa adanya.

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. “Love is blind, you can’t just tell someone you love them. You have to show it.

    Where's the logic? If love is blind, no matter what i do, my couple can't see it because love is blind? Is that how you interpret the meaning of love is blind? That's so wrong to write it like “Love is blind, you can’t just tell someone you love them. You have to show it."
    In MY humble opinion, love is blind basically means you love your girls/boys despite their looks and wealth. So you can't quote it like that. Think about it. Correct me if i'm wrong tho😊

    BalasHapus
  3. Ceritanya menarik dengan alur yang lancar. Nice story ^_^

    BalasHapus