Powered By Blogger

Kamis, 22 Januari 2015

Easy Come, Easy Go

Ketika internet, yaitu jaringan komputer yang pertama kali dikembangkan pada tahun 1969 di Amerika Serikat yang dibentuk oleh departemen pertahanannya ini telah masuk ke dalam kehidupan manusia, banyak  hal-hal yang terjadi sejak saat itu hingga sekarang. Positif maupun negatif—tapi disini kita membahas positifnya—salah satunya adalah memudahkan kita dalam berkomunikasi.

Komunikasi yang mudah antar manusia (baca: jomblo) membuat pabrik coklat mendapatkan keuntungan yang melimpah di hari kasih sayang, valentine. Kurasa facebook dan salah satu pabrik coklat terbesar  di dunia telah mengadakan kerja sama diam-diam. Iya, facebook merupakan jejaring sosial yang terbesar yang dibentuk pada tahun 2004 dan diikuti oleh twitter dan adik adiknya.

Banyak pasangan baru yang muncul tiba-tiba tanpa ada event perkenalan di depan umum. Eh, tau-taunya gosip yang tersebar besok pagi adalah si anu dan si anu telah berpacaran. Orang yang mengenalnya, berbondong-bondong ke lokasi kejadian, eh, lokasi pacaran untuk melihat kebenaran. Dan salah satunya adalah aku, meminta PJ (Pajak Jadian). Dan besoknya aku di traktir nasi bungkus yang dijual di kantin. Lumayan menghemat pengeluaran untuk satu hari.

Dan semakin lama semakin banyak pengguna facebook yang menjadikan sosial media itu sebagai tempat cari jodoh, loh, mereka hebat bisa tau jodohnya akan hadir di facebook. Dan tanpa rasa malu, saya mengakui, salah satu pengguna facebook yang menjadikan sosial media sebagai tempat mencari jodoh adalah aku, ini namanya mengikuti perkembangan jaman. Menuju Indonesia bebas jomblo.

Jejaring sosial inilah yang memperkenalkanku kepada Rani. Seorang gadis dari kota sebelah yang mengijnkanku untuk berkenalan lebih jauh dengannya. Di facebook, kita bisa melihat foto-foto yang di post oleh si pemilik akun ataupun di tag oleh teman facebook-nya. Dari situlah aku memperoleh informasi  visual bagaimana gambaran wajah Rani.

Rani memiliki wajah yang manis, alis yang tebal, hidung yang mancung, mata yang berwarna kecoklatan dan juga rambut hitam yang panjang. Dari foto, ia tampak sangat ceria, dapat kutebak bahwa dia orang yang bersahabat dan tidak memiliih-milih teman.

Aku memberanikan diri untuk memulai chatting, “Hi,” Sapaku. Namun tidak ada balasan dari akun facebook-nya. 

Beberapa hari kemudian, aku menyempatkan diri untuk pergi lagi ke warnet,  sekedar mengecek apakah aku mendapat balasan atau tidak dari Rani. Dan ternyata ada! Baru dibalas beberapa menit yang lalu.

“Hi juga!” Begitu balasannya. Tertulis pukul 15:42, baru 8 menit yang lalu dia membalas sapaan pertamaku.

“Umm, nama kamu siapa?” Aku membalas lagi. Namun setelah kupikir-pikir, itu adalah sebuah pertanyaan yang bodoh. Jelas-jelas namanya terpampang di facebooknya. Rani . P, yang membuat penasaran hanyalah nama belakangnya.

“Rani Purnamasari, kak,” Wah, nama yang indah pikirku. Tapi tunggu, sebuah panggilan ‘kak’?

“Umm, 'kak'? Maksudnya?”

“Kita satu sekolahan kak, masa lupa pas pertama kali kakak suruh aku dulu minta tanda tangan sama seluruh anggota pengurus OSIS sekolah? Yang dulu gaya rambutku itu di kepang dua itu loh kak.” Katanya berusaha mengingatkan kembali kejadian pas awal mulai OSPEK di sekolah.

Mimpi apa aku semalam? Sampai-sampai aku bisa berkenalan dengan adik kelas cantik yang gak melupakan muka standarku ini.

“Oh, itu kamu! Haha.” Aku sebenarnya gak ingat, cuman pura-pura ingat biar gak nampak kalau aku melupakan kejadian dulu.

“Iya, itu aku kak. Kakak galak banget dulu. Aku aja kaget kakak mulai chat aku duluan.” Lumayan kaget pas dia katain aku galak, padahal itu cuman dibuat-buat aja galaknya dulu.

“Haha. Itu galaknya cuman dibuat-buat aja, biar adik kelas gak berani melawan sama kakak kelas. Hihi.” ah, gelik banget aku chatnya pakai ‘hihi’.

“Bagus deh kak cuman buat-buat, Rani takut kena marah sama kakak soalnya.” perkataannya itu seolah-olah aku ini ganas, menakutkan, seperti singa.

“Oh ya, kak. Aku mau pergi nih sama teman. Mau offline dari facebook, karena komputer gak bisa dibawa jalan hehe. Minta nomor kakak, nanti aku sms.” Dia ternyata memiliki selera humor yang tinggi juga, dan dia meminta nomorku! Aku segera membalas chatnya dengan memberikan deretan angka yang nanti sms-nya akan dapat mengetarkan handphone serta jantungku seketika. Tak lama, aku pun segera offline dan pulang sambil berlari kegirangan. Pertama kalinya aku melakukan hal sebodoh itu yang disebabkan oleh obrolan singkat di media sosial dengan seorang gadis.

Sesampainya di rumah, aku langsung beranjak masuk ke dalam kamar tidurku dan melemparkan badan setengah idealku ini ke kasur. Aku terus menggeliat layaknya cacing yang ditaburi garam dan hampir mati, iya hampir mati!. Sungguh, ini sifat yang tak patut dilakukan olehku, seorang anak SMA kelas dua. Sudah berkumis pula.

Back to Rani Purnamasari, adik kelas cantik yang pernah aku kerjain ketika OSPEK dan menganggapku sebagai orang yang galak, sekarang aku diberi kesempatan untuk berhubungan lebih dekat dengannya. Jujur, menjomblo itu asik, asik kalau hubungan sebelumnya dengan pacar yang suka ngatur ini itu. Tapi kalau bisa dapat crush yang baik, cantik pula. Menjomblo itu menjadi pilhan yang tidak tepat.

Well, lagi asik mikirin dia, tiba-tiba aku memikir betapa bodohnya diriku ini. Aku memberikan Rani nomor teleponku, tapi aku tidak mendapatkan nomor teleponnya. Jadi yang aku harapkan hanyalah menunggu sampai dia mengirimkan pesan singkat itu. Kembali lagi, aku menggeliat, diiringi dengan teriakan-teriakan gak jelas karena baru menyadari kebodohanku.

            Waktu terus berputar, dan sang matahari yang gagah pun telah berganti shift dengan si bulan yang cantik. Dan aku yang kegirangan telah berganti shift dengan aku yang sedikit kecewa. Aku masih tidak mendapatkan pesan pendek darinya. Pesan yang telah ku tunggu berjam-jam lamanya.

Aku jomblo yang baru saja menerima sebuah janji manis yang palsu. Ah, bodohnya aku. Apa yang aku harapkan dari seorang adik kelas cantik? Yang cantik biasanya sudah punya pasangan.

Karena sudah menunggu lama dan masih tidak mendapatkan pesan, aku keluar dari kamar dan meninggalkan handphone-ku di dalam kamar. Aku melangkah lemas ke dalam kamar mandi, dan ingin segera membersihkan harapan-harapan palsu yang menempel di badanku ini. Semoga bersih.

            Setelah selesai mandi, aku langsung masuk ke kamar dan melemparkan badanku kembali dengan rambut yang masih basah ke kasur. Beberapa menit kemudian, handphone-ku berdering. “Itu nada pesan sms,” kataku dalam hati. “Rani kah?”

            Dan benar saja, ketika aku membuka pesan pendeknya, dia meminta maaf atas keterlambatan mengirim pesan dan meminta aku untuk memberikan sanksi, mungkin dia masih trauma dengan sifat jahatku dulu. Tanpa berpikir panjang, aku mengajaknya ketemuan malam ini di café tempat biasa aku nongkrong dengan teman sekolah. Tapi dia menjawab bahwa malam ini tidak bisa karena  terlalu mendadak, sehingga waktu kami undur satu hari, besok.

            Besok malamnya, aku memutuskan untuk berganti tempat, bukan di café, tetapi di sebuah restoran kecil di pinggir kota. Aku menjemputnya, dan ia tidak keberatan dengan hal itu. Kami berkenalan secara langsung di dunia nyata untuk pertama kalinya.

            “Irwan Renaldo,” aku menjabat tangan mungilnya. “Senang berkenalan denganmu secara langsung untuk pertama kalinya, Rani Purnamasari.”

            “Rani Purnamasari, kak. Senang juga berkenalan denganmu secara langsung.” Dia tersenyum. Manis sekali.

            Setelah itu, kami memesan dan menikmati hidangan makan malam di restoran kecil tersebut. Berbincang-bincang tentang masa laluku yang galak, dan terkadang aku tertawa sendiri mendengarnya. Dan aku sangat menikmati, hari pertama, aku berhasil untuk keluar dari rasa bahwa aku sendirian, di dunia nyata.

*

            Itulah rangkaian perkenalan yang telah terjadi satu tahun yang lalu, antara aku dan Rani, yang berkenalan di dunia maya, dunia penuh kebohongan. Namun cinta kami adalah cinta yang abadi. Setahun yang lalu kami berpacaran, setelah tiga bulan lamanya kami mengenal satu sama lain dan aku mengungkapkan perasaanku di taman kota, dekat air mancur, di bawah sinar bulan purnama yang menerangi seisi taman. Perasaan dag dig dug yang pernah aku rasakan saat itu, masih dapat aku rasakan sampai sekarang. Betapa takutnya aku untuk kehilangan dirinya. Dan ketakutan itu datang dengan hadirnya sebuah tulisan di atas kertas putih.

Ia mengirimkan sepucuk surat, dua minggu yang lalu, dua minggu sebelum anniversary tahun pertama kami. Dia pergi. Ke negeri di mana orang sepertiku tidak bisa sampai, negeri kangguru. Australia, dari peta, jaraknya ke Indonesia tidak sepanjang handphone batangan milikku. Tapi jarak yang sesungguhnya sangatlah jauh dan memerlukan biaya yang besar. Aku sangat senang dia melihatku bukan dari jumlah kertas berwarna di dompetku, melainkan seberapa besar cinta yang kuberikan kepadanya.

Rasa rindu yang telah berkembang selama dua minggu ini membuatku tidak dapat menjalankan aktivitasku seperti biasa karena rasa rindu itu telah menyerap sari-sari semangat untuk menjalani hidupku. Bukan gila, bukan lebay, tapi ini mengenai sebuah rasa, ini kenyataan. Pikiranku tidak dapat fokus. Semua terjadi karena sebuah surat yang menghampiriku di senin pagi, “Surat dari Rani, Wan.” begitu kalimat pertama yang keluar dari mulut temanku, Rangga, ketika ia sampai di depan rumahku untuk mengantarkan surat dari Rani.

Salah satu kata sifat yang cocok dengan suasana itu adalah kecewa. Hari terakhir kami bertemu adalah saat dimana aku mengajaknya pergi mengunjungi sebuah permbukaan kebun binatang. Aku menyadari kala itu, ia tidak begitu menikmati kegiatan berdua kami ini. Lebih terlihat murung dibandingkan biasanya mungkin karena aku yang jarang meluangkan waktu bersamanya ketika sedang sibuk dengan kegiatan menulis beberapa cerita fiksiku.

“Kamu kenapa?” tanyaku padanya.

“Tidak kenapa-kenapa kok. Tuh lihat, monyetnya mirip kamu.” Ia berusaha mengalihkan pembicaraan dengan menyamakan wajahku dengan monyet yang tidak pernah mandi itu.

“Mirip? Tentu tidak. Cowokmu ini lebih ganteng daripada hewan itu.” kataku. Dia tertawa, sangat manis, dan aku tersenyum karena Tuhan telah memberikan seorang malaikat kepadaku.

Kemudian dia terdiam sejenak. “Apakah kita bisa terus seperti ini?” tanyanya.

“Kenapa kamu ngomong seperti itu? Tentu saja bisa.” kataku sambil memegang kedua pundaknya, kemudian menatap matanya dalam-dalam. “Aku tak akan pergi. Bagaimana denganmu?” tanyaku.

“Aku akan selalu berada di hatimu.” kalimat itu sempat menggangguku beberapa saat, namun aku tidak berpikir bahwa kalimat itu merupakan sebuah petunjuk. Petunjuk bahwa ia akan segera meninggalkanku. Dan aku kembali menjadi seorang pria yang kehilangan perasaan di dunia nyata.

2 minggu 8 jam dan 32 menit 18 detik sudah rasa rindu ini berkembang dengan cepat.  Tiada komunikasi lagi, langsung maupun tidak langsung. Keberadaannya yang masih menjadi tanda tanya, membuat pikiran ini kacau. Apakah kau rindu denganku disana? Ataukah kau telah memiliki sosok lain untuk menjagamu disana? Jika kau ingin kembali padaku disini, aku akan senang hati menerimamu kembali. 

Kabar terakhir yang kudengar dari Rangga adalah Rani telah memiliki kekasih baru, seorang CEO dari perusahaan sepatu di Amerika Serikat, yang dianggap lebih matang oleh kedua orang tuanya, aku sudah menyadari bahwa mereka tidak menyukaiku sejak awal. Tentu saja, anaknya yang cantik dan pintar di segala bidang, menyukai aku, seseorang yang mirip dengan monyet di kebun binatang.

Tidak ada yang bisa mengambil ‘cinta’ yang ingin aku berikan padamu, tidak ada yang bisa menarik ‘cinta’ yang hanya untukmu. Tidak ada yang bisa. Selain dirimu. Kerinduan ini hanya bisa aku cegah dengan mengingat semua kenangan kita bersama. Dari awal kita berjumpa, ketika kamu masih murid baru dan aku sebagai kakak kelasmu. Ketika kata ‘hi’ yang kukirim ke akun facebookmu. Ketika wajahku disamakan dengan monyet. Walau kau mudah datang dan mudah juga pergi tanpa mengucapkan kata perpisahan, aku selalu merindukanmu.

Rabu, 21 Januari 2015

L.O.V.E

Jauh dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku mencintainya. Bukan hal yang sulit dalam mengungkapkan kata cinta di depan dua matanya yang indah, namun hal yang paling sulit adalah dimana kita menunjukkan kehadiran cinta. Aku mungkin sudah menunjukkan cintaku untuknya, namun wanita tetap butuh sebuah kalimat yang keluar dari mulut setiap pria. “Aku mencintaimu, maukah kau menjadi pendampingku?” Sebuah anggukan kepala pendek dan senyuman tipis yang mengembang merupakan jawaban yang ditunggu-tunggu setiap pria. Dan sah, cinta dari sang pria telah diakui oleh pihak wanita, begitulah dunia remaja.

Masa SMA-ku harusnya diisi dengan kisah cinta, tidak perlu kisah cinta yang  begitu romantis, asalkan ada saja sebuah kisah yang dapat aku ceritakan ketika berkumpul dengan teman sebaya suatu hari kelak. Ada kenangan yang terpahat di memori. Itu yang kuinginkan, yang artinya, aku belum mengungkapkan kata cinta kepada siapapun.

Aku sekarang telah memasuki jenjang kelas terakhir di masa sekolahku, dan aku belum dapat mengungkapkan cinta kepada satu gadis yang telah lama aku idamkan.

“Sejak SMP,” ucap Anton, sahabat kutu bukuku, ketika kami sedang duduk bersantai di sebuah café di pusat kota. “kau bahkan sudah jarang berkomunikasi dengannya, benar, kan?” sambungnya.

“Ah, aku tidak terbiasa dengan suasana yang mempercepat detak jantungku. Rasanya itu, gimana ya, organ yang berdetak beraturan itu mau lepas.” Ucapku sembari menyeruput cappucinno yang kupesan sesaat setelah kami sampai. “ini enak.” Sambungku.

“Mulai lagi, kau mau mengalihkan pembicaraan.” Sungutnya.

“Tidak, kopi ini sungguh enak. Aku hanya mengungkapkan pendapatku.” Jawabku sambil tertawa kecil.

Tiba-tiba Anton terdiam sesaat, aku yang duduk dihadapannya, melihatnya dengan aneh, matanya seperti menemukan sebuah objek yang menarik dan terus mengikuti kemanapun objek tersebut pergi. Ketika aku ingin berbalik dan melihat apa yang sedang dilihatnya, ia mencegatku, menahan kepalaku untuk berputar, tidak sedikitpun.

“Jangan lihat ke belakang!” serunya.

“Kenapa?” aku terdiam sejenak. “Apa? Atau siapa yang kau lihat?”

“Aku akan beritahu, asalkan kau menuruti perintahku. Bagaimana?” tantangnya.

“Perintah? Apa perintahnya?”

“Kau setuju atau tidak?”

“Apakah susah?” tanyaku penuh curiga.

“Tidak, hanya mulutmu yang bergerak, mengucapkan kata-kata manis.”

“Baiklah.”

“Silahkan berputar sekarang ke belakang arah jam tujuhmu!” Perintahnya. Aku sedikit bingung dengan perintahnya yang mendadak. “SEKARANG!”

Buaghhhhhk.

Kepalaku menabrak sesuatu yang cukup keras, seperti tulang. Pusing. Itu yang aku rasakan sekarang.

“Kamu tidak apa-apa?” tiba-tiba terdengar suara gadis yang sangat lembut di sampingku. Apa aku menabraknya? Sialan Anton, sengaja mengerjaiku.

Aku mengurut pelan pelipisku sejenak, mengangkat kepala, ke arah datangnya suara, dan….. woah!

“I-Intan? Ke-kenapa kamu disini?” tanyaku gugup. Seorang bidadari cantik, berada di sebelahku, dan sedang berbicara denganku. Di luar sekolah dengan pakaian santainya. "Aku yang menabrakmu, ap-apakah kamu tidak apa-apa?" tanyaku, merasa tidak enak.

"Tidak apa-apa kok." ujarnya, ia tersenyum manis.

Akhirnya pertunjukkan di mulai, drum band yang tersedia untuk bermain ketika ada gadis cantik yang berada di depanku lewat, memainkan nada terus menerus di bagian dadaku. Detak jantungku mulai berdegup tak beraturan, cepat, dan juga kuat. Serasa mau lepas dari tubuhku. Meloncat keluar dan menari-nari.

Intan, gadis yang kukenal sejak SMP, yang menarik perhatianku selama hampir enam tahun. Gadis cantik yang pintar, dan tidak sombong. Masih single pula. Inilah gadis impianku dan sekarang berdiri di depanku.

“Aku melihat Anton dari jauh, aku datang kesini ingin menyapa saja."

Anton berdiri. Dan mempersilahkan Intan untuk duduk sejenak berbincang dengan kami.

“Silahkan duduk, nona.” Ucapnya halus. Aku hanya bisa diam melihatnya. Intan pun duduk, dihadapanku, menggantikan Anton yang masih berdiri.

“Cappucinno?” sambung Anton.

“Baiklah. Terima kasih, Ton.” Dan Anton pun pergi meninggalkan aku dan dia, berdua, saling berhadapan, dan kaku, di café, tempat dimana biasanya para pasangan saling mengungkapkan perasaan.

“Ehm, kok Anton lama ya?” tanyaku memecah kesunyian. Dan tak lama kemudian, aku menyadari satu hal. Itu pertanyaan yang bodoh.

“Mungkin dia bertemu dengan temannya?” jawabnya.

Dan kemudian suasana sepi kembali menyelimuti kami berdua.

“Kau cantik. Aku ingin menjadi seorang pria yang pantas berada di sampingmu. Aku ingin kita memiliki hubungan yang lebih dari ini.” Pikirku.

Kami tetap tidak bergeming sedikit pun, ia asik membaca-baca beberapa majalah baru yang ia bawa di dalam tasnya, sampai pada akhirnya Anton kembali, setelah setengah jam menghilang.

“Gimana? Bahas sampai mana? Sudah jadian?” tanyanya.

“Jadian apaan?” tanya Intan dengan nada yang sedikit tinggi.

“Oh, engga toh?” Anton melirikku tajam. Seperti membisikkan sebuah kalimat ke telingaku dengan tatapan tersebut, “Aku memberikan waktu yang lama untukmu mengucapkannya, dasar bodoh!”

“Tadi kemana aja?” tanyaku.

“Bertemu teman.” Jawabnya singkat. “Cappucinnonya belum datang?” tanyanya.

“Belum.”

Anton mengambil posisi duduk di sampingku. Tak lama kemudian, secangkir cappucinno hangat pun tersajikan di atas meja. Aku hanya bisa menikmati pemandanganku sekarang, melihat bibir Intan menyentuh sisi pinggir cangkir dan menyeruput cappucinno yang merupakan minuman kesukaanku. Cantik. Itu yang ada dipikiranku mengenai gambaran seorang bidadari di depanku.

Aku melewati beberapa jam berharga hanya dengan duduk diam melihat Anton dan Intan bersenda gurau, terkadang membahas tentang masa-masa di SMP, kenakalan-kenakalan yang pernah Anton lakukan, kegiatan retreat sekolah yang menegangkan. 

“Terima kasih untuk hari ini, ya,” tiba-tiba Intan berdiri dari tempat duduknya. “sudah sore, mau pulang dulu.”

Kata-katanya langsung membuyarkan lamunanku.

“Oke, Bye-bye. Thanks sudah temanin jomblo-jomblo seperti kami disini ya.” Ucap Anton sambil melambaikan tangan kepada Intan.

“Bye-bye, Anton.” Dia melihatku. “Bye-bye Gunawan.” Dia tersenyum. Manis sekali.

Dia berjalan pergi, dan menghilang diantara kerumunan orang.

“Kau!” seru Anton di depan mukaku setelah yakin bahwa Intan telah menjauh. “Kau membiarkan kesempatan yang sangat langka terbang bebas! Kapan lagi kau bisa melihat dia secantik ini???” lanjutnya.

“Aku tidak sanggup, tidak biasa berbicara dengan seorang gadis, dengan normalnya. Kau tau bagaimana diriku.”

*SIGH*

“Aku tau itu kesempatan langka, tapi kau tak bisa memaksakan untuk mengeluarkan kata cinta semudah itu.” Ucapku.

“Baiklah tuan yang selalu membiarkan kesempatan terbaiknya hilang tertelan bumi.” Ucapnya. “Alright, sudah sore, sebaiknya kita juga sudah boleh pulang.”

“Okay.” Jawabku.
***

Dan begitulah, sebuah kesempatan langka, hilang. Di depan mata, gadis yang kucintai, pergi. Dia mendapat beasiswa ke Australia dan kudengar kabarnya dia akan menetap cukup lama disana untuk bekerja.

“Dan bagaimana perasaanmu sekarang? Tuan Gu-na-wan?” Tanya Anton, di tempat yang sama dimana aku melenyapkan kesempatanku. Tempat dimana aku melihat sosok Intan yang sangat langka dulu.

“Itu artinya aku tidak berjodoh dengannya.” Jawabku singkat.

“Dan kau rela melepaskannya?”

“Kalau dia jodoh, kami akan bertemu lagi suatu saat lagi. Aku pastikan akan menikah di umur ke-28. Jika tidak bertemu dengannya beberapa tahun sebelum aku menginjak angka 28, maka kami bukan jodoh.”

“Dan aku harus menunggumu selama 10 tahun lagi untuk mengetahui jawabannya?”

“Begitulah, dan tetaplah jadi sahabat kutu bukuku dan bersantailah disini sejenak. Sampai jawaban tersebut muncul di permukaan.”

END