Ketika internet, yaitu jaringan
komputer yang pertama kali dikembangkan pada tahun 1969 di Amerika Serikat yang
dibentuk oleh departemen pertahanannya ini telah masuk ke dalam kehidupan manusia, banyak hal-hal yang terjadi sejak saat itu hingga sekarang. Positif maupun negatif—tapi disini kita membahas positifnya—salah
satunya adalah memudahkan kita dalam berkomunikasi.
Komunikasi yang mudah antar manusia
(baca: jomblo) membuat pabrik coklat mendapatkan keuntungan yang melimpah di hari
kasih sayang, valentine. Kurasa facebook dan salah satu pabrik coklat terbesar di dunia telah mengadakan kerja sama
diam-diam. Iya, facebook merupakan jejaring sosial yang terbesar yang dibentuk
pada tahun 2004 dan diikuti oleh twitter dan adik adiknya.
Banyak pasangan baru yang muncul
tiba-tiba tanpa ada event perkenalan
di depan umum. Eh, tau-taunya gosip yang tersebar besok pagi adalah si anu dan
si anu telah berpacaran. Orang yang mengenalnya, berbondong-bondong ke lokasi
kejadian, eh, lokasi pacaran untuk melihat kebenaran. Dan salah satunya adalah aku,
meminta PJ (Pajak Jadian). Dan besoknya aku di traktir nasi bungkus yang dijual
di kantin. Lumayan menghemat pengeluaran untuk satu hari.
Dan semakin lama semakin banyak
pengguna facebook yang menjadikan sosial media itu sebagai tempat cari jodoh,
loh, mereka hebat bisa tau jodohnya akan hadir di facebook. Dan tanpa rasa malu,
saya mengakui, salah satu pengguna facebook yang menjadikan sosial media
sebagai tempat mencari jodoh adalah aku, ini namanya mengikuti perkembangan
jaman. Menuju Indonesia bebas jomblo.
Jejaring sosial inilah yang
memperkenalkanku kepada Rani. Seorang gadis dari kota sebelah yang mengijnkanku
untuk berkenalan lebih jauh dengannya. Di facebook, kita bisa melihat foto-foto
yang di post oleh si pemilik akun ataupun di tag oleh teman facebook-nya. Dari situlah aku memperoleh
informasi visual bagaimana gambaran wajah Rani.
Rani memiliki wajah yang manis,
alis yang tebal, hidung yang mancung, mata yang berwarna kecoklatan dan juga
rambut hitam yang panjang. Dari foto, ia tampak sangat ceria, dapat kutebak
bahwa dia orang yang bersahabat dan tidak memiliih-milih teman.
Aku memberanikan diri untuk memulai
chatting, “Hi,” Sapaku. Namun tidak ada balasan dari akun facebook-nya.
Beberapa hari kemudian, aku menyempatkan diri untuk pergi lagi ke warnet, sekedar mengecek apakah aku mendapat balasan atau tidak dari Rani. Dan ternyata ada! Baru dibalas beberapa menit yang lalu.
Beberapa hari kemudian, aku menyempatkan diri untuk pergi lagi ke warnet, sekedar mengecek apakah aku mendapat balasan atau tidak dari Rani. Dan ternyata ada! Baru dibalas beberapa menit yang lalu.
“Hi juga!” Begitu balasannya.
Tertulis pukul 15:42, baru 8 menit yang lalu dia membalas sapaan pertamaku.
“Umm, nama kamu siapa?” Aku
membalas lagi. Namun setelah kupikir-pikir, itu adalah sebuah pertanyaan yang
bodoh. Jelas-jelas namanya terpampang di facebooknya. Rani . P, yang membuat
penasaran hanyalah nama belakangnya.
“Rani Purnamasari, kak,” Wah, nama
yang indah pikirku. Tapi tunggu, sebuah panggilan ‘kak’?
“Umm, 'kak'? Maksudnya?”
“Kita satu sekolahan kak, masa lupa
pas pertama kali kakak suruh aku dulu minta tanda tangan sama seluruh anggota
pengurus OSIS sekolah? Yang dulu gaya rambutku itu di kepang dua itu loh kak.”
Katanya berusaha mengingatkan kembali kejadian pas awal mulai OSPEK di sekolah.
Mimpi apa aku semalam?
Sampai-sampai aku bisa berkenalan dengan adik kelas cantik yang gak melupakan
muka standarku ini.
“Oh, itu kamu! Haha.” Aku
sebenarnya gak ingat, cuman pura-pura ingat biar gak nampak kalau aku melupakan
kejadian dulu.
“Iya, itu aku kak. Kakak galak
banget dulu. Aku aja kaget kakak mulai chat aku duluan.” Lumayan kaget pas dia
katain aku galak, padahal itu cuman dibuat-buat aja galaknya dulu.
“Haha. Itu galaknya cuman
dibuat-buat aja, biar adik kelas gak berani melawan sama kakak kelas. Hihi.”
ah, gelik banget aku chatnya pakai ‘hihi’.
“Bagus deh kak cuman buat-buat, Rani
takut kena marah sama kakak soalnya.” perkataannya itu seolah-olah aku ini
ganas, menakutkan, seperti singa.
“Oh ya, kak. Aku mau pergi nih sama
teman. Mau offline dari facebook, karena komputer gak bisa dibawa jalan hehe.
Minta nomor kakak, nanti aku sms.” Dia ternyata memiliki selera humor yang
tinggi juga, dan dia meminta nomorku! Aku segera membalas chatnya dengan
memberikan deretan angka yang nanti sms-nya akan dapat mengetarkan handphone serta jantungku seketika. Tak lama, aku pun segera
offline dan pulang sambil berlari kegirangan. Pertama kalinya aku melakukan hal
sebodoh itu yang disebabkan oleh obrolan singkat di media sosial dengan seorang gadis.
Sesampainya di rumah, aku langsung
beranjak masuk ke dalam kamar tidurku dan melemparkan badan setengah idealku
ini ke kasur. Aku terus menggeliat layaknya cacing yang ditaburi garam dan
hampir mati, iya hampir mati!. Sungguh, ini sifat yang tak patut dilakukan
olehku, seorang anak SMA kelas dua. Sudah berkumis pula.
Back
to
Rani Purnamasari, adik kelas cantik yang pernah aku kerjain ketika OSPEK dan
menganggapku sebagai orang yang galak, sekarang aku diberi kesempatan untuk
berhubungan lebih dekat dengannya. Jujur, menjomblo itu asik, asik kalau hubungan
sebelumnya dengan pacar yang suka ngatur ini itu. Tapi kalau bisa dapat crush yang baik, cantik pula. Menjomblo
itu menjadi pilhan yang tidak tepat.
Well,
lagi asik mikirin dia, tiba-tiba aku memikir betapa bodohnya diriku ini. Aku
memberikan Rani nomor teleponku, tapi aku tidak mendapatkan nomor teleponnya.
Jadi yang aku harapkan hanyalah menunggu sampai dia mengirimkan pesan singkat
itu. Kembali lagi, aku menggeliat, diiringi dengan teriakan-teriakan gak jelas
karena baru menyadari kebodohanku.
Waktu
terus berputar, dan sang matahari yang gagah pun telah berganti shift dengan si bulan yang cantik. Dan
aku yang kegirangan telah berganti shift
dengan aku yang sedikit kecewa. Aku masih tidak mendapatkan pesan pendek
darinya. Pesan yang telah ku tunggu berjam-jam lamanya.
Aku jomblo yang baru saja menerima
sebuah janji manis yang palsu. Ah, bodohnya aku. Apa yang aku harapkan dari
seorang adik kelas cantik? Yang cantik biasanya sudah punya pasangan.
Karena sudah menunggu lama dan
masih tidak mendapatkan pesan, aku keluar dari kamar dan meninggalkan handphone-ku di dalam kamar. Aku
melangkah lemas ke dalam kamar mandi, dan ingin segera membersihkan
harapan-harapan palsu yang menempel di badanku ini. Semoga bersih.
Setelah
selesai mandi, aku langsung masuk ke kamar dan melemparkan badanku kembali dengan
rambut yang masih basah ke kasur. Beberapa menit kemudian, handphone-ku berdering. “Itu nada pesan sms,” kataku dalam hati. “Rani
kah?”
Dan
benar saja, ketika aku membuka pesan pendeknya, dia meminta maaf atas
keterlambatan mengirim pesan dan meminta aku untuk memberikan sanksi, mungkin
dia masih trauma dengan sifat jahatku dulu. Tanpa berpikir panjang, aku
mengajaknya ketemuan malam ini di café tempat biasa aku nongkrong dengan teman
sekolah. Tapi dia menjawab bahwa malam ini tidak bisa karena terlalu mendadak, sehingga waktu kami undur
satu hari, besok.
Besok
malamnya, aku memutuskan untuk berganti tempat, bukan di café, tetapi di sebuah
restoran kecil di pinggir kota. Aku menjemputnya, dan ia tidak keberatan dengan
hal itu. Kami berkenalan secara langsung di dunia nyata untuk pertama kalinya.
“Irwan
Renaldo,” aku menjabat tangan mungilnya. “Senang berkenalan denganmu secara
langsung untuk pertama kalinya, Rani Purnamasari.”
“Rani Purnamasari, kak. Senang juga berkenalan denganmu secara langsung.” Dia tersenyum.
Manis sekali.
Setelah
itu, kami memesan dan menikmati hidangan makan malam di restoran kecil
tersebut. Berbincang-bincang tentang masa laluku yang galak, dan terkadang aku
tertawa sendiri mendengarnya. Dan aku sangat menikmati, hari pertama, aku
berhasil untuk keluar dari rasa bahwa aku sendirian, di dunia nyata.
*
Itulah
rangkaian perkenalan yang telah terjadi satu tahun yang lalu, antara aku dan Rani,
yang berkenalan di dunia maya, dunia penuh kebohongan. Namun cinta kami adalah
cinta yang abadi. Setahun yang lalu kami berpacaran, setelah tiga bulan lamanya
kami mengenal satu sama lain dan aku mengungkapkan perasaanku di taman kota,
dekat air mancur, di bawah sinar bulan purnama yang menerangi seisi taman.
Perasaan dag dig dug yang pernah aku rasakan saat itu, masih dapat aku rasakan
sampai sekarang. Betapa takutnya aku untuk kehilangan dirinya. Dan ketakutan
itu datang dengan hadirnya sebuah tulisan di atas kertas putih.
Ia mengirimkan sepucuk surat, dua
minggu yang lalu, dua minggu sebelum anniversary tahun pertama kami. Dia pergi.
Ke negeri di mana orang sepertiku tidak bisa sampai, negeri kangguru.
Australia, dari peta, jaraknya ke Indonesia tidak sepanjang handphone batangan milikku. Tapi jarak
yang sesungguhnya sangatlah jauh dan memerlukan biaya yang besar. Aku sangat
senang dia melihatku bukan dari jumlah kertas berwarna di dompetku, melainkan
seberapa besar cinta yang kuberikan kepadanya.
Rasa rindu yang telah berkembang
selama dua minggu ini membuatku tidak dapat menjalankan aktivitasku seperti
biasa karena rasa rindu itu telah menyerap sari-sari semangat untuk menjalani
hidupku. Bukan gila, bukan lebay, tapi ini mengenai sebuah rasa, ini kenyataan.
Pikiranku tidak dapat fokus. Semua terjadi karena sebuah surat yang menghampiriku
di senin pagi, “Surat dari Rani, Wan.” begitu kalimat pertama yang keluar dari
mulut temanku, Rangga, ketika ia sampai di depan rumahku untuk mengantarkan
surat dari Rani.
Salah satu kata sifat yang cocok
dengan suasana itu adalah kecewa. Hari terakhir kami bertemu adalah saat dimana
aku mengajaknya pergi mengunjungi sebuah permbukaan kebun binatang. Aku
menyadari kala itu, ia tidak begitu menikmati kegiatan berdua kami ini. Lebih terlihat
murung dibandingkan biasanya mungkin karena aku yang jarang meluangkan waktu bersamanya
ketika sedang sibuk dengan kegiatan menulis beberapa cerita fiksiku.
“Kamu kenapa?” tanyaku padanya.
“Tidak kenapa-kenapa kok. Tuh
lihat, monyetnya mirip kamu.” Ia berusaha mengalihkan pembicaraan dengan
menyamakan wajahku dengan monyet yang tidak pernah mandi itu.
“Mirip? Tentu tidak. Cowokmu ini
lebih ganteng daripada hewan itu.” kataku. Dia tertawa, sangat manis, dan aku
tersenyum karena Tuhan telah memberikan seorang malaikat kepadaku.
Kemudian dia terdiam sejenak.
“Apakah kita bisa terus seperti ini?” tanyanya.
“Kenapa kamu ngomong seperti itu?
Tentu saja bisa.” kataku sambil memegang kedua pundaknya, kemudian menatap
matanya dalam-dalam. “Aku tak akan pergi. Bagaimana denganmu?” tanyaku.
“Aku akan selalu berada di hatimu.”
kalimat itu sempat menggangguku beberapa saat, namun aku tidak berpikir bahwa
kalimat itu merupakan sebuah petunjuk. Petunjuk bahwa ia akan segera
meninggalkanku. Dan aku kembali menjadi seorang pria yang kehilangan perasaan di dunia nyata.
2 minggu 8 jam dan 32 menit 18
detik sudah rasa rindu ini berkembang dengan cepat. Tiada komunikasi lagi, langsung maupun tidak
langsung. Keberadaannya yang masih menjadi tanda tanya, membuat pikiran ini
kacau. Apakah kau rindu denganku disana? Ataukah kau telah memiliki sosok lain
untuk menjagamu disana? Jika kau ingin kembali padaku disini, aku akan senang
hati menerimamu kembali.
Kabar terakhir yang kudengar dari Rangga adalah Rani telah memiliki kekasih baru, seorang CEO dari perusahaan sepatu di Amerika Serikat, yang dianggap lebih matang oleh kedua orang tuanya, aku sudah menyadari bahwa mereka tidak menyukaiku sejak awal. Tentu saja, anaknya yang cantik dan pintar di segala bidang, menyukai aku, seseorang yang mirip dengan monyet di kebun binatang.
Kabar terakhir yang kudengar dari Rangga adalah Rani telah memiliki kekasih baru, seorang CEO dari perusahaan sepatu di Amerika Serikat, yang dianggap lebih matang oleh kedua orang tuanya, aku sudah menyadari bahwa mereka tidak menyukaiku sejak awal. Tentu saja, anaknya yang cantik dan pintar di segala bidang, menyukai aku, seseorang yang mirip dengan monyet di kebun binatang.
Tidak ada yang bisa mengambil
‘cinta’ yang ingin aku berikan padamu, tidak ada yang bisa menarik ‘cinta’ yang
hanya untukmu. Tidak ada yang bisa. Selain dirimu. Kerinduan ini hanya bisa aku
cegah dengan mengingat semua kenangan kita bersama. Dari awal kita berjumpa,
ketika kamu masih murid baru dan aku sebagai kakak kelasmu. Ketika kata ‘hi’
yang kukirim ke akun facebookmu. Ketika wajahku disamakan dengan monyet. Walau
kau mudah datang dan mudah juga pergi tanpa mengucapkan kata perpisahan, aku
selalu merindukanmu.