Powered By Blogger

Minggu, 27 September 2015

Can You Imagine: A Beautiful Trap

Suara mesin motor itu berderu keras di depan rumahku. Aku yang masih merasa ngantuk berusaha menutup kedua telinga dengan bantal. Karena semalam aku sibuk mengurusi cerita agar tidak dikejar-kejar editor, aku harus mencukupkan daya tahan mataku untuk hari ini. Aku melihat jam menunjukkan arah jarum pendek berada di angka delapan.
Selama lima menit lamanya, aku terjaga, aku harus segera menghentikannya jika aku ingin melanjutkan tidur indahku yang tidak cukup.
Aku berjalan keluar. Membuka pintu rumahku, bersandar cukup lama di pintu sambil menghentak-hentakkan kakiku dengan kuat.
"Bisa kau menghentikan kegiatan itu?" seruku dengan suara yang cukup keras sehingga aku bisa mendengar suaraku menggema di lorong sempit gangku.
Tidak ada tanggapan darinya, walaupun ia sempat berhenti sejenak, namun ia kembali melakukan kegiatan ‘memanaskan motor’. Sekarang suaranya terdengar semakin keras. “Dia sengaja,” pikirku.
"Woi!" aku berseru dengan nyaring. Ia berhenti.
"Kenapa kau tidak balik tidur di kamar tercintamu?" Ia akhirnya bersuara.
"Apa kau tuli?! Bagaimana mungkin aku bisa tidur seperti ini jika kau terus ngegas motormu seperti itu?!!" Aku yang semakin geram dengan jawabannya, mulai memperbesar volume suaraku.
Dia berhenti dan kemudian masuk ke dalam rumahnya dengan tenang.
Aku pun masuk kembali ke dalam rumah dengan rasa lega, akhirnya aku dapat merebahkankan kembali badan ini ke kasurku yang empuk.
Aku terbangun karena ketukan pada jendela kamarku, aku melihat ke arah jam dinding, menunjukkan pukul 11. Aku membuka tirai jendela dan melihat sosok gadis cantik yang berdiri di halaman rumahku. Rinda, sosok gadis keturunan Jawa berkulit putih halus, berambut hitam legam yang panjang serta memiliki senyum yang manis. Lirikan matanya seringkali membuatku berdiri membatu.
            Sayangnya kedua bola mata indahnya telah dimiliki oleh lelaki tidak berperasaan yang sengaja membuatku bangun dari tidur lelapku.
            Aku tidak nyaman membuat seorang wanita berdiri terlalu lama di luar rumah. Dengan segera aku meloncat dari tempat tidurku dan berjalan keluar dengan langkah yang tegap, tidak lupa untuk merapikan rambutku sebelum menatap wajahnya yang cantik.
“Hai,” sapaku seketika setelah membuka pintu.
            “Hai juga,” dia membalas sapaanku. “baru bangun tidur bang?” tanyanya.
            “Iya nih, semalam begadang kerjain proyek?” Jawabku.
            “Wuih, proyek gede yah mas?”
            “Yah, begitulah,” jawabku. “Dalam rangka apa nih kesini?”
            “Ini di dapur buat sayur kebanyakan. Mau bagiin, jadi neng datang dulu, ngecek, takutnya kamu keluar.”
            “Oh, kebetulan belum sarapan pagi,” Kataku. “boleh deh, dikit aja ya, ntar gak habis.”
            Ia kemudian berjalan pergi kembali ke rumahnya untuk mengambilkan sayur buatannya yang sengaja ia siapkan untukku. Aku yang kebetulan belum sarapan pagi, dengan senang hati menerimanya.
            Ia keluar dengan membawa rantang makanan bercorak bunga ditangan kanannya.
            “Nih, kalau sudah habis, jangan lupa cuci ya rantangnya.” Perintahnya dengan nada centil.
            “Iya, Rinda,” jawabku. “aku bersihin sampai gak berwarna nanti.”
            Ia kembali ke dalam rumahnya, dan aku pun masuk dan ingin segera menyantap sayur buatan Rinda.
Aku masuk ke dalam dapur dan membuka rantang makanannya. Lontong, semur ayam, sayur asam dan sepotong daging yang tidak kuketahui asalnya. Semuanya makanan kesukaanku kecuali daging itu. Namun pada gigitan pertama, rasanya enak, aku melanjutkannya kegigitan kedua, ketiga, dan seterusnya.
Aku langsung memakannya sampai habis dan memastikan bahwa tidak ada yang tersisa di dalam rantang. Benar-benar nikmat sayur buatan Rinda.
Tak berselang lama, aku mulai merasakan kantuk yang sangat tidak dapat tertahankan. Mungkin karena aku baru menyelesaikan sarapan, dan kesadaranku yang masih belum kembali penuh membuatku mengantuk lagi.
Aku berjalan masuk ke dalam kamar, merebahkan badanku, dan kembali tertidur dengan cepat.
            Kepalaku terasa berat. Aku tidak tahu ini jam berapa, namun dari pandanganku semua terlihat gelap. Aku kembali mendengar suara deru mesin motor suami Rinda, namun kali ini, suaranya begitu dekat.
            Aku berusaha untuk bangun dan melihat ke arah jendela. Namun kedua tanganku diikat ke belakang dan kakiku diikat dengan sangat kuat. Mulutku di lakban, aku tidak dapat bergerak. Seluruh kamar sudah menjadi hitam gelap karena asap mesin.
Asap!
Aku berusaha mencari sumber asap tersebut. Dan ternyata itu berasal dari pintu kamarku. Ada satu lubang yang baru saja dibuat dengan sangat rapi dan sesuai dengan ukuran masuknya lubang knalpot motor.
Semua jalur keluar masuknya udara sudah ditutup.
Aku berusaha berteriak, berguling-guling menuju ke arah pintu. Namun bodohnya aku. Semakin banyak aku bergerak, semakin banyak aku membutuhkan oksigen dan bernapas. Maka semakin cepat pula aku menghirup asap motor tua yang akan membunuhku dengan perlahan.
Aku akhirnya mengerti, makanan yang diberikan oleh Rinda mempunyai obat tidur yang cukup kuat. Dan sikap baiknya tadi, sialan, aku tidak menyangka gadis polos itu ternyata sekejam ini.
Aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 3 sore, sudah sekitar 4 jam aku tertidur pulas.
Kemudian aku melihat secarik kertas yang tertempel di dinding samping tempat tidurku. Disana tertuliskan,
Apa enak makanan buatanku? Aku memasaknya dengan cinta. Apa enak potongan daging yang sudah masuk ke dalam lambungmu, yang berada di dalam sayur asam buatanku tadi? Apa kau tau daging apa itu? Itu adalah daun telinga suamiku, aku memisahkannya dari kepalanya karena ia tidak mendengarkan perintahku. Apa kau suka? Setelah ini, akan aku berikan dagingmu kepada suamiku yang telah bekerja keras untuk membunuhmu dengan perlahan. Seharusnya dari awal kau tidak pernah menyentuh sedikitpun urusan kegiatan kami.
Aku merinding membacanya. Ternyata Rinda yang kukenal selama ini, memiliki kepribadian ganda. Aku merasakan ingin muntah, terutama membaca kata “daun telinga” itu.
Aku semakin lemas, tidak ada oksigen yang masuk ke dalam kamar, hanya karbon dioksida hasil mesin motor itu yang terus berderu setelah sekian lama. Aku pasrah. Apa yang terjadi dengan hidupku, aku terima.
Aku menutup mataku. Baru kali ini aku memutuskan untuk berdoa, setelah sekian lama aku membolos untuk berkomunikasi dengan sang pencipta. Sekarang, aku menyerahkan seluruh hidupku pada­-Nya.
Dalam hening, aku hanya bisa mendengar deru motor yang tak berhenti, tidak terdengar suara lain, bahkan jam dinding yang biasa berdetak sangat keras, kini tak terdengar lagi.
Aku menghirup napas panjang, kemudian menahan napas cukup lama. Ini agar aku masih bisa bertahan lama, aku berharap akan datangnya keajaiban.
Suara sirine berbunyi, seruan deru motor berhenti.
Aku membuka mataku. Cahaya merah dan biru berputar menembus melewati kaca jendelaku. Aku tersenyum, namun aku tidak berharap penuh, aku takut bahwa kenyataanya adalah itu cahaya yang dengan sengaja Rinda buat agar ia semakin puas menyiksaku.
Dan ternyata aku salah. Aku mendengar derap langkah kaki yang cukup banyak, mungkin ini polisi, atau petugas rumah sakit. Entahlah, yang penting, aku selamat. Aku kehilangan kesadaran.
Aku terbangun di dalam sebuah ruangan persegi. Kali ini, aku melihat dengan jelas cat yang melapisi dinding ruangan ini berwarna putih, tidak seperti ruangan kelam yang hampir membunuhku.
Aku mengerling. Menemukan sahabatku, Gerry, sedang tertidur di sofa merah besar. Aku tersenyum melihatnya. Aku tersenyum karena masih diberi kesempatan untuk dapat melihat wajah bodohnya.
Melihat wajahnya yang sedang tertidur, membuatku ingin sekali melempar bantal ke arahnya. Dia harus bangun. Tanpa pikir panjang lagi, kulemparkan bantalku dengan kuat ke arahnya.
Dia bangun dan terkejut.
“Apa?! Apa ini?!” dia berteriak dengan mulut yang terbuka lebar.
“Sudah bangun?” tanyaku.
“Ah, sialan kau, aku sedang bermimpi membawa tante-tante jalan. Aku pikir itu suaminya melempar sesuatu ke arahku.” Katanya.
Aku tertawa. “Kau masih bisa bermimpi seperti itu? Disaat temanmu ini hampir mati?”
“Biasa saja,” jawabnya.
“Bagaimana kau bisa disini? Terakhir aku mendengar banyak langkah kaki yang masuk ke dalam rumahku.” Tanyaku.
“Oh, itu, gara-gara kau tidak mengirimkan hasil kerjamu. Aku menunggu semalaman, dan kau tidak menghubungiku hari ini. Aku pikir kau sengaja menghindariku karena tidak menyelesaikan tugasmu.” Katanya.
“Hah? Aku sudah mengirimkannya semalam.”
“Tidak ada masuk.” Jawabnya santai.
“Aku tidak dapat bonus lagi bulan ini.” Ujarku sedih.
“Kau tidak dapat bonus, dan kau hampir mati. Untungnya aku segera mencoba datang mencarimu,” katanya. “dan pas ketika aku berada di depan rumahmu, aku melihat pasangan suami istri sedang berdiri di depan rumahmu, sang suami memasukkan motor ke dalam rumah dan sang istri terus membentaknya.”
“Kemana mereka berdua sekarang?”
“Di kantor polisi. Istrinya itu gila ya? Kau ternyata bertetangga dengan orang gila.”
“Yah, dia cantik, bro. Ternyata psyco.
Ia mengedikkan bahunya. “Pas di kantor polisi, sang istri masih bisa tertawa dan meneriakkan namamu berulang kali ‘aku hampir membunuhnya, aku hampir membunuhnya’.”
            “Gila tuh cewek,” kataku. “terus, suaminya?”
“Suaminya cuman mengekorinya, tertunduk tak bersuara.”
“Apa kau lihat ia menutup bagian telinganya dengan kapas atau sesuatu yang tampak seperti luka?”
Gerry berpikir sesaat, dan matanya memberikanku jawaban yang kuinginkan.
“Ada, ia menutupinya dengan kapas. Kenapa?”
“Aku menjadikannya santapan pagi,” ucapku santai.
Gerry sekarang melihatku ketakutan.

Sabtu, 19 September 2015

Can You Imagine: The Emotionless Love

Sebagai seorang laki-laki, aku harus bertanggung jawab dengan setiap senyuman yang merekah dari bibir gadis yang kita sayangi. Seberapa sering aku dapat membuatnya tersenyum, seberapa sering aku bisa bertingkah bodoh demi membuatnya tertawa.
“Ha! Kau ganteng hari ini,” kataku kepada pantulan bayanganku di cermin. “Apa aku sudah cukup ganteng sayang?” tanyaku pada seorang wanita muda berusia 30-an yang sedang berbaring dikasur yang dilapisi kain sprei bermotif mawar merah.
Dia tidak menjawab.
“Baiklah, baiklah, walaupun kamu gak menjawab, aku tau kok kamu ingin bilang aku ganteng.”
Lagi-lagi tidak ada respon darinya.
“Hey, aku ada satu cerita,” kataku, mengambil posisi duduk di sampingnya, menggenggam tangannya. “Kamu mau dengar?”
Dia mengangguk pendek. Sangat pendek.
Aku memulai cerita.
“Jadi, suatu hari, ada dua orang kakak adik sedang bermain di lapangan di belakang rumah mereka,” aku memulai cerita. “Tiba-tiba…” aku menghentikan ceritaku, menunggu responnya.
Hening, tidak ada respon apapun.
“Tiba-tiba sang adik pulang ke rumah dan mengabari kepada ibunya bahwa sang kakak telah menelan kecoa,” aku melanjutkan. “Sang ibu menyuruh sang adik untuk segera memanggil ayahnya agar ayah menghubungi dokter untuk datang ke rumah.” Aku berhenti.
Aku mengelus pelan tangannya, menyusuri jemari-jemarinya, kemudian tersenyum ke arahnya.
“Kamu tau, apa jawaban sang adik?” tanyaku padanya.
Aku menunggu responnya.
“Ah, ibu tenang aja. Adik sudah kasih kakak racun serangga kok, pasti kecoanya sudah mati.” lanjut ceritanya.
Aku tertawa terbahak-bahak dengan leluconku sendiri. Sedangkan dia, hanya melihatku dengan tatapan kosong.
Aku berhenti tertawa. Aku menatapnya dengan rasa pilu di hati.
“Aku akan terus berada di sampingmu, bagaimanapun kondisimu.” Kataku, menatap dalam-dalam matanya, terlihat air mata mulai membasahi sekitar matanya.
Aku mengusap setiap butiran air mata itu sebelum mereka jatuh menuruni pipi halusnya.
“Penyakit stroke ini tidak mengubah rasa sayangku kepadamu. Aku telah bersumpah menjagamu dihadapan keluarga dan Tuhan.”
“Aku bahagia kamu masih bisa berada disini, disampingku.”

Can you imagine? Memiliki pasangan yang terkena penyakit stroke dan lumpuh total. Apa kau akan mencintainya seperti aku mencintai istriku? Menemaninya sepanjang hari? Bisa kau membayangkan rasa sedih itu?

Can You Imagine: The Fear From the Phone

            Aku mendengar dengan jelas suara telponku berdering dari dalam kamar. Aku yang sedang asik menonton TV di ruang tamu, langsung meloncat dari sofa dan berlari naik menuju kamar.
            “Bima!!!” seruku.
“Hai, Bim,” aku menjawab panggilan telpon itu.
            Terdengar suara seseorang menggeram.
            “Bim? Hallo, Bim?” aku memanggil-manggil namanya berulang kali.
DOR! DOR! DOR!
            Terdengar suara tembakan dibelakangnya.
            Aku hampir berteriak, namun dengan secepat kilat, aku menutup mulutku. Aku terus mendengar suara dari balik telpon.
            “Semuanya sudah beres?” terdengar suara seorang laki-laki dewasa yang terdengar seperti sedang menggunakan penutup wajah. Ia bertanya kepada seseorang yang mungkin temannya.  "Jangan ada yang masih hidup!"
Aku menjauhkan telpon genggamku dari telinga, mencoba menyamakan suara disana dengan suara yang kudengar dari dalam rumah ini.
            “Lantai satu beres, ayo cepat naik, mungkin masih ada yang diatas. TV ini nyala, sofanya masih hangat.” Jawab temannya.

          Aku berlari mengunci pintu kamar dengan perlahan, masuk ke dalam lemari dan berdoa. Inikah akhir hidupku?

Senin, 14 September 2015

I, Failed

Waktu itu aku masih duduk di bangku kelas 2 SMA, sedangkan dia masih duduk di bangku kelas 3 SMP, namanya Vania. Umur kami terpaut dua tahun. Kami sudah sangat dekat, dekat sekali. Bahkan orang-orang melihat kami seperti orang yang telah menjalin hubungan bertahun-tahun.
Aku sering mengantarnya pulang. Kedua orang tuanya telah mengenal baik diriku. Dan kedua orang tuaku pun telah mengenal baik dirinya. Tidak jarang aku bermain ke rumahnya, sudah aku anggap sebagai rumah kedua.
Dibalik kedekatan kami, sebetulnya aku belum pernah sekalipun mengatakan perasaanku padanya.
Sahabatku telah berulang kali menyuruh agar aku untuk segera menyatakan perasaanku kepadanya sebelum terlambat. Dan aku selalu memberikan jawaban, “Nanti.”
            Vania, gadis ini memiliki dua sahabat yang selalu mengelilinginya kemanapun ia pergi.  Karen, dan Irena. 2 gadis yang telah menemaninya selama bertahun-tahun.
Aku tidak pernah menyatakan kepadanya bahwa aku melarang ia memiliki sahabat, tapi ia terlalu percaya dengan setiap perkataan mereka berdua. Mereka tidak menyetujui hubungan kami. Karena mantan dari Irena adalah teman baikku sejak SMP. Irena menganggap, siapapun yang berteman dengan mantannya adalah cowok yang busuk.
            Aku pun tidak ingin menahannya lebih lama lagi. Suatu malam, satu tahun setelah kami saling mengenal, aku yang sedang duduk santai di teras tiba-tiba merasa bosan. Aku mengeluarkan handphone-ku dan mulai mengetik namanya. Aku mengirimkan pesan singkat yang berisikan ungkapan hatiku padanya yang sampai tiga paragraf panjangnya.
            Aku menunggu dua jam lamanya, dan handphone-ku bergetar, menandakan ada pesan yang masuk. Aku membukanya, tapi bukan sebuah pesan dari Vania, melainkan itu adalah pesan dari sahabatnya, Irena. Ia bilang bahwa Vania tidak ingin berkomunikasi lagi denganku. Dan ia meminta aku untuk tidak pernah mencarinya lagi. Aku tidak mengerti, dan terus berusaha mengontaknya, terus dan terus. Dan hasilnya sama, tidak ada balasan.
            Di sekolah, ia tidak pernah lagi menegurku ketika sedang menyantap makan di kantin. Aku ingin sekali menegurnya, tapi muncul sosok baru yang mengelilinginya, Charles. Kapten dari tim futsal sekolah yang seumuran denganku dan punya beberapa bodyguard dibelakangnya. Aku menyerah.
            2 tahun setelah itu, aku sudah lulus SMA, dan ia telah naik kelas 2 SMA, aku mulai bekerja dan melupakan semua kenangan tentang Vania.
Aku memulai aktivitasku di masyarakat. Mulai bekerja dan kuliah. Aku sudah melupakannya jauh-jauh hari. Tapi nasib ingin sekali menyatukan kami berdua.
Kantor tempat aku bekerja, tepat berada di depan rumahnya, tepat di depan mataku. Aku melihat ia diantar oleh seorang lelaki yang seusia dengannya, bukan lagi Charles. Aku sudah berhasil untuk melupakannya, namun sekarang, aku gagal, dan kembali mengingat masa-masa itu. Cukup merasakan debaran jantung yang perih. Yang tidak akan mengeluarkan darah, tapi terasa sakit seperti ditusuk oleh pisau.

I'm Not Afraid

Mereka datang dan pergi begitu saja. Datang membawa ketakutan dan pergi meninggalkan teror yang berkelanjutan. Kehadiran mereka selalu membuat bulu kudukku berdiri. Walaupun aku berusaha untuk mengabaikan mereka, tapi mereka tidak berusaha untuk mengabaikanku. Mereka terus mengawasiku, mengikutiku kemanapun aku pergi. Menatapku dengan tatapan yang menusuk.
            Namaku Fabian Angga Wijaya. Orang-orang memanggilku Ian. Umurku sekarang 15 tahun. Menurut ayahku, aku adalah seorang anak indigo, berdasarkan pada kisah menyeramkan yang kuceritakan kepada ayahku dan sering membuat ia merasa takut terhadapku.
Aku bisa melihat hal yang tidak bisa orang biasa lihat. Tidak jarang pula aku sering dipanggil oleh suara-suara yang asalnya tidak diketahui.
            Sebagai anak laki-laki, aku lebih sering terkurung di dalam rumah. Misalnya ada tugas kelompok yang diberikan guru sekolah, ayah menyarankanku mengajak teman-teman untuk mengerjakan tugas kelompok itu di rumahku. Segala sesuatu yang menunjang dalam belajar telah disediakan sangat lengkap agar aku tidak perlu untuk keluar dari rumah.
            Ayah masih tidak dapat melupakan kejadian yang kualami ketika aku masih kecil. Aku ingat saat itu kami sedang berada di stasiun kereta api dan itu adalah pertama kalinya aku datang ke stasiun kereta. Aku melihat sesosok gadis muda yang terjepit kakinya diantara rel-rel kereta api. Tentu saja tidak ada yang bisa melihatnya kecuali diriku sendiri. Sangat susah membedakan apakah itu manusia atau makhluk halus. Tanpa berpikir panjang, aku berjalan turun ke jalur kereta demi membantu anak gadis yang sedang terjebak.
            Semua orang spontan berteriak, seorang perempuan tua bisu berusaha berteriak meminta tolong kepada petugas kereta api untuk menyelamatkanku. Namun para petugas tidak mengerti. Kemudian ia menyadarkan ayahku bahwa aku sudah tidak berada berdiri di sampingnya lagi dan tengah berada di jalur kereta. Sontak ayahku langsung berlari ke arah petugas dan meminta tolong. Namun karena kereta sebentar lagi akan melintas mereka tidak berani turun. Aku tidak mengerti kenapa mereka begitu ketakutan karena waktu itu aku masih kecil dan tidak mengerti apa-apa.
            Ayah tanpa pikir panjang segera melompat turun dan berlari dengan kencang ke arahku, aku selamat. Aku ingat ayah memarahiku habis-habisan dan yang kulakukan hanya menangis. Tapi amarah ayah tidak bertahan lama, karena ayah sangat menyayangiku. Ia bertanya kenapa aku turun ke jalur kereta.
            “Ada kakak perempuan, kakinya terjepit ayah. Dia minta tolong agar menyelamatkan dia dari sana.” Jawabku polos.
            Ayah spontan terdiam. Beberapa hari kemudian, ia membawaku ke tempat temannya dan menanyakan apa yang terjadi padaku. Temannya yang merupakan seorang cenayang mengatakan bahwa kemungkinan aku adalah seorang anak indigo. Dan sejak saat itulah, ayah menjadi lebih ketat dalam menjagaku. Ayah tidak menginginkan hal yang tidak bagus terjadi padaku.
*
            Suatu malam, aku sedang duduk santai di belakang rumah, menghadap ke kolam berenang. Sambil membaca novel picisan temanku yang menurutku lumayan bagus untuk seorang pemula. Tiba-tiba terdengar suara wanita memanggil namaku, “Fabian, Fabian. Tolong!”
            Muncul sesosok wanita dengan rambut yang tampak sangat basah serta terlihat di pergelangan tangan kirinya mengeluarkan banyak sekali darah. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya. Namun, sejak aku tinggal disini, dia tidak pernah memunculkan dirinya kepadaku. Mungkin ia ingin berbicara padaku ketika aku sedang sendirian karena selama ini aku selalu bersama dengan pembantu rumahku.
            “Siapa kau? Dan apa yang kau inginkan?” tanyaku tanpa rasa takut karena aku sudah terbiasa menghadapi hal ini sejak masih berusia belia.
            “Aku Anisa, sebenarnya aku sudah lama ingin berbicara denganmu.  Namun selalu ada orang lain dimana pun kau berada,” katanya. “aku ingin minta tolong.”
            “Apa yang terjadi padamu?” tanyaku sambil melihat ke dalam rumah, apakah ada orang yang sedang bersantai di ruang tamu.
            “Aku di bunuh secara keji oleh para kakak kelasku di sini. Dulu ini adalah rumahku.”
            “Dibunuh? Kenapa?”
           “Dulu, sebelum aku bersekolah disini, ak bersekolah di kota lain. Karena ayahku memiliki tugas disini, aku mengurusi berkas-berkas yang dibutuhkan sekolah, karena aku murid pindahan. Waktu itu ada seorang kakak kelas yang berdiri di gerbang, ia mengaku sudah menunggu di gerbang sekolah demi bertemu denganku dan ia menawariku untuk diantari pulang,” katanya. “Awalnya aku menolak, namun dia terus memaksa dan akhirnya aku menerimanya secara terpaksa. Dan ketika aku sampai di rumah, dia ikut masuk. Aku mempersilahkan dia duduk di ruang tamu. Dan aku ke kamar untuk berganti pakaian.” Lanjutnya, ia dengan perlahan keluar dari kolam berenang.
            “Dan ternyata dia mengikutiku dari belakang sampai masuk ke dalam kamar, kemudian aku diperkosa hingga aku tidak sadarkan diri. Waktu itu kondisi rumah memang kosong karena ayah dan ibuku sedang berada di kantor mengurusi pekerjaan mereka, sedangkan adik-adikku sedang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya. Aku menjadi korban nafsu para lelaki bajingan itu.”
            “Namun, tidak berhenti sampai disana. Pergelangan tangan kiriku ini di potongnya hingga aku pingsan karena darah yang keluar cukup banyak. Kemudian aku dimasukkan ke dalam bak di dalam kamar mandi layaknya orang yang bunuh diri. Polisi juga meyakini hal itu karena tidak ada barang-barang dari rumahku yang hilang, dan kasus kemudian ditutup.”
            “Lalu apa yang kau butuhkan dariku?” Tanyaku penasaran.
            “Aku ingin kau memberitahu kepada keluargaku bahwa aku telah damai disini, di dunia yang berbeda dengan dunia mereka. Aku masih tau bahwa ibu tidak merelakan kepergianku selama ini.”
            “Tapi itukan sudah lama sekali, tahun berapa kamu meninggal, kak?” tanpa sadar aku terhanyut dalam ceritanya dan merasa bahwa dia sangat dekat denganku.
            “10 tahun yang lalu, tapi mereka masih di kota ini, akan aku beritahu alamatnya.”
          Tanpa berpikir panjang, aku langsung menelpon ayahku dan meminta agar dia mengantarkanku ke alamat kakak yang sangat sengsara ini. Bagaimana tidak, ia telah memperhatikan keluarganya, terutama ibunya selama ini larut dalam kesedihan yang mendalam. Sebuah pukulan telak bagi orang tua, ketika anak kesayangan mereka meninggal. Dan kak Anisa bukanlah satu-satunya korban nafsu para lelaki bajingan. Masih banyak diluar sana yang mengalami hal serupa, atau bisa saja lebih menyedihkan.
            Sesampainya di rumah kak Anisa, aku dan ayahku disambut baik oleh keluarga kak Anisa, terutama ayahnya, pak Darmawan. Kemudian kami dipersilahkan duduk dan memberitahukan apa maksud kedatangan kami. Lalu aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada kak Anisa. Mereka sekeluarga yang mendengarkan ceritaku terlihat tidak percaya. Namun beberapa dari mereka menintikkan air mata. Aku melihat pipi kak Anisa juga telah basah oleh air matanya. Ibu dan ayah kak Anisa mengatakan bahwa mereka telah merelakan kepergian anak yang disayanginya itu. Dan berterima kasih padaku telah mengabarkannya.
            Setelah itu aku pamit kepada keluarga kak Anisa, dan sejak saat itu, aku tidak pernah lagi melihat kak Anisa.

            Sejak saat itu, aku merasa bahwa kemampuanku ini, aku dapat membuat orang lain menjadi lebih baik. Ayah mulai mengerti dengan kemampuanku ini dan meregangkan pengawasannya terhadapku.

Sabtu, 12 September 2015

A Simple 'Morning'

Aku berdiri tegap, di depan sebuah cermin besar di dalam kamarku. Menatap fokus ke dalam cermin, bayangan diriku dengan sempurna berdiri disana, sesosok lelaki yang telah masuk ke dalam kelompok umur kepala dua yang siap melakukan interview pekerjaan dengan setelan ala pegawai baru; kemeja putih yang baru disetrika tadi subuh dan celana kain hitam.
Cukup lama aku termenung dan aku merasakan ada sesuatu yang kurang. Aku berkeliling berputar sesaat di dalam kamarku. Pandanganku langsung menyapu ke setiap bagian tubuhku, berusaha menerka-nerka benda penting apa yang terlupakan itu. “Oh, Dasi!” seruku pelan sambil mengacungkan jari telunjukku ke langit-langit kamar. “Di mana aku menyimpannya?” pikirku sambil mengobrak-abrik lemari pakaianku.
Dengan segera aku keluar dari kamar, meluncur ke dapur, dan mencari sesosok wanita berusia lanjut yang mungkin sedang memotong-motong wortel dengan pisau dapur kebanggaannya.
“Ma,” seruku ketika mendengar suara pisau yang sedang beradu dengan papan kayu dari dapur, mama sedang memotong-motong daun bawang yang kutebak akan mengapung diatas sup jagung pesananku semalam untuk sarapan nanti. “Ada lihat dasi punya Agung gak? Yang warnanya hitam-putih,” tanyaku.
“Apa? Nasi? Hitam? Kita mana ada nasi hitam, Gung? Yang ada itu nasi merah, nasi kuning, nasi uduk........"
“Dasi, Ma. Dasi corak garis hitam-putih Agung.” kataku memotong kalimatnya yang belum selesai.
“Oooo. Dasi? Di kamarmu, Gung! sudah mama simpan dengan rapi kok. Cari sana!”
“Enggak ada, Ma. Sudah Agung cari dari tadi,” kataku gelisah.
“Awas kalau sampai Mama ketemuin ya." Ancam Mama.
Mama pergi meninggalkan spot sibuknya sejenak, naik ke lantai dua, membuka pintu kamarku dan kembali dengan dasi yang kumaksud di tangan kanannya.
“Ini apa?” tanya Mama.
“T-t-tapi tadi gak ketemu.” Kataku terbata-bata.
“Ini, mama ketemu.” Katanya sambil berlalu menuruni tangga.
Aku mengalungkan dasi itu, membuntuti mama ke arah dapur, dan langsung duduk di meja makan sambil terus terheran-heran dengan kemampuan mama untuk menemukan semua benda yang tak bisa kutemukan. Pikiranku mulai melayang begitu keharuman sup buatan mama itu tercium tepat di ujung hidungku. Dengan cepat kulahap sarapanku itu sebelum gepulan asap panas yang membawa wewangian bumbu itu menghilang.
***
Aku berangkat menggunakan sepeda motor peninggalan ayahku, motor yang sudah berusia hampir sama denganku, dan ketika aku membunyikan klaksonnya, suaranya terdengar seperti bebek yang dilempari batu.
Perusahaan di mana aku melamar ini tidaklah begitu jauh dari rumah, sekitar 20 menit perjalanan dan Berada di lokasi strategis; diapit oleh dua mall yang cukup besar, dan membelakangi sebuah universitas ternama di kotaku.
Aku memarkirkan sepeda motor di pelataran parkir khusus motor yang berada di belakang gedung, dan berjalan keluar cukup jauh untuk masuk ke dalam gedung.
Begitu aku menginjakkan kaki di lobbi, seorang security berseragam biru tua tersenyum dan berjalan ke arahku, memotong sebelum aku berjalan lebih jauh.
“Selamat pagi, Pak,” sapanya. “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya ramah.
“Pagi," aku membalas sapaannya. "Saya ada jadwal interview dengan Pak Andri, pak.”
“Oh, kebetulan Pak Andri belum datang. Mas bisa duduk di ruang tunggu di dalam,” katanya mempersilakan.
“Oh, oke, terima kasih.” Aku berjalan masuk melewatinya. Mencari tempat yang nyaman dan mudah untuk ditemukan.
Sembari menunggu, aku menikmati suasana dalam kantor ini; speaker yang terus memanggil nomor urut dan tujuan loket, anak-anak yang berlari ke sana ke mari yang kemudian ditahan oleh security dan diminta untuk duduk, seorang laki-laki berusia lanjut yang terus mencibir mengenai lambannya proses administrasi, serta beberapa office boy dan office girl yang menyapu dan mengepel di beberapa titik.
Ketika pandanganku menyapu sekeliling, aku menangkap seorang Office Girl mencuri pandang ke arahku. Sesekali sambil mengepel lantai yang sudah terlihat bersih, dia melihat ke arahku. Aku sadar akan tatapannya tapi, aku berusaha untuk tetap stay cool.
Aku menunggu sejenak, dan akhirnya menatap ke arahnya. Mata kami saling bertemu, seketika itu juga dia mengalihkan pandangannya ke lantai, mengangkut ember penuh air kotor, lalu masuk ke ruangan sanitary. Mungkin aku telah menarik perhatiannya.
Aku terus memperhatikan pintu masuk dan keluar gedung ini. Menunggu pria yang bernama Pak Andri itu untuk melewatinya.
Maaf, pak. Bapak sedang menunggu pak Andri? Pak Andrinya lagi berhalangan, infonya sih hari ini gak masuk kantor.” kata seorang wanita muda yang berseragam CS.
Oh,” sepertinya aku belum bisa bekerja hari ini. “Besok?”
Besok seharusnya beliau sudah masuk.”
Aku mengangguk, kemudian berjalan pergi. Sekilas aku melihat bayangan gadis yang tadi. “Mungkin ia ingin mengucapkan ‘hati-hati dijalan’ kepadaku.” Pikirku. Aku tertawa geli, betapa percaya dirinya aku.
***
Besoknya aku datang kembali di jam yang sama dengan pakaian yang sama, yang membedakan hanyalah dasi, kali ini dengan motif kotak-kotak berwarna merah-hitam. Aku kembali masuk dan menunggu di tempat duduk yang sama, berharap agar aku tidak membuang waktuku sia-sia lagi di sini.
Kembali, aku melihat sosok gadis yang kemarin. Turun dari lantai dua, membawa beberapa cangkir kopi di atas nampan. Pandangan kami bertemu lagi, dia menundukkan kepala ke arahku dan mulutnya menggumamkan sesuatu yang aku tidak dapat aku mengerti, aku tidak bisa lip reading. Kemudian ia berjalan menghilang di balik dinding.
"Pak Agung?" Tanya seorang lelaki muda berusia sekitar tiga tahun lebih tua dariku, menyalami tanganku layaknya bertemu dengan seorang pebisnis hebat, genggaman tangan yang kuat dan goyangan yang cepat.
"Iya benar, pak." Jawabku. "Pak Andri?" Tanyaku ragu.
Pria itu mengangguk. "Sudah menunggu lama? Mari kita ke ruangan saya,"
Aku mengekorinya sampai tiba di salah satu ruangan yang cukup besar di ujung deretan ruangan-ruangan kecil yang kami lewati. Knop pintu berputar, dan keluar seorang gadis berambut hitam legam panjang mengenakan seragam Office Girl dengan serbet di pundak kanannya.
Gadis yang tadi,” Pikirku.
Pagi, kak,” sapanya pada Pak Andri.
"Pagi,” balas pak Andri dengan senyuman merekah di bibirnya.
Mata kami bertemu lagi. "Pagi," dia menyapaku. “lagi.” lanjutnya. Tapi sebelum aku dapat membalas sapaannya, dengan cepat dia mengalihkan pandangannya ke tempat lain dan bergegas pergi dari tempat itu. Aku merasa aneh dengan kata ‘lagi’ yang barusan ia ucapkan dengan pelan.
Aku sempat melirik ke arah name tag-nya. "Lina Agustina." Tanpa sadar aku menggumamkan namanya. Dia berhenti, melirik ke belakang, dan melempar senyum kemudian berjalan pergi, hilang di balik dinding.
"Lina itu hebat. Kerja di sini sudah dua tahun, jadi OG." Tuturnya. Aku mengangguk pelan, mencoba mendengarkan dengan seksama. "Dia kuliah di universitas di belakang kantor kita. Dapat beasiswa."
Aku kembali melihat ke arah menghilangnya Lina. Aku menjadi semakin penasaran dengan sosoknya.
* * *
Kini aku duduk di dalam ruangan Pak Andri. Dikelilingi sebuah rak buku besar dengan berbagai buku; buku-buku ekonomi serta beberapa novel. Televisi 30 inch yang tergantung di dinding sedang dalam keadaan menyala tanpa suara, menayangkan program acara petualangan anak kecil ke dalam hutan.
Pak Andri duduk di kursi panasnya, sekarang posisinya berada tepat di depanku. Memencet angka-angka yang tertera di telepon, dan meminta dua cangkir kopi.
“"Oke, kamu diterima."” Kata Pak Andri.
Ha? Aku diterima bahkan tanpa perlu interview?
"“Bukannya saya harusnya melewati tahap interview dulu, Pak?"” tanyaku memastikan.
“"Tidak perlu. Karena kau tidak bekerja di perusahaan ini," katanya dan sontak aku terkejut dengan pernyataan tersebut. Apa aku ditolak untuk bekerja?
"“Melainkan kau bekerja langsung di bawah naunganku," lanjutnya.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu menghentikan pembicaraan kami. “Masuk, seru Pak Andri.
Lina masuk setelah mendapat persetujuan untuk masuk ke dalam ruangan, dengan membawa nampan yang di atasnya terdapat dua gelas kopi dengan asap yang masih mengepul. Meski dengan seragam OG, dia tetap tampak mempesona. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku merasakan debaran di dadaku ini seperti ini. Namun yang dapat kupastikan adalah, ini debaran yang paling kuat yang pernah kurasakan.
“"Silahkan diminum,"” katanya dengan suara lembutnya yang berhasil membuatku merinding, indah.
Aku mengangguk pelan. Mengambil gelas bagianku, dan langsung menyeruputnya.
“"Oke. Kembali ke pembahasan tadi. Aku ingin kau selalu berada di samping Lina, adikku ini.”"
“"A-adik? Dan apa maksud dari selalu berada di sampingnya?"” Tanyaku gagap.
"“Lina ini adik angkatku. Aku bertemu dengannya setelah lulus SMA, dan meyakinkan ayahku bahwa aku ingin dia menjadi adikku.” Ucapnya. “Aku tau identitasmu, semuanya sudah lengkap. Pemegang sabuk hitam termuda yang terhambat status kehidupannya karena ayah yang meninggal dunia dan tidak ada pengganti yang bisa mencari nafkah.”"
"“Dan bahkan..."…” belum sempat  Pak Andri menyelesaikan kalimatnya, Lina memotongnya.
"Dan bahkan mengikuti pertandingan illegal demi mendapatkan uang. Semua itu dilakukan demi sang ibu yang hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga.”"
“"Tenang,”" kata pak Andri. “"Aku tau kau anak yang baik. Maka dari itu, aku mempercayakan adikku padamu. Bagaimana? Apa kau akan menerima pekerjaan ini?"” tanyanya.
Aku berpikir keras. Ketika aku baru saja akan memulai kebiasaanku ketika sedang berpikir yakni menggigit kuku jari, Lina menghentikanku.
“"Dan tolong hentikan kebiasaan menggigit kuku jari itu, tuan Agung Wicaksono.”"
"“Mengenai gajinya, tidak perlu takut. Sudah sangat lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan kau dan ibumu, bahkan ditambah dengan kebutuhan Lina.”"
Aku mengangguk, tersenyum lebar. Terima kasih, Tuhan. Terima kasih, ayah. Kau mengajariku untuk menjadi orang baik. Dan inilah hasilnya, semoga aku bisa membahagiakan ibu dengan ilmu yang kau turunkan kepadaku. Karate melawan kejahatan. Gumamku.
***
"“Selamat pagi, tuan putri.”" Sapaku kepada Lina yang baru saja turun dari lantai dua. Semenjak aku menerima tawaran pekerjaan pak Andri. Aku dan ibu pindah ke sebuah apartemen yang dekat dengan rumah pak Andri.
“"Jangan memanggil pacarmu dengan tuan putri, aku jadi merasa jauh  lebih tinggi di atasmu tau."” Lina cemberut.
"“Maafkan aku sayang,”" aku mencubit pipinya. “ayo jalan.” Aku menarik tangannya.
Dia berhenti. “"Aku belum membalas sapaanmu,” katanya. “pagi, sayang."”
            Aku tersenyum, merasa sangat bahagia berada di sampingnya.
"“Kau tahu, selama ini aku menyimpan rahasia darimu."” Katanya.
"“Kurasa aku tidak perlu menutupinya lagi. Setiap kali aku melihatmu, aku selalu menggumamkan ucapan ‘selamat pagi’ dan berdoa untukmu. Semoga kamu selalu baik-baik saja seharian. Dulu aku berharap bahwa aku bisa seperti ini, karena aku merasa sangat mengenalmu. Dan juga karena aku selalu melihatmu dari jauh.”"
“"Sebuah ucapan yang sangat sederhana, membuat kita bersama seperti ini."”
"“Cinta tidak perlu diucapkan, yang penting bagaimana kita bisa menunjukkannya,” ucapnya. “Seperti sapaanku yang tidak sampai padamu, tapi aku ingin memberikan nilai yang bermakna di dalamnya. Aku ingin kamu bisa menjalani hari dengan semangat.”"
Happy Monthsary, sayang.” Aku memberikan kecupan di keningnya. Semoga dengan ini  dia mengerti, bahwa ada pesan tersirat dibalik kecupanku Aku mencintainya.