Suara mesin motor itu berderu keras di depan rumahku. Aku yang masih merasa ngantuk berusaha menutup kedua
telinga dengan bantal. Karena semalam aku sibuk mengurusi cerita agar tidak
dikejar-kejar editor, aku harus mencukupkan daya tahan mataku untuk hari ini. Aku
melihat jam menunjukkan arah jarum pendek berada di angka delapan.
Selama lima menit lamanya, aku
terjaga, aku harus segera menghentikannya jika aku ingin melanjutkan tidur
indahku yang tidak cukup.
Aku berjalan keluar. Membuka pintu
rumahku, bersandar cukup lama di pintu sambil menghentak-hentakkan kakiku
dengan kuat.
"Bisa kau menghentikan
kegiatan itu?" seruku dengan suara yang cukup keras sehingga aku bisa
mendengar suaraku menggema di lorong sempit gangku.
Tidak ada tanggapan darinya,
walaupun ia sempat berhenti sejenak, namun ia kembali melakukan kegiatan ‘memanaskan
motor’. Sekarang suaranya terdengar semakin keras. “Dia sengaja,” pikirku.
"Woi!" aku berseru dengan
nyaring. Ia berhenti.
"Kenapa kau tidak balik tidur
di kamar tercintamu?" Ia akhirnya bersuara.
"Apa kau tuli?! Bagaimana
mungkin aku bisa tidur seperti ini jika kau terus ngegas motormu seperti
itu?!!" Aku yang semakin geram dengan jawabannya, mulai memperbesar volume
suaraku.
Dia berhenti dan kemudian masuk ke
dalam rumahnya dengan tenang.
Aku pun masuk kembali ke dalam
rumah dengan rasa lega, akhirnya aku dapat merebahkankan kembali badan ini ke
kasurku yang empuk.
Aku terbangun karena ketukan pada
jendela kamarku, aku melihat ke arah jam dinding, menunjukkan pukul 11. Aku membuka
tirai jendela dan melihat sosok gadis cantik yang berdiri di halaman rumahku.
Rinda, sosok gadis keturunan Jawa berkulit putih halus, berambut hitam legam
yang panjang serta memiliki senyum yang manis. Lirikan matanya seringkali
membuatku berdiri membatu.
Sayangnya
kedua bola mata indahnya telah dimiliki oleh lelaki tidak berperasaan yang
sengaja membuatku bangun dari tidur lelapku.
Aku
tidak nyaman membuat seorang wanita berdiri terlalu lama di luar rumah. Dengan segera
aku meloncat dari tempat tidurku dan berjalan keluar dengan langkah yang tegap,
tidak lupa untuk merapikan rambutku sebelum menatap wajahnya yang cantik.
“Hai,” sapaku seketika setelah
membuka pintu.
“Hai
juga,” dia membalas sapaanku. “baru bangun tidur bang?” tanyanya.
“Iya
nih, semalam begadang kerjain proyek?” Jawabku.
“Wuih,
proyek gede yah mas?”
“Yah,
begitulah,” jawabku. “Dalam rangka apa nih kesini?”
“Ini
di dapur buat sayur kebanyakan. Mau bagiin, jadi neng datang dulu, ngecek, takutnya
kamu keluar.”
“Oh,
kebetulan belum sarapan pagi,” Kataku. “boleh deh, dikit aja ya, ntar gak
habis.”
Ia kemudian
berjalan pergi kembali ke rumahnya untuk mengambilkan sayur buatannya yang
sengaja ia siapkan untukku. Aku yang kebetulan belum sarapan pagi, dengan
senang hati menerimanya.
Ia
keluar dengan membawa rantang makanan bercorak bunga ditangan kanannya.
“Nih,
kalau sudah habis, jangan lupa cuci ya rantangnya.” Perintahnya dengan nada
centil.
“Iya,
Rinda,” jawabku. “aku bersihin sampai gak berwarna nanti.”
Ia kembali
ke dalam rumahnya, dan aku pun masuk dan ingin segera menyantap sayur buatan
Rinda.
Aku masuk ke dalam dapur dan
membuka rantang makanannya. Lontong, semur ayam, sayur asam dan sepotong daging
yang tidak kuketahui asalnya. Semuanya makanan kesukaanku kecuali daging itu. Namun
pada gigitan pertama, rasanya enak, aku melanjutkannya kegigitan kedua, ketiga,
dan seterusnya.
Aku langsung memakannya sampai
habis dan memastikan bahwa tidak ada yang tersisa di dalam rantang. Benar-benar
nikmat sayur buatan Rinda.
Tak berselang lama, aku mulai
merasakan kantuk yang sangat tidak dapat tertahankan. Mungkin karena aku baru
menyelesaikan sarapan, dan kesadaranku yang masih belum kembali penuh
membuatku mengantuk lagi.
Aku berjalan masuk ke dalam kamar,
merebahkan badanku, dan kembali tertidur dengan cepat.
Kepalaku
terasa berat. Aku tidak tahu ini jam berapa, namun dari pandanganku semua
terlihat gelap. Aku kembali mendengar suara deru mesin motor suami Rinda, namun
kali ini, suaranya begitu dekat.
Aku
berusaha untuk bangun dan melihat ke arah jendela. Namun kedua tanganku diikat
ke belakang dan kakiku diikat dengan sangat kuat. Mulutku di lakban, aku tidak
dapat bergerak. Seluruh kamar sudah menjadi hitam gelap karena asap mesin.
Asap!
Aku berusaha mencari sumber asap
tersebut. Dan ternyata itu berasal dari pintu kamarku. Ada satu lubang yang
baru saja dibuat dengan sangat rapi dan sesuai dengan ukuran masuknya lubang
knalpot motor.
Semua jalur keluar masuknya udara
sudah ditutup.
Aku berusaha berteriak,
berguling-guling menuju ke arah pintu. Namun bodohnya aku. Semakin banyak aku
bergerak, semakin banyak aku membutuhkan oksigen dan bernapas. Maka semakin
cepat pula aku menghirup asap motor tua yang akan membunuhku dengan perlahan.
Aku akhirnya mengerti, makanan yang
diberikan oleh Rinda mempunyai obat tidur yang cukup kuat. Dan sikap baiknya
tadi, sialan, aku tidak menyangka gadis polos itu ternyata sekejam ini.
Aku melihat jam dinding menunjukkan
pukul 3 sore, sudah sekitar 4 jam aku tertidur pulas.
Kemudian aku melihat secarik kertas
yang tertempel di dinding samping tempat tidurku. Disana tertuliskan,
Apa enak makanan
buatanku? Aku memasaknya dengan cinta. Apa enak potongan daging yang sudah masuk
ke dalam lambungmu, yang berada di dalam sayur asam buatanku tadi? Apa kau tau
daging apa itu? Itu adalah daun telinga suamiku, aku memisahkannya dari kepalanya karena ia tidak mendengarkan
perintahku. Apa kau suka? Setelah ini, akan aku berikan dagingmu kepada suamiku
yang telah bekerja keras untuk membunuhmu dengan perlahan. Seharusnya dari awal
kau tidak pernah menyentuh sedikitpun urusan kegiatan kami.
Aku merinding membacanya. Ternyata Rinda
yang kukenal selama ini, memiliki kepribadian ganda. Aku merasakan ingin
muntah, terutama membaca kata “daun telinga” itu.
Aku semakin lemas, tidak ada
oksigen yang masuk ke dalam kamar, hanya karbon dioksida hasil mesin motor itu
yang terus berderu setelah sekian lama. Aku pasrah. Apa yang terjadi dengan
hidupku, aku terima.
Aku menutup mataku. Baru kali ini
aku memutuskan untuk berdoa, setelah sekian lama aku membolos untuk berkomunikasi
dengan sang pencipta. Sekarang, aku menyerahkan seluruh hidupku pada-Nya.
Dalam hening, aku hanya bisa
mendengar deru motor yang tak berhenti, tidak terdengar suara lain, bahkan jam
dinding yang biasa berdetak sangat keras, kini tak terdengar lagi.
Aku menghirup napas panjang,
kemudian menahan napas cukup lama. Ini agar aku masih bisa bertahan lama, aku
berharap akan datangnya keajaiban.
Suara sirine berbunyi, seruan deru
motor berhenti.
Aku membuka mataku. Cahaya merah
dan biru berputar menembus melewati kaca jendelaku. Aku tersenyum, namun aku
tidak berharap penuh, aku takut bahwa kenyataanya adalah itu cahaya yang dengan
sengaja Rinda buat agar ia semakin puas menyiksaku.
Dan ternyata aku salah. Aku mendengar
derap langkah kaki yang cukup banyak, mungkin ini polisi, atau petugas rumah
sakit. Entahlah, yang penting, aku selamat. Aku kehilangan kesadaran.
Aku terbangun di dalam sebuah
ruangan persegi. Kali ini, aku melihat dengan jelas cat yang melapisi dinding
ruangan ini berwarna putih, tidak seperti ruangan kelam yang hampir membunuhku.
Aku mengerling. Menemukan sahabatku,
Gerry, sedang tertidur di sofa merah besar. Aku tersenyum melihatnya. Aku tersenyum
karena masih diberi kesempatan untuk dapat melihat wajah bodohnya.
Melihat wajahnya yang sedang tertidur,
membuatku ingin sekali melempar bantal ke arahnya. Dia harus bangun. Tanpa pikir
panjang lagi, kulemparkan bantalku dengan kuat ke arahnya.
Dia bangun dan terkejut.
“Apa?! Apa ini?!” dia berteriak
dengan mulut yang terbuka lebar.
“Sudah bangun?” tanyaku.
“Ah, sialan kau, aku sedang
bermimpi membawa tante-tante jalan. Aku pikir itu suaminya melempar sesuatu ke
arahku.” Katanya.
Aku tertawa. “Kau masih bisa
bermimpi seperti itu? Disaat temanmu ini hampir mati?”
“Biasa saja,” jawabnya.
“Bagaimana kau bisa disini? Terakhir
aku mendengar banyak langkah kaki yang masuk ke dalam rumahku.” Tanyaku.
“Oh, itu, gara-gara kau tidak
mengirimkan hasil kerjamu. Aku menunggu semalaman, dan kau tidak menghubungiku
hari ini. Aku pikir kau sengaja menghindariku karena tidak menyelesaikan
tugasmu.” Katanya.
“Hah? Aku sudah mengirimkannya
semalam.”
“Tidak ada masuk.” Jawabnya santai.
“Aku tidak dapat bonus lagi bulan
ini.” Ujarku sedih.
“Kau tidak dapat bonus, dan kau
hampir mati. Untungnya aku segera mencoba datang mencarimu,” katanya. “dan pas
ketika aku berada di depan rumahmu, aku melihat pasangan suami istri sedang
berdiri di depan rumahmu, sang suami memasukkan motor ke dalam rumah dan sang
istri terus membentaknya.”
“Kemana mereka berdua sekarang?”
“Di kantor polisi. Istrinya itu
gila ya? Kau ternyata bertetangga dengan orang gila.”
“Yah, dia cantik, bro. Ternyata psyco.”
Ia mengedikkan bahunya. “Pas di
kantor polisi, sang istri masih bisa tertawa dan meneriakkan namamu berulang
kali ‘aku hampir membunuhnya, aku hampir membunuhnya’.”
“Gila tuh cewek,” kataku. “terus, suaminya?”
“Suaminya
cuman mengekorinya, tertunduk tak bersuara.”
“Apa
kau lihat ia menutup bagian telinganya dengan kapas atau sesuatu yang tampak
seperti luka?”
Gerry
berpikir sesaat, dan matanya memberikanku jawaban yang kuinginkan.
“Ada,
ia menutupinya dengan kapas. Kenapa?”
“Aku
menjadikannya santapan pagi,” ucapku santai.
Gerry sekarang melihatku ketakutan.