Aku berdiri tegap, di
depan sebuah cermin besar di dalam kamarku. Menatap fokus ke dalam cermin, bayangan
diriku dengan sempurna berdiri disana, sesosok lelaki yang telah masuk ke dalam
kelompok umur kepala dua yang siap melakukan interview pekerjaan dengan
setelan ala pegawai baru; kemeja putih yang baru disetrika tadi subuh dan
celana kain hitam.
Cukup lama aku termenung
dan aku merasakan ada sesuatu yang kurang. Aku berkeliling berputar sesaat di
dalam kamarku. Pandanganku langsung menyapu ke setiap bagian tubuhku, berusaha menerka-nerka
benda penting apa yang terlupakan itu. Oh, Dasi! seruku pelan sambil
mengacungkan jari telunjukku ke langit-langit kamar. “Di mana aku menyimpannya?
pikirku sambil mengobrak-abrik lemari pakaianku.
Dengan segera aku keluar
dari kamar, meluncur ke dapur, dan mencari sesosok wanita berusia lanjut yang
mungkin sedang memotong-motong wortel dengan pisau dapur kebanggaannya.
Ma, seruku ketika
mendengar suara pisau yang sedang beradu dengan papan kayu dari dapur, mama
sedang memotong-motong daun bawang yang kutebak akan mengapung diatas sup
jagung pesananku semalam untuk sarapan nanti. Ada lihat dasi punya Agung gak?
Yang warnanya hitam-putih, tanyaku.
Apa? Nasi? Hitam? Kita
mana ada nasi hitam, Gung? Yang ada itu nasi merah, nasi kuning, nasi
uduk........"
Dasi, Ma. Dasi corak
garis hitam-putih Agung. kataku memotong kalimatnya yang belum selesai.
Oooo. Dasi? Di kamarmu,
Gung! sudah mama simpan dengan rapi kok. Cari sana!
Enggak ada, Ma. Sudah Agung
cari dari tadi, kataku gelisah.
Awas kalau sampai Mama ketemuin
ya." Ancam Mama.
Mama pergi meninggalkan spot sibuknya sejenak, naik ke lantai
dua, membuka pintu kamarku dan kembali dengan dasi yang kumaksud di tangan kanannya.
Ini apa? tanya Mama.
T-t-tapi tadi gak
ketemu. Kataku terbata-bata.
“Ini, mama ketemu. Katanya
sambil berlalu menuruni tangga.
Aku mengalungkan dasi
itu, membuntuti mama ke arah dapur, dan langsung duduk di meja makan sambil
terus terheran-heran dengan kemampuan mama untuk menemukan semua benda yang tak
bisa kutemukan. Pikiranku mulai melayang begitu keharuman sup buatan mama itu
tercium tepat di ujung hidungku. Dengan cepat kulahap sarapanku itu sebelum
gepulan asap panas yang membawa wewangian bumbu itu menghilang.
***
Aku berangkat
menggunakan sepeda motor peninggalan ayahku, motor yang sudah berusia hampir
sama denganku, dan ketika aku membunyikan klaksonnya, suaranya terdengar
seperti bebek yang dilempari batu.
Perusahaan di mana aku
melamar ini tidaklah begitu jauh dari rumah, sekitar 20 menit perjalanan dan
Berada di lokasi strategis; diapit oleh dua mall yang cukup besar, dan
membelakangi sebuah universitas ternama di kotaku.
Aku memarkirkan sepeda
motor di pelataran parkir khusus motor yang berada di belakang gedung, dan
berjalan keluar cukup jauh untuk masuk ke dalam gedung.
Begitu aku menginjakkan
kaki di lobbi, seorang security
berseragam biru tua tersenyum dan berjalan ke arahku, memotong sebelum aku berjalan
lebih jauh.
Selamat pagi, Pak, sapanya.
Ada yang bisa saya bantu? tanyanya ramah.
Pagi," aku
membalas sapaannya. "Saya ada jadwal interview dengan Pak Andri,
pak.”
Oh, kebetulan Pak Andri
belum datang. Mas bisa duduk di ruang tunggu di dalam, katanya mempersilakan.
Oh, oke, terima kasih.
Aku berjalan masuk melewatinya. Mencari tempat yang nyaman dan mudah untuk
ditemukan.
Sembari menunggu, aku
menikmati suasana dalam kantor ini; speaker yang terus memanggil nomor urut dan
tujuan loket, anak-anak yang berlari ke sana ke mari yang kemudian ditahan oleh
security dan diminta untuk duduk,
seorang laki-laki berusia lanjut yang terus mencibir mengenai lambannya proses
administrasi, serta beberapa office boy dan
office girl yang menyapu dan mengepel di beberapa titik.
Ketika pandanganku menyapu sekeliling, aku menangkap seorang Office
Girl mencuri pandang ke arahku. Sesekali sambil mengepel lantai yang sudah
terlihat bersih, dia melihat ke arahku. Aku sadar akan tatapannya tapi, aku
berusaha untuk tetap stay cool.
Aku menunggu sejenak, dan akhirnya menatap ke arahnya. Mata kami
saling bertemu, seketika itu juga dia mengalihkan pandangannya ke lantai, mengangkut
ember penuh air kotor, lalu masuk ke ruangan sanitary. Mungkin aku telah
menarik perhatiannya.
Aku terus memperhatikan pintu masuk dan keluar gedung ini.
Menunggu pria yang bernama Pak Andri itu untuk melewatinya.
Maaf, pak. Bapak sedang menunggu pak Andri? Pak Andrinya lagi
berhalangan, infonya sih hari ini gak masuk kantor. kata seorang wanita muda
yang berseragam CS.
Oh, sepertinya aku belum bisa bekerja hari ini. Besok?
Besok seharusnya beliau sudah masuk.
Aku mengangguk, kemudian berjalan pergi. Sekilas aku melihat
bayangan gadis yang tadi. Mungkin ia ingin mengucapkan hati-hati dijalan
kepadaku. Pikirku. Aku tertawa geli, betapa percaya dirinya aku.
***
Besoknya aku datang kembali di jam yang sama dengan pakaian yang
sama, yang membedakan hanyalah dasi, kali ini dengan motif kotak-kotak berwarna
merah-hitam. Aku kembali masuk dan menunggu di tempat duduk yang sama, berharap
agar aku tidak membuang waktuku sia-sia lagi di sini.
Kembali, aku melihat sosok gadis yang kemarin. Turun dari lantai
dua, membawa beberapa cangkir kopi di atas nampan. Pandangan kami bertemu lagi,
dia menundukkan kepala ke arahku dan mulutnya menggumamkan sesuatu yang aku
tidak dapat aku mengerti, aku tidak bisa lip reading. Kemudian ia
berjalan menghilang di balik dinding.
"Pak Agung?" Tanya seorang lelaki muda berusia sekitar
tiga tahun lebih tua dariku, menyalami tanganku layaknya bertemu dengan seorang
pebisnis hebat, genggaman tangan yang kuat dan goyangan yang cepat.
"Iya benar, pak." Jawabku. "Pak Andri?"
Tanyaku ragu.
Pria itu mengangguk. "Sudah menunggu lama? Mari kita ke
ruangan saya,"
Aku mengekorinya sampai tiba di salah satu ruangan yang cukup
besar di ujung deretan ruangan-ruangan kecil yang kami lewati. Knop pintu
berputar, dan keluar seorang gadis berambut hitam legam panjang mengenakan
seragam Office Girl dengan serbet di
pundak kanannya.
Gadis yang tadi, Pikirku.
Pagi, kak, sapanya pada Pak Andri.
"Pagi, balas pak Andri dengan senyuman merekah di bibirnya.
Mata kami bertemu lagi. "Pagi," dia menyapaku. lagi. lanjutnya.
Tapi sebelum aku dapat membalas sapaannya, dengan cepat dia mengalihkan
pandangannya ke tempat lain dan bergegas pergi dari tempat itu. Aku merasa aneh
dengan kata lagi yang barusan ia ucapkan dengan pelan.
Aku sempat melirik ke arah name tag-nya. "Lina
Agustina." Tanpa sadar aku menggumamkan namanya. Dia berhenti, melirik ke
belakang, dan melempar senyum kemudian berjalan pergi, hilang di balik dinding.
"Lina itu hebat. Kerja di sini sudah dua tahun, jadi OG." Tuturnya. Aku mengangguk
pelan, mencoba mendengarkan dengan seksama. "Dia kuliah di universitas di belakang
kantor kita. Dapat beasiswa."
Aku kembali melihat ke arah menghilangnya Lina. Aku menjadi
semakin penasaran dengan sosoknya.
* * *
Kini aku duduk di dalam ruangan Pak Andri. Dikelilingi sebuah rak
buku besar dengan berbagai buku; buku-buku ekonomi serta beberapa novel.
Televisi 30 inch yang tergantung di dinding sedang dalam keadaan menyala tanpa
suara, menayangkan program acara petualangan anak kecil ke dalam hutan.
Pak Andri duduk di kursi panasnya, sekarang posisinya berada tepat
di depanku. Memencet angka-angka yang tertera di telepon, dan meminta dua cangkir
kopi.
"Oke, kamu diterima." Kata Pak Andri.
Ha? Aku diterima
bahkan tanpa perlu interview?
"Bukannya saya harusnya melewati tahap interview dulu, Pak?"
tanyaku memastikan.
"Tidak perlu. Karena kau tidak bekerja di perusahaan ini," katanya dan sontak aku terkejut dengan pernyataan tersebut. Apa
aku ditolak untuk bekerja?
"Melainkan kau bekerja langsung di bawah naunganku," lanjutnya.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu menghentikan pembicaraan kami. Masuk, seru Pak Andri.
Lina masuk setelah mendapat persetujuan untuk masuk ke dalam
ruangan, dengan membawa nampan yang di atasnya terdapat dua gelas kopi dengan
asap yang masih mengepul. Meski dengan seragam OG, dia tetap tampak mempesona. Aku tidak ingat kapan terakhir kali
aku merasakan debaran di dadaku ini seperti ini. Namun yang dapat kupastikan
adalah, ini debaran yang paling kuat yang pernah kurasakan.
"Silahkan diminum," katanya dengan suara lembutnya yang berhasil
membuatku merinding, indah.
Aku mengangguk pelan. Mengambil gelas bagianku, dan langsung
menyeruputnya.
"Oke. Kembali ke pembahasan tadi. Aku ingin kau selalu berada di
samping Lina, adikku ini."
"A-adik? Dan apa maksud dari selalu berada di sampingnya?" Tanyaku
gagap.
"Lina ini adik angkatku. Aku bertemu dengannya setelah lulus SMA,
dan meyakinkan ayahku bahwa aku ingin dia menjadi adikku. Ucapnya. Aku tau
identitasmu, semuanya sudah lengkap. Pemegang sabuk hitam termuda yang
terhambat status kehidupannya karena ayah yang meninggal dunia dan tidak ada
pengganti yang bisa mencari nafkah."
"Dan bahkan..."
belum sempat Pak Andri menyelesaikan kalimatnya, Lina
memotongnya.
"Dan bahkan mengikuti pertandingan illegal demi mendapatkan
uang. Semua itu dilakukan demi sang ibu yang hanya bekerja sebagai ibu rumah
tangga."
"Tenang," kata pak Andri. "Aku tau kau anak yang baik. Maka dari
itu, aku mempercayakan adikku padamu. Bagaimana? Apa kau akan menerima
pekerjaan ini?" tanyanya.
Aku berpikir keras. Ketika aku baru saja akan memulai kebiasaanku
ketika sedang berpikir yakni menggigit kuku jari, Lina menghentikanku.
"Dan tolong hentikan kebiasaan menggigit kuku jari itu, tuan Agung
Wicaksono."
"Mengenai gajinya, tidak perlu takut. Sudah sangat lebih dari cukup
untuk memenuhi kebutuhan kau dan ibumu, bahkan ditambah dengan kebutuhan Lina."
Aku mengangguk, tersenyum lebar. Terima kasih,
Tuhan. Terima kasih, ayah. Kau mengajariku untuk menjadi orang baik. Dan inilah
hasilnya, semoga aku bisa membahagiakan ibu dengan ilmu yang kau turunkan
kepadaku. Karate melawan kejahatan. Gumamku.
***
"Selamat pagi, tuan putri." Sapaku kepada Lina yang baru saja turun
dari lantai dua. Semenjak aku menerima tawaran pekerjaan pak Andri. Aku dan ibu
pindah ke sebuah apartemen yang dekat dengan rumah pak Andri.
"Jangan memanggil pacarmu dengan tuan putri, aku jadi merasa
jauh lebih tinggi di atasmu tau." Lina
cemberut.
"Maafkan aku sayang," aku mencubit pipinya. ayo jalan. Aku
menarik tangannya.
Dia berhenti. "Aku belum membalas sapaanmu, katanya. pagi,
sayang."
Aku tersenyum,
merasa sangat bahagia berada di sampingnya.
"Kau tahu, selama ini aku menyimpan rahasia darimu." Katanya.
"Kurasa aku tidak perlu menutupinya lagi. Setiap kali aku
melihatmu, aku selalu menggumamkan ucapan selamat pagi dan berdoa untukmu. Semoga
kamu selalu baik-baik saja seharian. Dulu aku berharap bahwa aku bisa seperti
ini, karena aku merasa sangat mengenalmu. Dan juga karena aku selalu melihatmu
dari jauh."
"Sebuah ucapan yang sangat sederhana, membuat kita bersama seperti ini."
"Cinta tidak perlu diucapkan, yang penting bagaimana kita bisa
menunjukkannya, ucapnya. Seperti sapaanku yang tidak sampai padamu, tapi aku
ingin memberikan nilai yang bermakna di dalamnya. Aku ingin kamu bisa menjalani
hari dengan semangat."
“Happy Monthsary, sayang. Aku memberikan kecupan di keningnya. Semoga dengan ini dia mengerti, bahwa ada pesan tersirat dibalik
kecupanku Aku mencintainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar