Powered By Blogger

Sabtu, 12 September 2015

A Simple 'Morning'

Aku berdiri tegap, di depan sebuah cermin besar di dalam kamarku. Menatap fokus ke dalam cermin, bayangan diriku dengan sempurna berdiri disana, sesosok lelaki yang telah masuk ke dalam kelompok umur kepala dua yang siap melakukan interview pekerjaan dengan setelan ala pegawai baru; kemeja putih yang baru disetrika tadi subuh dan celana kain hitam.
Cukup lama aku termenung dan aku merasakan ada sesuatu yang kurang. Aku berkeliling berputar sesaat di dalam kamarku. Pandanganku langsung menyapu ke setiap bagian tubuhku, berusaha menerka-nerka benda penting apa yang terlupakan itu. “Oh, Dasi!” seruku pelan sambil mengacungkan jari telunjukku ke langit-langit kamar. “Di mana aku menyimpannya?” pikirku sambil mengobrak-abrik lemari pakaianku.
Dengan segera aku keluar dari kamar, meluncur ke dapur, dan mencari sesosok wanita berusia lanjut yang mungkin sedang memotong-motong wortel dengan pisau dapur kebanggaannya.
“Ma,” seruku ketika mendengar suara pisau yang sedang beradu dengan papan kayu dari dapur, mama sedang memotong-motong daun bawang yang kutebak akan mengapung diatas sup jagung pesananku semalam untuk sarapan nanti. “Ada lihat dasi punya Agung gak? Yang warnanya hitam-putih,” tanyaku.
“Apa? Nasi? Hitam? Kita mana ada nasi hitam, Gung? Yang ada itu nasi merah, nasi kuning, nasi uduk........"
“Dasi, Ma. Dasi corak garis hitam-putih Agung.” kataku memotong kalimatnya yang belum selesai.
“Oooo. Dasi? Di kamarmu, Gung! sudah mama simpan dengan rapi kok. Cari sana!”
“Enggak ada, Ma. Sudah Agung cari dari tadi,” kataku gelisah.
“Awas kalau sampai Mama ketemuin ya." Ancam Mama.
Mama pergi meninggalkan spot sibuknya sejenak, naik ke lantai dua, membuka pintu kamarku dan kembali dengan dasi yang kumaksud di tangan kanannya.
“Ini apa?” tanya Mama.
“T-t-tapi tadi gak ketemu.” Kataku terbata-bata.
“Ini, mama ketemu.” Katanya sambil berlalu menuruni tangga.
Aku mengalungkan dasi itu, membuntuti mama ke arah dapur, dan langsung duduk di meja makan sambil terus terheran-heran dengan kemampuan mama untuk menemukan semua benda yang tak bisa kutemukan. Pikiranku mulai melayang begitu keharuman sup buatan mama itu tercium tepat di ujung hidungku. Dengan cepat kulahap sarapanku itu sebelum gepulan asap panas yang membawa wewangian bumbu itu menghilang.
***
Aku berangkat menggunakan sepeda motor peninggalan ayahku, motor yang sudah berusia hampir sama denganku, dan ketika aku membunyikan klaksonnya, suaranya terdengar seperti bebek yang dilempari batu.
Perusahaan di mana aku melamar ini tidaklah begitu jauh dari rumah, sekitar 20 menit perjalanan dan Berada di lokasi strategis; diapit oleh dua mall yang cukup besar, dan membelakangi sebuah universitas ternama di kotaku.
Aku memarkirkan sepeda motor di pelataran parkir khusus motor yang berada di belakang gedung, dan berjalan keluar cukup jauh untuk masuk ke dalam gedung.
Begitu aku menginjakkan kaki di lobbi, seorang security berseragam biru tua tersenyum dan berjalan ke arahku, memotong sebelum aku berjalan lebih jauh.
“Selamat pagi, Pak,” sapanya. “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya ramah.
“Pagi," aku membalas sapaannya. "Saya ada jadwal interview dengan Pak Andri, pak.”
“Oh, kebetulan Pak Andri belum datang. Mas bisa duduk di ruang tunggu di dalam,” katanya mempersilakan.
“Oh, oke, terima kasih.” Aku berjalan masuk melewatinya. Mencari tempat yang nyaman dan mudah untuk ditemukan.
Sembari menunggu, aku menikmati suasana dalam kantor ini; speaker yang terus memanggil nomor urut dan tujuan loket, anak-anak yang berlari ke sana ke mari yang kemudian ditahan oleh security dan diminta untuk duduk, seorang laki-laki berusia lanjut yang terus mencibir mengenai lambannya proses administrasi, serta beberapa office boy dan office girl yang menyapu dan mengepel di beberapa titik.
Ketika pandanganku menyapu sekeliling, aku menangkap seorang Office Girl mencuri pandang ke arahku. Sesekali sambil mengepel lantai yang sudah terlihat bersih, dia melihat ke arahku. Aku sadar akan tatapannya tapi, aku berusaha untuk tetap stay cool.
Aku menunggu sejenak, dan akhirnya menatap ke arahnya. Mata kami saling bertemu, seketika itu juga dia mengalihkan pandangannya ke lantai, mengangkut ember penuh air kotor, lalu masuk ke ruangan sanitary. Mungkin aku telah menarik perhatiannya.
Aku terus memperhatikan pintu masuk dan keluar gedung ini. Menunggu pria yang bernama Pak Andri itu untuk melewatinya.
Maaf, pak. Bapak sedang menunggu pak Andri? Pak Andrinya lagi berhalangan, infonya sih hari ini gak masuk kantor.” kata seorang wanita muda yang berseragam CS.
Oh,” sepertinya aku belum bisa bekerja hari ini. “Besok?”
Besok seharusnya beliau sudah masuk.”
Aku mengangguk, kemudian berjalan pergi. Sekilas aku melihat bayangan gadis yang tadi. “Mungkin ia ingin mengucapkan ‘hati-hati dijalan’ kepadaku.” Pikirku. Aku tertawa geli, betapa percaya dirinya aku.
***
Besoknya aku datang kembali di jam yang sama dengan pakaian yang sama, yang membedakan hanyalah dasi, kali ini dengan motif kotak-kotak berwarna merah-hitam. Aku kembali masuk dan menunggu di tempat duduk yang sama, berharap agar aku tidak membuang waktuku sia-sia lagi di sini.
Kembali, aku melihat sosok gadis yang kemarin. Turun dari lantai dua, membawa beberapa cangkir kopi di atas nampan. Pandangan kami bertemu lagi, dia menundukkan kepala ke arahku dan mulutnya menggumamkan sesuatu yang aku tidak dapat aku mengerti, aku tidak bisa lip reading. Kemudian ia berjalan menghilang di balik dinding.
"Pak Agung?" Tanya seorang lelaki muda berusia sekitar tiga tahun lebih tua dariku, menyalami tanganku layaknya bertemu dengan seorang pebisnis hebat, genggaman tangan yang kuat dan goyangan yang cepat.
"Iya benar, pak." Jawabku. "Pak Andri?" Tanyaku ragu.
Pria itu mengangguk. "Sudah menunggu lama? Mari kita ke ruangan saya,"
Aku mengekorinya sampai tiba di salah satu ruangan yang cukup besar di ujung deretan ruangan-ruangan kecil yang kami lewati. Knop pintu berputar, dan keluar seorang gadis berambut hitam legam panjang mengenakan seragam Office Girl dengan serbet di pundak kanannya.
Gadis yang tadi,” Pikirku.
Pagi, kak,” sapanya pada Pak Andri.
"Pagi,” balas pak Andri dengan senyuman merekah di bibirnya.
Mata kami bertemu lagi. "Pagi," dia menyapaku. “lagi.” lanjutnya. Tapi sebelum aku dapat membalas sapaannya, dengan cepat dia mengalihkan pandangannya ke tempat lain dan bergegas pergi dari tempat itu. Aku merasa aneh dengan kata ‘lagi’ yang barusan ia ucapkan dengan pelan.
Aku sempat melirik ke arah name tag-nya. "Lina Agustina." Tanpa sadar aku menggumamkan namanya. Dia berhenti, melirik ke belakang, dan melempar senyum kemudian berjalan pergi, hilang di balik dinding.
"Lina itu hebat. Kerja di sini sudah dua tahun, jadi OG." Tuturnya. Aku mengangguk pelan, mencoba mendengarkan dengan seksama. "Dia kuliah di universitas di belakang kantor kita. Dapat beasiswa."
Aku kembali melihat ke arah menghilangnya Lina. Aku menjadi semakin penasaran dengan sosoknya.
* * *
Kini aku duduk di dalam ruangan Pak Andri. Dikelilingi sebuah rak buku besar dengan berbagai buku; buku-buku ekonomi serta beberapa novel. Televisi 30 inch yang tergantung di dinding sedang dalam keadaan menyala tanpa suara, menayangkan program acara petualangan anak kecil ke dalam hutan.
Pak Andri duduk di kursi panasnya, sekarang posisinya berada tepat di depanku. Memencet angka-angka yang tertera di telepon, dan meminta dua cangkir kopi.
“"Oke, kamu diterima."” Kata Pak Andri.
Ha? Aku diterima bahkan tanpa perlu interview?
"“Bukannya saya harusnya melewati tahap interview dulu, Pak?"” tanyaku memastikan.
“"Tidak perlu. Karena kau tidak bekerja di perusahaan ini," katanya dan sontak aku terkejut dengan pernyataan tersebut. Apa aku ditolak untuk bekerja?
"“Melainkan kau bekerja langsung di bawah naunganku," lanjutnya.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu menghentikan pembicaraan kami. “Masuk, seru Pak Andri.
Lina masuk setelah mendapat persetujuan untuk masuk ke dalam ruangan, dengan membawa nampan yang di atasnya terdapat dua gelas kopi dengan asap yang masih mengepul. Meski dengan seragam OG, dia tetap tampak mempesona. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku merasakan debaran di dadaku ini seperti ini. Namun yang dapat kupastikan adalah, ini debaran yang paling kuat yang pernah kurasakan.
“"Silahkan diminum,"” katanya dengan suara lembutnya yang berhasil membuatku merinding, indah.
Aku mengangguk pelan. Mengambil gelas bagianku, dan langsung menyeruputnya.
“"Oke. Kembali ke pembahasan tadi. Aku ingin kau selalu berada di samping Lina, adikku ini.”"
“"A-adik? Dan apa maksud dari selalu berada di sampingnya?"” Tanyaku gagap.
"“Lina ini adik angkatku. Aku bertemu dengannya setelah lulus SMA, dan meyakinkan ayahku bahwa aku ingin dia menjadi adikku.” Ucapnya. “Aku tau identitasmu, semuanya sudah lengkap. Pemegang sabuk hitam termuda yang terhambat status kehidupannya karena ayah yang meninggal dunia dan tidak ada pengganti yang bisa mencari nafkah.”"
"“Dan bahkan..."…” belum sempat  Pak Andri menyelesaikan kalimatnya, Lina memotongnya.
"Dan bahkan mengikuti pertandingan illegal demi mendapatkan uang. Semua itu dilakukan demi sang ibu yang hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga.”"
“"Tenang,”" kata pak Andri. “"Aku tau kau anak yang baik. Maka dari itu, aku mempercayakan adikku padamu. Bagaimana? Apa kau akan menerima pekerjaan ini?"” tanyanya.
Aku berpikir keras. Ketika aku baru saja akan memulai kebiasaanku ketika sedang berpikir yakni menggigit kuku jari, Lina menghentikanku.
“"Dan tolong hentikan kebiasaan menggigit kuku jari itu, tuan Agung Wicaksono.”"
"“Mengenai gajinya, tidak perlu takut. Sudah sangat lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan kau dan ibumu, bahkan ditambah dengan kebutuhan Lina.”"
Aku mengangguk, tersenyum lebar. Terima kasih, Tuhan. Terima kasih, ayah. Kau mengajariku untuk menjadi orang baik. Dan inilah hasilnya, semoga aku bisa membahagiakan ibu dengan ilmu yang kau turunkan kepadaku. Karate melawan kejahatan. Gumamku.
***
"“Selamat pagi, tuan putri.”" Sapaku kepada Lina yang baru saja turun dari lantai dua. Semenjak aku menerima tawaran pekerjaan pak Andri. Aku dan ibu pindah ke sebuah apartemen yang dekat dengan rumah pak Andri.
“"Jangan memanggil pacarmu dengan tuan putri, aku jadi merasa jauh  lebih tinggi di atasmu tau."” Lina cemberut.
"“Maafkan aku sayang,”" aku mencubit pipinya. “ayo jalan.” Aku menarik tangannya.
Dia berhenti. “"Aku belum membalas sapaanmu,” katanya. “pagi, sayang."”
            Aku tersenyum, merasa sangat bahagia berada di sampingnya.
"“Kau tahu, selama ini aku menyimpan rahasia darimu."” Katanya.
"“Kurasa aku tidak perlu menutupinya lagi. Setiap kali aku melihatmu, aku selalu menggumamkan ucapan ‘selamat pagi’ dan berdoa untukmu. Semoga kamu selalu baik-baik saja seharian. Dulu aku berharap bahwa aku bisa seperti ini, karena aku merasa sangat mengenalmu. Dan juga karena aku selalu melihatmu dari jauh.”"
“"Sebuah ucapan yang sangat sederhana, membuat kita bersama seperti ini."”
"“Cinta tidak perlu diucapkan, yang penting bagaimana kita bisa menunjukkannya,” ucapnya. “Seperti sapaanku yang tidak sampai padamu, tapi aku ingin memberikan nilai yang bermakna di dalamnya. Aku ingin kamu bisa menjalani hari dengan semangat.”"
Happy Monthsary, sayang.” Aku memberikan kecupan di keningnya. Semoga dengan ini  dia mengerti, bahwa ada pesan tersirat dibalik kecupanku Aku mencintainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar