Powered By Blogger

Jumat, 17 Juni 2016

The Flying Baloon

Ketika kita tanpa sengaja mengingat semua kejadian yang telah berlalu, membuat kita selalu berpikir akan adanya kemungkinan-kemungkinan yang tidak akan pernah terjadi.
Apa aku bisa kembali ke masa itu dan mengubah keadaan menjadi lebih baik?
Bisakah aku mengucapkan selamat tinggal kepadanya?
Aku ingin meminta maaf kepadanya.
Aku terbangun di dalam kamar kosku. Dengan keringat dingin yang membasahi bajuku dan bulir-bulir keringat yang turun melewati pori-pori kulit wajahku. Aku melihat ke arah kipas angin disudut ruanganku dalam kondisi tidak menyala namun kabel masih tertancap di stop kontak. “Mati lampu?” pikirku.
Aku menuruni tempat tidurku, membuka baju yang basah itu dan membuangnya ke baskom yang kusediakan untuk menyimpan baju kotor yang sudah menggunung isinya. “Aku harus ke laundry biasa hari ini.” Aku menggumam pelan sambil menggelengkan kepala melihat isi baskom itu.
Tepat diatas baskom tersebut ada sebuah kalender yang menunjukkan tanggal empat belas. “Bukankah itu tanggal minggu lalu?”
Aku berjalan menuju kamar mandi, menghiraukan lembaran tanggal yang masih belum aku cocokkan dengan tanggal yang pas. Aku segera membasahi wajahku, menatap dalam-dalam cermin dan melihat setiap kerutan yang muncul di dahi. Menyadari bahwa umurku sudah tidak muda lagi. Aku menatap kembali pantulan wajahku di dalam cermin. Ekspresiku biasa, namun terdapat ketakutan yang luar biasa di dalam bulatan hitam mata ini.
Aku bermimpi hal yang aneh lagi, sudah seminggu lamanya aku bermimpi aneh seperti ini. Aku sampai mengingat dengan jelas bagaimana isi dari mimpi itu. Mimpi buruk yang aku alami hampir setiap malam.
Aku sedang duduk dibangku taman, dengan sebuah balon di tangan kananku dan boneka beruang di tangan kiriku. Betapa bahagianya aku melihat balon berwarna hitam gelap yang kudapat dari seorang laki-laki yang memakai setelan jas hitam lengkap dengan topi serta kacamata dengan warna yang sesuai dengan setelannya.
“Kau anak baik, dan aku memberikan ini secara gratis untukmu, nak.” Katanya sambil mengelus kepalaku dan memberiku senyuman yang membuatku merinding. “Selamat tinggal.” Kemudian dia berjalan pergi menjauh meninggalkan aku yang duduk sendiri di taman itu. Sendiri. Tanpa ada orang disekitar yang terlihat berjalan santai ataupun anak-anak seumuranku yang bermain di taman.
Aku menatap ke langit, tiada burung yang terbang mengitari taman, awan pun tidak bergerak. Seperti waktu sedang berhenti untukku. Untuk menyadari apa yang telah aku perbuat.
Aku duduk dan menarik-lepaskan balon yang diberikan oleh orang misterius itu tanpa menghiraukan keadaan sekitar yang hening.
Balon yang besar itu semakin lama mengecil. Keindahan balon diawal kini sudah tidak dapat dinikmati lagi. Aku menyadari hal tersebut dan melihat ke dalam balon itu. Aku menatap dalam-dalam dan rasanya kepalaku semakin berat, aku melihat adanya pusaran air yang berputar cepat memutari bagian dalam balon. Dan semuanya menjadi gelap.
Aku terbangun dalam posisi duduk di ruangan kosong yang gelap. Sangat gelap. Aku meraba-raba lantai tempatku terduduk, dingin. Tiba-tiba dari arah jam sembilan, aku mendengar suara yang sangat tidak asing bagiku.
“Ki... Riki..” terdengar suara wanita, samar-samar yang memanggil namaku. “Nanti kamu terlambat ke sekolahnya.”
Aku terbangun disebuah ruangan kecil yang berisikan kasur single-bed king size yang bermotif bunga mawar berwarna ungu. “Bangun, nak.” Terdengar lagi suara yang tidak asing ditelingaku, dan berasal dari balik pintu kamar.
Aku berjalan menuju pintu. Aku membuka perlahan pintu tersebut, memastikan bahwa dugaanku ini tidak salah. “Ma.. mama?”
Dengan satu sergapan, aku memeluk erat tubuh mamaku. Aku sangat merindukan wangi sabun yang selalu mama pakai, wangi shampoo yang selalu mama pakai saat keramas, lekukan badan mama yang pas untuk dipeluk, dan elusan tangan halusnya dikepalaku.
Aku memeluknya dengan erat, namun mama melepaskanku. “Mama harus pergi,”
Mama melepasku dari pelukkannya, aku melihat ke bawah.
Darah mengucur deras dari balik punggung mama, kedua tanganku yang sempat memeluk erat mama juga menjadi berwarna merah karena darah mama.
Dibelakang mama, aku melihat sesosok laki-laki yang memberiku balon. Tangan kirinya memegang sebuah es krim coklat tinggi yang menggunung dan sangat menggiurkan, namun ditangan kanannya, ia memegang sebuah pistol handgun hitam dan tercium bau bubuk mesiu yang keluar setelah ia menembak.
“Kau anak yang baik, aku memberikan ini gratis untukmu nak.” Kata pelaku penembakan itu dari balik tabung gas yang berjejer di truknya. “Balon besar yang perlahan akan mengecil dimakan waktu, begitupula nasib. Semanis-manisnya hidupmu, kau akan merasakan pahit yang sesungguhnya.”
Mama tergeletak disampingku, darah terus mengucur dari lubang bekas tembakan dipunggungnya. Tidak ada yang menolongku, semua orang disekitar lari terbirit-birit mendengar suara tembakan. Ada beberapa orang dari dalam gedung hanya melihat dengan raut wajah kasihan.
Pria tersebut pergi dengan senyuman yang puas. Puas memberikan pelajaran untuk hidupku.
Tepat seminggu yang lalu, si pelaku penembakan yang juga merupakan tukang penjual balon keliling dieksekusi mati. Dengan pasal-pasal yang dituduhkan oleh ayahku sebagai seorang pengacara agar pembunuh itu dengan segera meninggalkan dunia ini untuk selamanya dan menerima hukuman secepatnya.
Setelahnya, diketahui bahwa ia membunuh karena ia baru saja kehilangan seorang anak dengan cara yang sama, ditembak mati di depannya. Ia ingin orang-orang merasakan penderitaannya, sasaran utamanya adalah aku, bukan ibuku.
Seperti sebuah balon yang awalnya menarik untuk dilihat dan diikuti, pada akhirnya akan menghilang dan pecah karena tekanan udara dan berbagai faktor lainnya.
Orang yang kita kasihi, orang yang kita sayangi, dapat dengan mudah direbut oleh kuasa Pencipta. Bagaimanapun, dan apapun alasannya, kita diharuskan siap untuk menghadapinya. Karena semua hal yang terjadi, memiliki makna dan dengan harapan agar kita dapat berkembang. Semua orang yang kita kasihi dapat pergi kapan saja, tanpa adanya peringatan ataupun notifikasi di media sosial kita. Semua dengan sekejap dapat diambil kembali.
Sayangilah orang yang kita cintai, hormatilah dia sebelum terlambat.

Minggu, 12 Juni 2016

Couple's Problem

“Kau mau tau apa yang aku rasakan sekarang?” tanya Andien kepadaku disela-sela ritualku sebelum makan, memotret makanan yang baru saja diantar ke meja kami.
“Apa?” tanyaku tak acuh.
“Aku merasa kau seperti membatasi diri denganku. Kau seperti....”
“Seperti mempunyai dunia sendiri,kan?” tanyaku sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. “Maafkan aku, tapi beginilah aku. Aku merasa nyaman denganmu dan aku ingin menikmati hal ini.”
Dia menggeleng pelan, menarik nafas panjang.
“Aku tetap mencintaimu seperti pertama kali aku menyatakan perasaanku padamu, Dien.” Kataku.
“Aku ingin kau melihatku, sayang.” Katanya, menatap mataku dalam-dalam.
“Aku melihatmu.” Aku membalas pandangannya. “Nih, nih, nih. Cantik seperti biasanya, dan aku merasa beruntung.”
“Kamu tidak mengerti,” ia mengambil pisau dan garpu yang diletakkan di sebelah piringnya. “Itu kode. Ngerti? K-O-D-E. Aku butuh perhatianmu yang lebih sayang.”
“Aku udah ngajak kamu makan disini, tempat favoritmu. Aku udah ajak kamu nonton tadi, film dengan genre kesukaanmu. Aku udah beliin kamu tas yang kamu curi-curi lihat pas kita ke tempat perbelanjaan pas ulang tahun kemarin.”
“Bukan itu!”
Aku diam sejenak menghentikan aktifitasku, aku meletakkan handphone-ku di samping meja dan menggenggam tangannya.
“Apa yang kamu inginkan sayang?” tanyaku halus.
Please, stop playing your phone while we are dating. You can play it when you’re already at home. Is it really important than having fun with me?
Aku terdiam sejenak, memandang  handphone-ku.
“Aku tau kamu butuh hiburan, tapi kita sudah sangat jarang menghabiskan waktu bersama dan kamu malah sibuk memainkan handphone itu.”
Aku menggenggam erat tangannya. “Maafkan aku,” aku memasukkan handphone itu ke dalam saku celanaku. “Aku kurang peka sayang. Lebih baik langsung dikomunikasikan seperti ini.”

“Aku harap kamu bisa paham walaupun tanpa aku beri tau, karena itu bukanlah masalah besar, tapi hanya megenai kesadaranmu sebagai pasanganku. Ini mengenai tanggung jawab atas komitmen yang telah kamu katakan.”