Powered By Blogger

Minggu, 27 September 2015

Can You Imagine: A Beautiful Trap

Suara mesin motor itu berderu keras di depan rumahku. Aku yang masih merasa ngantuk berusaha menutup kedua telinga dengan bantal. Karena semalam aku sibuk mengurusi cerita agar tidak dikejar-kejar editor, aku harus mencukupkan daya tahan mataku untuk hari ini. Aku melihat jam menunjukkan arah jarum pendek berada di angka delapan.
Selama lima menit lamanya, aku terjaga, aku harus segera menghentikannya jika aku ingin melanjutkan tidur indahku yang tidak cukup.
Aku berjalan keluar. Membuka pintu rumahku, bersandar cukup lama di pintu sambil menghentak-hentakkan kakiku dengan kuat.
"Bisa kau menghentikan kegiatan itu?" seruku dengan suara yang cukup keras sehingga aku bisa mendengar suaraku menggema di lorong sempit gangku.
Tidak ada tanggapan darinya, walaupun ia sempat berhenti sejenak, namun ia kembali melakukan kegiatan ‘memanaskan motor’. Sekarang suaranya terdengar semakin keras. “Dia sengaja,” pikirku.
"Woi!" aku berseru dengan nyaring. Ia berhenti.
"Kenapa kau tidak balik tidur di kamar tercintamu?" Ia akhirnya bersuara.
"Apa kau tuli?! Bagaimana mungkin aku bisa tidur seperti ini jika kau terus ngegas motormu seperti itu?!!" Aku yang semakin geram dengan jawabannya, mulai memperbesar volume suaraku.
Dia berhenti dan kemudian masuk ke dalam rumahnya dengan tenang.
Aku pun masuk kembali ke dalam rumah dengan rasa lega, akhirnya aku dapat merebahkankan kembali badan ini ke kasurku yang empuk.
Aku terbangun karena ketukan pada jendela kamarku, aku melihat ke arah jam dinding, menunjukkan pukul 11. Aku membuka tirai jendela dan melihat sosok gadis cantik yang berdiri di halaman rumahku. Rinda, sosok gadis keturunan Jawa berkulit putih halus, berambut hitam legam yang panjang serta memiliki senyum yang manis. Lirikan matanya seringkali membuatku berdiri membatu.
            Sayangnya kedua bola mata indahnya telah dimiliki oleh lelaki tidak berperasaan yang sengaja membuatku bangun dari tidur lelapku.
            Aku tidak nyaman membuat seorang wanita berdiri terlalu lama di luar rumah. Dengan segera aku meloncat dari tempat tidurku dan berjalan keluar dengan langkah yang tegap, tidak lupa untuk merapikan rambutku sebelum menatap wajahnya yang cantik.
“Hai,” sapaku seketika setelah membuka pintu.
            “Hai juga,” dia membalas sapaanku. “baru bangun tidur bang?” tanyanya.
            “Iya nih, semalam begadang kerjain proyek?” Jawabku.
            “Wuih, proyek gede yah mas?”
            “Yah, begitulah,” jawabku. “Dalam rangka apa nih kesini?”
            “Ini di dapur buat sayur kebanyakan. Mau bagiin, jadi neng datang dulu, ngecek, takutnya kamu keluar.”
            “Oh, kebetulan belum sarapan pagi,” Kataku. “boleh deh, dikit aja ya, ntar gak habis.”
            Ia kemudian berjalan pergi kembali ke rumahnya untuk mengambilkan sayur buatannya yang sengaja ia siapkan untukku. Aku yang kebetulan belum sarapan pagi, dengan senang hati menerimanya.
            Ia keluar dengan membawa rantang makanan bercorak bunga ditangan kanannya.
            “Nih, kalau sudah habis, jangan lupa cuci ya rantangnya.” Perintahnya dengan nada centil.
            “Iya, Rinda,” jawabku. “aku bersihin sampai gak berwarna nanti.”
            Ia kembali ke dalam rumahnya, dan aku pun masuk dan ingin segera menyantap sayur buatan Rinda.
Aku masuk ke dalam dapur dan membuka rantang makanannya. Lontong, semur ayam, sayur asam dan sepotong daging yang tidak kuketahui asalnya. Semuanya makanan kesukaanku kecuali daging itu. Namun pada gigitan pertama, rasanya enak, aku melanjutkannya kegigitan kedua, ketiga, dan seterusnya.
Aku langsung memakannya sampai habis dan memastikan bahwa tidak ada yang tersisa di dalam rantang. Benar-benar nikmat sayur buatan Rinda.
Tak berselang lama, aku mulai merasakan kantuk yang sangat tidak dapat tertahankan. Mungkin karena aku baru menyelesaikan sarapan, dan kesadaranku yang masih belum kembali penuh membuatku mengantuk lagi.
Aku berjalan masuk ke dalam kamar, merebahkan badanku, dan kembali tertidur dengan cepat.
            Kepalaku terasa berat. Aku tidak tahu ini jam berapa, namun dari pandanganku semua terlihat gelap. Aku kembali mendengar suara deru mesin motor suami Rinda, namun kali ini, suaranya begitu dekat.
            Aku berusaha untuk bangun dan melihat ke arah jendela. Namun kedua tanganku diikat ke belakang dan kakiku diikat dengan sangat kuat. Mulutku di lakban, aku tidak dapat bergerak. Seluruh kamar sudah menjadi hitam gelap karena asap mesin.
Asap!
Aku berusaha mencari sumber asap tersebut. Dan ternyata itu berasal dari pintu kamarku. Ada satu lubang yang baru saja dibuat dengan sangat rapi dan sesuai dengan ukuran masuknya lubang knalpot motor.
Semua jalur keluar masuknya udara sudah ditutup.
Aku berusaha berteriak, berguling-guling menuju ke arah pintu. Namun bodohnya aku. Semakin banyak aku bergerak, semakin banyak aku membutuhkan oksigen dan bernapas. Maka semakin cepat pula aku menghirup asap motor tua yang akan membunuhku dengan perlahan.
Aku akhirnya mengerti, makanan yang diberikan oleh Rinda mempunyai obat tidur yang cukup kuat. Dan sikap baiknya tadi, sialan, aku tidak menyangka gadis polos itu ternyata sekejam ini.
Aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 3 sore, sudah sekitar 4 jam aku tertidur pulas.
Kemudian aku melihat secarik kertas yang tertempel di dinding samping tempat tidurku. Disana tertuliskan,
Apa enak makanan buatanku? Aku memasaknya dengan cinta. Apa enak potongan daging yang sudah masuk ke dalam lambungmu, yang berada di dalam sayur asam buatanku tadi? Apa kau tau daging apa itu? Itu adalah daun telinga suamiku, aku memisahkannya dari kepalanya karena ia tidak mendengarkan perintahku. Apa kau suka? Setelah ini, akan aku berikan dagingmu kepada suamiku yang telah bekerja keras untuk membunuhmu dengan perlahan. Seharusnya dari awal kau tidak pernah menyentuh sedikitpun urusan kegiatan kami.
Aku merinding membacanya. Ternyata Rinda yang kukenal selama ini, memiliki kepribadian ganda. Aku merasakan ingin muntah, terutama membaca kata “daun telinga” itu.
Aku semakin lemas, tidak ada oksigen yang masuk ke dalam kamar, hanya karbon dioksida hasil mesin motor itu yang terus berderu setelah sekian lama. Aku pasrah. Apa yang terjadi dengan hidupku, aku terima.
Aku menutup mataku. Baru kali ini aku memutuskan untuk berdoa, setelah sekian lama aku membolos untuk berkomunikasi dengan sang pencipta. Sekarang, aku menyerahkan seluruh hidupku pada­-Nya.
Dalam hening, aku hanya bisa mendengar deru motor yang tak berhenti, tidak terdengar suara lain, bahkan jam dinding yang biasa berdetak sangat keras, kini tak terdengar lagi.
Aku menghirup napas panjang, kemudian menahan napas cukup lama. Ini agar aku masih bisa bertahan lama, aku berharap akan datangnya keajaiban.
Suara sirine berbunyi, seruan deru motor berhenti.
Aku membuka mataku. Cahaya merah dan biru berputar menembus melewati kaca jendelaku. Aku tersenyum, namun aku tidak berharap penuh, aku takut bahwa kenyataanya adalah itu cahaya yang dengan sengaja Rinda buat agar ia semakin puas menyiksaku.
Dan ternyata aku salah. Aku mendengar derap langkah kaki yang cukup banyak, mungkin ini polisi, atau petugas rumah sakit. Entahlah, yang penting, aku selamat. Aku kehilangan kesadaran.
Aku terbangun di dalam sebuah ruangan persegi. Kali ini, aku melihat dengan jelas cat yang melapisi dinding ruangan ini berwarna putih, tidak seperti ruangan kelam yang hampir membunuhku.
Aku mengerling. Menemukan sahabatku, Gerry, sedang tertidur di sofa merah besar. Aku tersenyum melihatnya. Aku tersenyum karena masih diberi kesempatan untuk dapat melihat wajah bodohnya.
Melihat wajahnya yang sedang tertidur, membuatku ingin sekali melempar bantal ke arahnya. Dia harus bangun. Tanpa pikir panjang lagi, kulemparkan bantalku dengan kuat ke arahnya.
Dia bangun dan terkejut.
“Apa?! Apa ini?!” dia berteriak dengan mulut yang terbuka lebar.
“Sudah bangun?” tanyaku.
“Ah, sialan kau, aku sedang bermimpi membawa tante-tante jalan. Aku pikir itu suaminya melempar sesuatu ke arahku.” Katanya.
Aku tertawa. “Kau masih bisa bermimpi seperti itu? Disaat temanmu ini hampir mati?”
“Biasa saja,” jawabnya.
“Bagaimana kau bisa disini? Terakhir aku mendengar banyak langkah kaki yang masuk ke dalam rumahku.” Tanyaku.
“Oh, itu, gara-gara kau tidak mengirimkan hasil kerjamu. Aku menunggu semalaman, dan kau tidak menghubungiku hari ini. Aku pikir kau sengaja menghindariku karena tidak menyelesaikan tugasmu.” Katanya.
“Hah? Aku sudah mengirimkannya semalam.”
“Tidak ada masuk.” Jawabnya santai.
“Aku tidak dapat bonus lagi bulan ini.” Ujarku sedih.
“Kau tidak dapat bonus, dan kau hampir mati. Untungnya aku segera mencoba datang mencarimu,” katanya. “dan pas ketika aku berada di depan rumahmu, aku melihat pasangan suami istri sedang berdiri di depan rumahmu, sang suami memasukkan motor ke dalam rumah dan sang istri terus membentaknya.”
“Kemana mereka berdua sekarang?”
“Di kantor polisi. Istrinya itu gila ya? Kau ternyata bertetangga dengan orang gila.”
“Yah, dia cantik, bro. Ternyata psyco.
Ia mengedikkan bahunya. “Pas di kantor polisi, sang istri masih bisa tertawa dan meneriakkan namamu berulang kali ‘aku hampir membunuhnya, aku hampir membunuhnya’.”
            “Gila tuh cewek,” kataku. “terus, suaminya?”
“Suaminya cuman mengekorinya, tertunduk tak bersuara.”
“Apa kau lihat ia menutup bagian telinganya dengan kapas atau sesuatu yang tampak seperti luka?”
Gerry berpikir sesaat, dan matanya memberikanku jawaban yang kuinginkan.
“Ada, ia menutupinya dengan kapas. Kenapa?”
“Aku menjadikannya santapan pagi,” ucapku santai.
Gerry sekarang melihatku ketakutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar