Waktu itu aku masih duduk di bangku
kelas 2 SMA, sedangkan dia masih duduk di bangku kelas 3 SMP, namanya Vania.
Umur kami terpaut dua tahun. Kami sudah sangat dekat, dekat sekali. Bahkan
orang-orang melihat kami seperti orang yang telah menjalin hubungan
bertahun-tahun.
Aku sering mengantarnya pulang. Kedua
orang tuanya telah mengenal baik diriku. Dan kedua orang tuaku pun telah
mengenal baik dirinya. Tidak jarang aku bermain ke rumahnya, sudah aku anggap
sebagai rumah kedua.
Dibalik kedekatan kami, sebetulnya
aku belum pernah sekalipun mengatakan perasaanku padanya.
Sahabatku telah berulang kali
menyuruh agar aku untuk segera menyatakan perasaanku kepadanya sebelum
terlambat. Dan aku selalu memberikan jawaban, “Nanti.”
Vania,
gadis ini memiliki dua sahabat yang selalu mengelilinginya kemanapun ia pergi. Karen, dan Irena. 2 gadis yang telah menemaninya
selama bertahun-tahun.
Aku tidak pernah menyatakan
kepadanya bahwa aku melarang ia memiliki sahabat, tapi ia terlalu percaya
dengan setiap perkataan mereka berdua. Mereka tidak menyetujui hubungan kami.
Karena mantan dari Irena adalah teman baikku sejak SMP. Irena menganggap,
siapapun yang berteman dengan mantannya adalah cowok yang busuk.
Aku
pun tidak ingin menahannya lebih lama lagi. Suatu malam, satu tahun setelah
kami saling mengenal, aku yang sedang duduk santai di teras tiba-tiba merasa
bosan. Aku mengeluarkan handphone-ku
dan mulai mengetik namanya. Aku
mengirimkan pesan singkat yang berisikan ungkapan hatiku padanya yang sampai
tiga paragraf panjangnya.
Aku
menunggu dua jam lamanya, dan handphone-ku
bergetar, menandakan ada pesan yang masuk. Aku membukanya, tapi bukan sebuah
pesan dari Vania, melainkan itu adalah pesan dari sahabatnya, Irena. Ia bilang
bahwa Vania tidak ingin berkomunikasi lagi denganku. Dan ia meminta aku untuk
tidak pernah mencarinya lagi. Aku tidak mengerti, dan terus berusaha
mengontaknya, terus dan terus. Dan hasilnya sama, tidak ada balasan.
Di
sekolah, ia tidak pernah lagi menegurku ketika sedang menyantap makan di
kantin. Aku ingin sekali menegurnya, tapi muncul sosok baru yang
mengelilinginya, Charles. Kapten dari tim futsal sekolah yang seumuran denganku
dan punya beberapa bodyguard dibelakangnya.
Aku menyerah.
2
tahun setelah itu, aku sudah lulus SMA, dan ia telah naik kelas 2 SMA, aku
mulai bekerja dan melupakan semua kenangan tentang Vania.
Aku memulai aktivitasku di masyarakat.
Mulai bekerja dan kuliah. Aku sudah melupakannya jauh-jauh hari. Tapi nasib
ingin sekali menyatukan kami berdua.
Kantor tempat aku
bekerja, tepat berada di depan rumahnya, tepat di depan mataku. Aku melihat ia
diantar oleh seorang lelaki yang seusia dengannya, bukan lagi Charles. Aku
sudah berhasil untuk melupakannya, namun sekarang, aku gagal, dan kembali
mengingat masa-masa itu. Cukup merasakan debaran jantung yang perih. Yang tidak
akan mengeluarkan darah, tapi terasa sakit seperti ditusuk oleh pisau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar