Powered By Blogger

Rabu, 21 Januari 2015

L.O.V.E

Jauh dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku mencintainya. Bukan hal yang sulit dalam mengungkapkan kata cinta di depan dua matanya yang indah, namun hal yang paling sulit adalah dimana kita menunjukkan kehadiran cinta. Aku mungkin sudah menunjukkan cintaku untuknya, namun wanita tetap butuh sebuah kalimat yang keluar dari mulut setiap pria. “Aku mencintaimu, maukah kau menjadi pendampingku?” Sebuah anggukan kepala pendek dan senyuman tipis yang mengembang merupakan jawaban yang ditunggu-tunggu setiap pria. Dan sah, cinta dari sang pria telah diakui oleh pihak wanita, begitulah dunia remaja.

Masa SMA-ku harusnya diisi dengan kisah cinta, tidak perlu kisah cinta yang  begitu romantis, asalkan ada saja sebuah kisah yang dapat aku ceritakan ketika berkumpul dengan teman sebaya suatu hari kelak. Ada kenangan yang terpahat di memori. Itu yang kuinginkan, yang artinya, aku belum mengungkapkan kata cinta kepada siapapun.

Aku sekarang telah memasuki jenjang kelas terakhir di masa sekolahku, dan aku belum dapat mengungkapkan cinta kepada satu gadis yang telah lama aku idamkan.

“Sejak SMP,” ucap Anton, sahabat kutu bukuku, ketika kami sedang duduk bersantai di sebuah café di pusat kota. “kau bahkan sudah jarang berkomunikasi dengannya, benar, kan?” sambungnya.

“Ah, aku tidak terbiasa dengan suasana yang mempercepat detak jantungku. Rasanya itu, gimana ya, organ yang berdetak beraturan itu mau lepas.” Ucapku sembari menyeruput cappucinno yang kupesan sesaat setelah kami sampai. “ini enak.” Sambungku.

“Mulai lagi, kau mau mengalihkan pembicaraan.” Sungutnya.

“Tidak, kopi ini sungguh enak. Aku hanya mengungkapkan pendapatku.” Jawabku sambil tertawa kecil.

Tiba-tiba Anton terdiam sesaat, aku yang duduk dihadapannya, melihatnya dengan aneh, matanya seperti menemukan sebuah objek yang menarik dan terus mengikuti kemanapun objek tersebut pergi. Ketika aku ingin berbalik dan melihat apa yang sedang dilihatnya, ia mencegatku, menahan kepalaku untuk berputar, tidak sedikitpun.

“Jangan lihat ke belakang!” serunya.

“Kenapa?” aku terdiam sejenak. “Apa? Atau siapa yang kau lihat?”

“Aku akan beritahu, asalkan kau menuruti perintahku. Bagaimana?” tantangnya.

“Perintah? Apa perintahnya?”

“Kau setuju atau tidak?”

“Apakah susah?” tanyaku penuh curiga.

“Tidak, hanya mulutmu yang bergerak, mengucapkan kata-kata manis.”

“Baiklah.”

“Silahkan berputar sekarang ke belakang arah jam tujuhmu!” Perintahnya. Aku sedikit bingung dengan perintahnya yang mendadak. “SEKARANG!”

Buaghhhhhk.

Kepalaku menabrak sesuatu yang cukup keras, seperti tulang. Pusing. Itu yang aku rasakan sekarang.

“Kamu tidak apa-apa?” tiba-tiba terdengar suara gadis yang sangat lembut di sampingku. Apa aku menabraknya? Sialan Anton, sengaja mengerjaiku.

Aku mengurut pelan pelipisku sejenak, mengangkat kepala, ke arah datangnya suara, dan….. woah!

“I-Intan? Ke-kenapa kamu disini?” tanyaku gugup. Seorang bidadari cantik, berada di sebelahku, dan sedang berbicara denganku. Di luar sekolah dengan pakaian santainya. "Aku yang menabrakmu, ap-apakah kamu tidak apa-apa?" tanyaku, merasa tidak enak.

"Tidak apa-apa kok." ujarnya, ia tersenyum manis.

Akhirnya pertunjukkan di mulai, drum band yang tersedia untuk bermain ketika ada gadis cantik yang berada di depanku lewat, memainkan nada terus menerus di bagian dadaku. Detak jantungku mulai berdegup tak beraturan, cepat, dan juga kuat. Serasa mau lepas dari tubuhku. Meloncat keluar dan menari-nari.

Intan, gadis yang kukenal sejak SMP, yang menarik perhatianku selama hampir enam tahun. Gadis cantik yang pintar, dan tidak sombong. Masih single pula. Inilah gadis impianku dan sekarang berdiri di depanku.

“Aku melihat Anton dari jauh, aku datang kesini ingin menyapa saja."

Anton berdiri. Dan mempersilahkan Intan untuk duduk sejenak berbincang dengan kami.

“Silahkan duduk, nona.” Ucapnya halus. Aku hanya bisa diam melihatnya. Intan pun duduk, dihadapanku, menggantikan Anton yang masih berdiri.

“Cappucinno?” sambung Anton.

“Baiklah. Terima kasih, Ton.” Dan Anton pun pergi meninggalkan aku dan dia, berdua, saling berhadapan, dan kaku, di café, tempat dimana biasanya para pasangan saling mengungkapkan perasaan.

“Ehm, kok Anton lama ya?” tanyaku memecah kesunyian. Dan tak lama kemudian, aku menyadari satu hal. Itu pertanyaan yang bodoh.

“Mungkin dia bertemu dengan temannya?” jawabnya.

Dan kemudian suasana sepi kembali menyelimuti kami berdua.

“Kau cantik. Aku ingin menjadi seorang pria yang pantas berada di sampingmu. Aku ingin kita memiliki hubungan yang lebih dari ini.” Pikirku.

Kami tetap tidak bergeming sedikit pun, ia asik membaca-baca beberapa majalah baru yang ia bawa di dalam tasnya, sampai pada akhirnya Anton kembali, setelah setengah jam menghilang.

“Gimana? Bahas sampai mana? Sudah jadian?” tanyanya.

“Jadian apaan?” tanya Intan dengan nada yang sedikit tinggi.

“Oh, engga toh?” Anton melirikku tajam. Seperti membisikkan sebuah kalimat ke telingaku dengan tatapan tersebut, “Aku memberikan waktu yang lama untukmu mengucapkannya, dasar bodoh!”

“Tadi kemana aja?” tanyaku.

“Bertemu teman.” Jawabnya singkat. “Cappucinnonya belum datang?” tanyanya.

“Belum.”

Anton mengambil posisi duduk di sampingku. Tak lama kemudian, secangkir cappucinno hangat pun tersajikan di atas meja. Aku hanya bisa menikmati pemandanganku sekarang, melihat bibir Intan menyentuh sisi pinggir cangkir dan menyeruput cappucinno yang merupakan minuman kesukaanku. Cantik. Itu yang ada dipikiranku mengenai gambaran seorang bidadari di depanku.

Aku melewati beberapa jam berharga hanya dengan duduk diam melihat Anton dan Intan bersenda gurau, terkadang membahas tentang masa-masa di SMP, kenakalan-kenakalan yang pernah Anton lakukan, kegiatan retreat sekolah yang menegangkan. 

“Terima kasih untuk hari ini, ya,” tiba-tiba Intan berdiri dari tempat duduknya. “sudah sore, mau pulang dulu.”

Kata-katanya langsung membuyarkan lamunanku.

“Oke, Bye-bye. Thanks sudah temanin jomblo-jomblo seperti kami disini ya.” Ucap Anton sambil melambaikan tangan kepada Intan.

“Bye-bye, Anton.” Dia melihatku. “Bye-bye Gunawan.” Dia tersenyum. Manis sekali.

Dia berjalan pergi, dan menghilang diantara kerumunan orang.

“Kau!” seru Anton di depan mukaku setelah yakin bahwa Intan telah menjauh. “Kau membiarkan kesempatan yang sangat langka terbang bebas! Kapan lagi kau bisa melihat dia secantik ini???” lanjutnya.

“Aku tidak sanggup, tidak biasa berbicara dengan seorang gadis, dengan normalnya. Kau tau bagaimana diriku.”

*SIGH*

“Aku tau itu kesempatan langka, tapi kau tak bisa memaksakan untuk mengeluarkan kata cinta semudah itu.” Ucapku.

“Baiklah tuan yang selalu membiarkan kesempatan terbaiknya hilang tertelan bumi.” Ucapnya. “Alright, sudah sore, sebaiknya kita juga sudah boleh pulang.”

“Okay.” Jawabku.
***

Dan begitulah, sebuah kesempatan langka, hilang. Di depan mata, gadis yang kucintai, pergi. Dia mendapat beasiswa ke Australia dan kudengar kabarnya dia akan menetap cukup lama disana untuk bekerja.

“Dan bagaimana perasaanmu sekarang? Tuan Gu-na-wan?” Tanya Anton, di tempat yang sama dimana aku melenyapkan kesempatanku. Tempat dimana aku melihat sosok Intan yang sangat langka dulu.

“Itu artinya aku tidak berjodoh dengannya.” Jawabku singkat.

“Dan kau rela melepaskannya?”

“Kalau dia jodoh, kami akan bertemu lagi suatu saat lagi. Aku pastikan akan menikah di umur ke-28. Jika tidak bertemu dengannya beberapa tahun sebelum aku menginjak angka 28, maka kami bukan jodoh.”

“Dan aku harus menunggumu selama 10 tahun lagi untuk mengetahui jawabannya?”

“Begitulah, dan tetaplah jadi sahabat kutu bukuku dan bersantailah disini sejenak. Sampai jawaban tersebut muncul di permukaan.”

END

5 komentar:

  1. Awalnya keren. Kata"nya udh bgus. Pas yang di belakang lucu. Keren hia.. lanjutkan! Wkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. wkwk lucu kah pas akhir ceritanya? wkwk thank you lek :D

      Hapus
  2. Kren will critanyaa wkwkwk kta" nya jg bguss heheh

    BalasHapus