Powered By Blogger

Kamis, 21 Juli 2016

A Mask

Aku muak melihat mukamu!
Kau gak senang dengan denganku? Wajah kau menunjukkan gak suka dengan keputusanku.
Kau saja yang jadi ketua, mata empat!
Pakai masker! Tutupi wajahmu! Tutupi ekspresimu!

Dan aku selalu memakai masker kemanapun sejak saat itu.
Aku tidak tau, ekspresi apa yang kumunculkan ketika berhadapan dengan orang yang tidak sependapat denganku. Aku tidak membenci mereka, hanya saja, aku tidak bisa menutupi sesuatu. Aku tidak bisa mengatakan tidak ketika aku ingin memberikan jawaban iya. Aku tidak bisa berbohong. Aku hanya seperti itu, jujur, terlalu ekspresif, dan jujur sedikit emosional.
“Apa kau sedang sakit?” tanya pak Agus kepadaku ketika aku baru saja melewati pintu kantor. Pak Agus adalah satpam kantor dan juga seseorang yang sangat aku hargai karena beliau melihat sesuatu dari sudut pandang yang luas. Kebijaksanaannya benar-benar aku kagumi.
“Tidak pak,” jawabku tanpa melihat ke arahnya.
“Kamu bukan pakai masker karena ucapan Diana jumat lalu, kan?” tanyanya, tepat sasaran.
“Tidak pak,” jawabku. Aku mengambil cara paling singkat untuk mengakhiri percakapan ini, batuk. “Uhuk-uhuk.”
Pak Agus menatap wajahku cukup lama. “Kamu bohong. Gak perlu dimasukkin ke hati, dia tidak serius untuk mengatakan itu.” Katanya, berusaha membuatku tidak memikirkan hal tersebut lebih jauh.
“Oh, halo, selamat pagi, pak. Ada yang bisa saya bantu?” pak Agus kemudian sibuk dengan melayani beberapa konsumen yang sudah datang ke kantor.
Aku berjalan masuk ke dalam ruang dimana para karyawan sibuk menelpon dan menawarkan produk dengan bahasa marketingnya. Aku melangkah dengan tegap. Tentu tetap dengan masker yang terpasang, menutupi dari hidung sampai ke dagu.
Semua mata memandang ke arahku, kecuali seorang office girl yang berada di dalam ruang fotokopi, Siti.
“Hey, masker yang bagus, mata empat!” seru Nicky dengan lantang dari meja kerjanya yang berjarak 20 langkah dari tempatku berdiri saat ini.
“Abu-abu, huh?” timpal teman disebelahnya yang tidak ku kenal. Mereka tertawa bahagia.
Aku menatap mereka dengan sinis. Namun, mungkin Nicky, gadis dengan mata silinder itu tidak menyadari bahwa aku menatapnya demikian.
“Lebih baik kalian kerjakan kerjaanmu!” seru teman kerjaku, Billy.
Mereka diam. Nicky tertunduk malu menghadap komputernya dan tangannya mulai sibuk mengetik keyboard-nya. Billy termasuk salah satu karyawan yang berpengaruh di kantor. Pencapaian yang bagus dan wajah yang enak dilihat, menjadikannya sebagai pria idaman di kantor.
“Bagaimana perasaanmu?” tanyanya ketika aku baru saja ingin duduk dengan indah di kursiku.
“Baik saja, kurasa.” Jawabku tak acuh.
“Ada apa dengan masker abu-abu itu?” tanyanya sambil menunjuk ke arah ‘pelindung ekspresi’ku.
“Hanya mengikuti tren anak muda, kau tidak tau?” tanyaku balik.
“Tidak, mungkin karena aku sudah dewasa.” Jawabnya dengan gaya sok dewasa.
“Mungkin aku tidak ingin menjadi tua,” kataku. “Tidak ingin.” Aku menegaskan ucapanku sekali lagi.
Dia menatapku cukup lama, hingga akhirnya berkata. “Kau seperti tidak memiliki emosi dengan memakai masker.”
Is that good?” tanyaku.
Dia mengusap-usap pelan dagunya dengan gaya berpikir kerasnya, memejamkan mata dan berkata. “Tidak.” Kemudian ia melanjutkan aktivitas kerjanya.
“Kenapa?” tanyaku penasaran. “Ada orang yang menyuruhku lebih baik menggunakan masker daripada aku harus menunjukkan setiap ekspresiku ketika aku sedang emosi.”
“Dan membuat mereka juga ikutan marah?” tanyanya memastikan dengan mata yang tetap berfokus pada komputer.
Aku mengedikan bahu. “Dari perintah mereka, sepertinya begitu.”
Ia berhenti mengetik, berbalik arah kepadaku.
“Kau memakai masker, untuk menutupi identitas aslimu sebagai pemegang nama Hendro, dan juga kau ingin menjauhkan diri dari masalah yang ditimbulkan oleh Hendro.” Katanya sambil menusuk-nusuk bahuku dengan telunjuknya.
“Hey! Gak perlu seperti itu.” Seruku.
“Kau bukan Hendro! Setidaknya bukan Hendro yang sesungguhnya. Kau membunuh Hendro dengan masker itu.” Serunya, menghentikan pembicaraan dan pergi sambil membawa tas kerjanya.
Aku ditinggal begitu saja. Terdiam di dalam lamunanku. Aku berpikir keras. “Aku bukanlah aku ketika menggunakan masker.” Kalimat itu terus terngiang di dalam kepala kecilku.
Hendro yang asli lebih ekspresif, sedangkan yang sedang lebih cenderung seperti sosok patung yang diam karena wajah yang ditutup dengan masker, menghindari kontak langsung dan takut membuat ekspresi yang mengecewakan orang sekitar.
Aku kalah dengan takut atas kejujuran yang aku tunjukkan. Kejujuran itu pahit dan menyakitkan, namun lebih menenangkan dibanding berbohong yang malah nantinya akan memunculkan kebohongan lainnya untuk menutupi kebohongan di awal.
Kebanyakan orang berusaha untuk menutupi ‘wajah’ mereka dengan masker hanya untuk menyenangkan atasan, contohnya. Dibalik masker itu, ada wajah lain yang berekspresi siap untuk menikam si atasan dari belakang.
Semua orang punya masker. Namun, keputusan tetap ada ditangan kita. Bagaimana kita bisa dengan bijak menggunakan ‘masker’ itu di waktu yang tepat dan tidak merugikan siapapun.
Dan aku mengaku kalah karena sudah mengikuti pilihan otak yang ingin melindungi diri, daripada hati yang ingin selalu jujur dengan tanpa adanya masker tersebut.
Aku mengambil handphone dari balik saku celanaku. Mengetik nama Billy di daftar nomor kontak, dan mengirimi pesan singkat kepadanya.

'Aku Hendro. Dan aku sedang marah. Baliklah ke kantor sebelum istirahat siang, dan kau akan melihat ekspresiku yang menyeramkan.'
Aku membuang masker itu di tempat sampah dan kembali menjadi Hendro yang sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar