Aku muak melihat mukamu!
Kau gak senang dengan denganku? Wajah kau
menunjukkan gak suka dengan keputusanku.
Kau saja yang jadi ketua, mata empat!
Pakai masker! Tutupi wajahmu! Tutupi
ekspresimu!
Dan aku selalu
memakai masker kemanapun sejak saat itu.
Aku tidak tau,
ekspresi apa yang kumunculkan ketika berhadapan dengan orang yang tidak
sependapat denganku. Aku tidak membenci mereka, hanya saja, aku tidak bisa
menutupi sesuatu. Aku tidak bisa mengatakan tidak ketika aku ingin memberikan
jawaban iya. Aku tidak bisa berbohong. Aku hanya seperti itu, jujur, terlalu
ekspresif, dan jujur sedikit emosional.
“Apa kau
sedang sakit?” tanya pak Agus kepadaku ketika aku baru saja melewati pintu
kantor. Pak Agus adalah satpam kantor dan juga seseorang yang sangat aku hargai
karena beliau melihat sesuatu dari sudut pandang yang luas. Kebijaksanaannya
benar-benar aku kagumi.
“Tidak pak,”
jawabku tanpa melihat ke arahnya.
“Kamu bukan
pakai masker karena ucapan Diana jumat lalu, kan?” tanyanya, tepat sasaran.
“Tidak pak,”
jawabku. Aku mengambil cara paling singkat untuk mengakhiri percakapan ini,
batuk. “Uhuk-uhuk.”
Pak Agus
menatap wajahku cukup lama. “Kamu bohong. Gak perlu dimasukkin ke hati, dia
tidak serius untuk mengatakan itu.” Katanya, berusaha membuatku tidak
memikirkan hal tersebut lebih jauh.
“Oh, halo,
selamat pagi, pak. Ada yang bisa saya bantu?” pak Agus kemudian sibuk dengan
melayani beberapa konsumen yang sudah datang ke kantor.
Aku berjalan
masuk ke dalam ruang dimana para karyawan sibuk menelpon dan menawarkan produk
dengan bahasa marketingnya. Aku melangkah dengan tegap. Tentu tetap dengan
masker yang terpasang, menutupi dari hidung sampai ke dagu.
Semua mata
memandang ke arahku, kecuali seorang office
girl yang berada di dalam ruang fotokopi, Siti.
“Hey, masker
yang bagus, mata empat!” seru Nicky dengan lantang dari meja kerjanya yang
berjarak 20 langkah dari tempatku berdiri saat ini.
“Abu-abu,
huh?” timpal teman disebelahnya yang tidak ku kenal. Mereka tertawa bahagia.
Aku menatap
mereka dengan sinis. Namun, mungkin Nicky, gadis dengan mata silinder itu tidak
menyadari bahwa aku menatapnya demikian.
“Lebih baik kalian
kerjakan kerjaanmu!” seru teman kerjaku, Billy.
Mereka diam. Nicky
tertunduk malu menghadap komputernya dan tangannya mulai sibuk mengetik keyboard-nya. Billy termasuk salah satu
karyawan yang berpengaruh di kantor. Pencapaian yang bagus dan wajah yang enak
dilihat, menjadikannya sebagai pria idaman di kantor.
“Bagaimana
perasaanmu?” tanyanya ketika aku baru saja ingin duduk dengan indah di kursiku.
“Baik saja,
kurasa.” Jawabku tak acuh.
“Ada apa
dengan masker abu-abu itu?” tanyanya sambil menunjuk ke arah ‘pelindung
ekspresi’ku.
“Hanya
mengikuti tren anak muda, kau tidak tau?” tanyaku balik.
“Tidak,
mungkin karena aku sudah dewasa.” Jawabnya dengan gaya sok dewasa.
“Mungkin aku
tidak ingin menjadi tua,” kataku. “Tidak ingin.” Aku menegaskan ucapanku sekali
lagi.
Dia menatapku
cukup lama, hingga akhirnya berkata. “Kau seperti tidak memiliki emosi dengan
memakai masker.”
“Is that good?” tanyaku.
Dia
mengusap-usap pelan dagunya dengan gaya berpikir kerasnya, memejamkan mata dan
berkata. “Tidak.” Kemudian ia melanjutkan aktivitas kerjanya.
“Kenapa?”
tanyaku penasaran. “Ada orang yang menyuruhku lebih baik menggunakan masker
daripada aku harus menunjukkan setiap ekspresiku ketika aku sedang emosi.”
“Dan membuat
mereka juga ikutan marah?” tanyanya memastikan dengan mata yang tetap berfokus
pada komputer.
Aku mengedikan
bahu. “Dari perintah mereka, sepertinya begitu.”
Ia berhenti
mengetik, berbalik arah kepadaku.
“Kau memakai
masker, untuk menutupi identitas aslimu sebagai pemegang nama Hendro, dan juga
kau ingin menjauhkan diri dari masalah yang ditimbulkan oleh Hendro.” Katanya sambil
menusuk-nusuk bahuku dengan telunjuknya.
“Hey! Gak perlu
seperti itu.” Seruku.
“Kau bukan
Hendro! Setidaknya bukan Hendro yang sesungguhnya. Kau membunuh Hendro dengan
masker itu.” Serunya, menghentikan pembicaraan dan pergi sambil
membawa tas kerjanya.
Aku ditinggal
begitu saja. Terdiam di dalam lamunanku. Aku berpikir keras. “Aku bukanlah aku
ketika menggunakan masker.” Kalimat itu terus terngiang di dalam kepala kecilku.
Hendro yang
asli lebih ekspresif, sedangkan yang sedang lebih cenderung seperti sosok
patung yang diam karena wajah yang ditutup dengan masker, menghindari kontak
langsung dan takut membuat ekspresi yang mengecewakan orang sekitar.
Aku kalah
dengan takut atas kejujuran yang aku tunjukkan. Kejujuran itu pahit dan
menyakitkan, namun lebih menenangkan dibanding berbohong yang malah nantinya
akan memunculkan kebohongan lainnya untuk menutupi kebohongan di awal.
Kebanyakan orang
berusaha untuk menutupi ‘wajah’ mereka dengan masker hanya untuk menyenangkan
atasan, contohnya. Dibalik masker itu, ada wajah lain yang berekspresi siap
untuk menikam si atasan dari belakang.
Semua orang
punya masker. Namun, keputusan tetap ada ditangan kita. Bagaimana kita bisa
dengan bijak menggunakan ‘masker’ itu di waktu yang tepat dan tidak merugikan
siapapun.
Dan aku
mengaku kalah karena sudah mengikuti pilihan otak yang ingin melindungi diri,
daripada hati yang ingin selalu jujur dengan tanpa adanya masker tersebut.
Aku mengambil handphone dari balik saku celanaku. Mengetik
nama Billy di daftar nomor kontak, dan mengirimi pesan singkat kepadanya.
'Aku Hendro. Dan
aku sedang marah. Baliklah ke kantor sebelum istirahat siang, dan kau akan
melihat ekspresiku yang menyeramkan.'
Aku membuang masker itu di tempat sampah dan kembali menjadi Hendro yang sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar