Powered By Blogger

Rabu, 06 Agustus 2014

Sekolah Berhantu

Kami baru saja diberikan tugas kelompok oleh guru seni, tugas foto essay, tugas membuat sebuah poster yang berisikan informasi mengenai foto yang kami dapatkan. Dan hal pertama yang perlu kami tentukan adalah tema. Kami diberi kesempatan untuk bekerja di taman sekolah agar dapat mendapatkan ide-ide segar.
            Di dalam kelompok ini, terdapat empat anggota lain selain aku. Sera, sebagai fotografer satu. Bonita, gadis tomboy dan merupakan sahabat Sera. Andrean, sang editor, mengurus poster tugas kelompok kami. Suyanto, menjadi supir. Dan aku sebagai pengarah jalannya kelompok sekaligus fotografer kedua.
            “Jadi,” ucapku memutuskan keheningan. “Tema apa yang bakal kita ambil?”
            “Aku tak tau mau tema apa.” Jawab Bonita.
            “Bagaimana kalau kita masing-masing tulis di satu lembar kertas tema apa yang mau diambil. Terus kalau uda selesai kumpulin. Kita lihat mana yang bagus, baru kita ambil.” Saranku.
            “Boleh aja. Pinjam pen dong, Ser.” Pinta Suyanto.
            “Wah, ke sekolah gak punya pen. Mau jadi apa? Jadi tukang air tahu, mau?” ledeknya.
            “Yang penting aku bawa hati kemana-mana. Hati yang penting.” Serunya sambil menunjuk ke bagian dada.
            “Dasar.”
            Kami akhirnya serius dengan pemikiran tentang tema apa yang akan diambil. Masing-masing memasang raut wajah yang serius memikirkan tema apa yang bagus, selain Bonita.
            “Ah,,” tiba-tiba Bonita meletakkan penanya di atas meja.
            “Udah dapat tema yang bagus?” tanyaku.
            “Malahan sebaliknya. Aku gak bisa mikirin tema apapun.” Ucapnya.
            “Ayo, pikir lebih keras lagi.”
            “Udah ah, kau aja yang tentuin, Wil. Aku pusing.” Saran Bonita.
            “Iya, aku juga bingung.” Ucap Sera.
            “Kalian berdua dapat gak?” tanyaku pada Andrean dan Suyanto.
            Mereka berdua menggelengkan kepala dengan serentak. Aku memang sudah memiliki ide yang cocok dengan tugas ini. Ide yang datang ketika aku, yang tanpa sengaja melihat sebuah pohon besar yang berdiri dengan kokohnya di samping tempat kami duduk.
            “Bagaimana dengan sesuatu yang berbau dunia lain?” tanyaku.
            Mereka semua melihat satu sama lain.
            “Dunia lain? Aku suka sih, tapi gak bisa dipersempit kah? Dunia lain itu luas banget, bisa dari tempat angker, benda-benda angker, dan lainnya.” Ucap Andrean.
            “Aku pilih yang tempat angker.”
            “Dimana?” tanya Suyanto.
            “Kalian mau yang mudah dapat ijin atau yang susah banget dapat ijinnya?” tanyaku.
            “Tentu saja mudah.” Kata Sera.
            “Oke. Aku tentukan tempatnya adalah sekolah ini.”
            “Sekolah ini?” tanya Andrean sembari melihat-lihat sekeliling. “Memang ada sisi dunia lainnya sih, aku rasa bisa saja kita dapatkan foto yang bagus disini.”
            “Kalau masalah ijin sih gampang lah. Aku udah dapat solusinya. Tinggal sekarang kalian mau atau engga. Kalau yang cewek-cewek ini takut, kan masih ada tiga cowok disini.” Ucapku.
            “Aku setuju aja sih, yang penting gak jauh.” Kata Suyanto.
            “Kalau Sera mau, aku ikut. Kalau engga, aku juga engga.” Ucap Bonita.
            “Asik sih kayaknya, cuman takut aja. Tapi setuju aja deh aku.”
            “Oke. Semua setuju kan? Sip. Ayo lapor dulu ke pak Yogi. Biar gak ada orang yang ambil tema yang sama dengan kita.” Ajakku.
            Kami pun bersama-sama masuk kembali ke dalam kelas dan menghadap guru seni kami. Kami memberitahukan mengenai tema yang kami ambil dan ternyata disetujui oleh pak Yogi. Dan kami pun menghabiskan waktu pelajaran dengan menyusun jadwal kerja kelompok.
*
            Hari yang ditentukan pun telah tiba. Kami semua berkumpul di rumah Sera. Sepupu Shella, Vina, ikut mengikuti kegiatan kami malam ini. Tepat jam enam sore, kami pun berangkat bersama, menuju ke suatu wilayah baru yang belum pernah kami masuki ketika malam tiba. Dua puluh menit kemudian, kami pun sampai di tujuan.
          Kami memutuskan untuk mengambil foto seluruh anggota kelompok di depan gerbang sekolah. Vina, bertugas sebagai pengambil foto anggota kelompok kami.
            Semenjak kakiku turun menginjak kawasan sekolah, aku merasakan hal yang tidak enak berasal dari dalam sekolah ini. Seakan ada sesuatu yang mengundang kami untuk masuk dan mendapatkan kebenaran akan suatu hal. Ini adalah kali pertama aku berada di sekolah semalam ini. Sebelumnya aku hanya berada di sekolah sampai jam lima sore.
            “Kalian cowok-cowok masuk dulu deh, aku mau duduk dulu.” Ucap Sera.
            “Takut?”
            “Cuman belum siap.”
            “Oke. Aku masuk duluan.” Ucapku. “Kalau mau masuk, masuk aja. Cari aku di sekitar taman. Disana tempatnya agak gimana gitu.”
            Kemudian aku pun masuk ke dalam sekolah. Di sebelah kiriku, aku dapat melihat kekosongan di dalam taman. Sedangkan di sebelah kanan, telihat kekosongan pada setiap ruangan kelas.
            Aku pun memberanikan diri untuk menginjakkan kedua kakiku di taman yang penuh misteri itu. Aku baru menyadari bahwa Suyanto dan Andrean tidak mengikuti masuk ke dalam sekolah. Aku sendirian. “Sialan,” pikirku. “Ini bukan kerja kelompok namanya.”
Aku menyalakan kamera dan memulai memotret di sembarang tempat dengan bantuan flash kamera sehingga hasil yang didapat akan jelas. Aku tidak berani melihat secara langsung melewati view finder kameraku. Aku melihat seseorang berdiri di dalam foto yang paling terakhir aku ambil ini, ia berdiri tepat di bawah lampu jalan yang terdapat di jalanan lurus menuju ke kantin sekolah. Aku tercenggang. Padahal aku yakin sekali disana tadi tidak ada siapapun karena jam segini, sekolah sudah tutup.
            Aku pun mengecek satu-satu foto yang telah kuambil sebelumnya. Aku terkejut, ia terdapat di setiap foto yang kuambil dengan kameraku ini. Dari sepuluh foto hasil jepretanku ini, ia berdiri dengan raut wajahnya menyiratkan sebuah kesedihan yang mendalam. Seperti keinginan seseorang yang tidak dapat tercapai, walaupun telah bersusah payah.
*
            Aku pun memberanikan diri untuk mengambil gambar lagi. Sama dengan yang kulakukan tadi, aku mengambil gambar dengan asal. Masih di tempat yang sama, yakni di taman. Di taman ini, aku merasakan perasaan yang tidak menyenangkan di beberapa titik. Seperti ada yang mengawasiku.
            Di ujung taman, terdapat pohon yang tinggi besar menjulang ke atas. Aku merasa bahwa ada sesuatu di atas pohon itu.
            “Aku ditinggal,,” tiba-tiba terdengar suara yang sangat berat, anak laki-laki. Suara itu terdengar jelas datang dari atas pohon.
            Suara itu spontan membuat bulu kudukku berdiri. Aku tidak mampu mengangkat kakiku. Berat, berat sekali. Aku hanya bisa terdiam kaku. Gemetaran, tanganku sekarang gemetaran, tidak kuat untuk memegang kameraku lagi.
            “Mereka,,” tiba-tiba muncul lagi suara itu. Kali ini sumber suara berasal dari tempat yang berbeda, kali ini berada di pohon yang berdiri gagah di belakangku.
            Aku tidak kuat, kakiku terasa sangat lemas. Aku ingin sekali berteriak meminta tolong, namun aku seperti sedang disekap, kedua mulutku ditutupi dengan kain yang telah diikat erat. Kedua kakiku seperti diberi beban berat layaknya seorang tahanan kelas kakap, sehingga aku tidak dapat bergerak kemana-mana.
            “Mereka meninggalkanku sendirian di kelas!” suara tersebut terdengar semakin keras dan jelas. Kemudian aku melihat salah satu kursi yang berada di dalam ruangan kelas yang terdapat di lantai satu itu terangkat tinggi, kemudian terhempas ke lantai dengan kerasnya.
            “Kau bisa mendengar suara itu, Wil?” aku dikejutkan oleh pak Yosef, guru yang tinggal di sekolah sekaligus dialah yang mengijinkanku untuk  mengambil foto di sekolah malam hari.
            “Ah!” seruku. “Bapak mengejutkan saya. Bapak bukan hantu kan? Ini pak Yosef kan?” tanyaku sembari mencubit pelan lengannya.
            “Tentu saja saya manusia.” Tawanya pelan. “Kecuali yang kamu dengar barusan.”
            “Hah! Syukurlah. Saya hampir tidak dapat bergerak, pak. Ini kali pertama saya berhadapan langsung dengan hal seperti ini.” Aku mendesah pelan. “Siapa dia, pak? Ada urusan apa yang belum diselesaikannya?”
            “Selama bapak tinggal disini. Bapak selalu mendengar suaranya setiap malam. Dia mengeluh kesakitan.”
            “Kesakitan? Ditinggal?” aku penasaran dengan apa yang terjadi sehingga membuatnya tidak tenang dan masih berada di dunia.
            “Bapak dengar dulu, sebelum tempat ini jadi sekolah yang seperti sekarang, pernah terjadi kebakaran hebat. Sebelumnya memang sudah merupakan sekolahan kecil. Dan dia merupakan satu-satunya korban yang meninggal di dalam kebakaran tersebut.”
            “Aneh yah. Kalau meninggal karena kebakaran biasa, aku rasa dia bisa  meninggal dengan tenang.  Namun katanya dia ditinggal. Mungkinkah kebakaran itu disengaja?”
            “Bapak juga gak tau, Wil. Yang pasti dia benar-benar gak mampu mengontrol emosi kalau mengingat kembali kejadian itu. Udah puluhan tahun loh Wil, tapi masih gak bisa tenang juga.”
            “Bapak sering diganggu gak?”
            “Sering. Tapi bapak sudah biasa. Dulu pas awal, dia melemparkan pisau, namun tidak kena. Dia menyuruh bapak buat pergi dari tempat ini.”
            “Seramnya.” Ucapku.
            “Aku gak tahan!!! Panas! Panas sekali.” Tiba-tiba terdengar suaranya dari salah satu ruangan kelas. Terlihat lidah-lidah api yang berterbangan kesana kemari.
            “Pak, itu terbakar pak!” aku panik melihat api di dalam kelas.
            “Tidak apa. Nanti apinya hilang sendiri. Sudah biasa dia membuat seperti itu, biasa jam segini selalu begitu. Makanya bapak saranin bahwa gak ada yang boleh masih ada di sekolah setelah jam enam.”
            “Tapi bapak ijinkan saya untuk mengambil foto disini.”
            “Itu karena bapak ingin kamu bisa mengekspos ke luar dengan berita yang benar. Sehingga dari pihak sekolah sendiri juga mencari jalan untuk melakukan doa bersama demi ketenangan sang arwah ini. Daripada anak-anak lain, bisa jadi gossip yang gak benar, yang malah buat arwah semakin tidak tenang.”
            “Bagaimana caranya?”
            “Bapak tau kamu mampu untuk mencari tau bagaimana cara untuk menyelesaikan ini.”
            Aku semakin kebingungan. Bagaimana caraku untuk menyelesaikan kasus arwah yang tidak tenang ini.
            “Bisakah dengan aku menggunakan foto yang kudapatkan tadi?”
            “Kamu dapat fotonya?” tanya pak Yosef penasaran.
            “Dapat pak,” jawabku sambil mengangguk pelan.
            “Luar biasa. Dia bahkan menunjukkan dirinya untukmu. Bapak rasa dia juga menyadari bahwa kamu bisa membantunya keluar dari masalah ini.”
            Tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki orang berjalan di belakangku. Dan ketika aku berbalik, ternyata yang kulihat adalah Andrean dan Suyanto.
            “Kalian penakut ya. Gak ikut aku masuk tadi.” Sindirku.
            “Heh! Siapa bilang? Kami juga masuk. Kau yang tak tau kemana.” Gerutu Andrean.
            Aku bingung dengan pernyataan Andrean. Kami berpisah?
            “Kau tau gak? Kami dah keliling kemanapun. Udah minta bantuan pak Yosef buat cari kau.”
            “Oh. Pak Yosef mah disini dari tadi.” Ucapku. Dan aku terkejut ketika berbalik, aku tidak menemukan sosok pak Yosef dimanapun.
            “Hey, kalian. Udah ketemu Willi belum?” terdengar suara dari taman. Itu suara pak Yosef.
            “Sudah pak, dia disini. Tadi berdiri sendiri di bawah pohon besar ini.” Seru Suyanto.
            “Kamu ngapain disini, Wil? Siapa yang ngijinin kalian buat masuk? Kan udah bapak bilang, diatas jam enam, tidak ada lagi murid yang boleh berada di dalam lingkungan sekolah.”
            “Tadi bapak bukannya ngobrol sama saya?”
            “Sejak kapan? Bapak tadi lagi nonton di kamar. Tiba-tiba Andrean dan Suyanto datang dan minta bantuan buat cari kamu.”
            “Lalu yang tadi berdiri disini siapa?”
            “Inilah alasan kenapa saya tidak mengijinkan murid untuk berada di kawasan sekolah di atas jam enam. ‘Mereka’ selalu mencoba untuk menjebak murid ke dalam permainan mereka. Jangan dihiraukan. Bapak dulu juga salah satu dari yang ingin mereka jebak. Mereka ingin ada seseorang yang mengganti posisi mereka untuk tinggal disini sebagai penunggu sekolah, sedangkan mereka dapat naik ke surga.”
            “Tapi kalau itu benar, kenapa mereka meminta untuk di doakan?”
            “Itu hanya jebakan. Di pohon ini, bapak sering lihat beberapa anak kecil pas malam hari. Jam-jam segini, mereka asik bermain-main. Ayo sekarang kalian pulang.”
            “Yakin tadi bukan bapak?”
            “Iya.”
            “Tadi saya mencubit lengannya. Dan itu beneran terbuat dari daging dan kulit.”
            “Mending sekarang kalian pulang ke rumah, dan lupakan setiap kejadian yang kalian alami malam ini. Foto yang telah kalian dapatkan, bisa kalian jadikan bahan untuk tugas. Namun, kalian tidak bisa lagi untuk kembali ke sekolah diatas jam enam sore.”
            “Tapi kami tidak bisa mendapatkan informasi apa-apa, Pak.”
            “Kalian bisa mewawancarai saya ketika pulang sekolah. Banyak informasi yang bisa kalian dapatkan dari saya mengenai kejanggalan di sekolah ini pada malam hari.”
            Tiba-tiba kami semua mendengar suara gemuruh dari lantai dua. Ruangan kelas kami. Terdengar seperti orang yang sedang mengobrak-abrik seluruh isi ruangan kelas.
            “Hey. Kalian dengar itu? Itu kayak orang yang lagi emosian terus banting-banting barang.” Ucap Suyanto.
            “Hush! Mulutmu tidak bisa dijaga ya?” kesal pak Yosef. “Mending kalian pulang sekarang atau akan semakin membahayakan diri kalian. Saya tidak bisa apa-apa jika salah satu dari kalian telah kesurupan.”
            “Wah, aku tak mau kesurupan.” Jawab Andrean dengan cepat.
            “Makanya, cepetan pergi dari sini.”
            Kami pun bergegas pergi dari sekolah. Sera, Bonita dan Vina nampak kebingungan dengan sikap aneh kami. Karena kami tidak ingin menceritakannya di tempat. Kami pun masuk ke dalam mobil Suyanto, kemudian kembali ke rumah Sera. Di dalam perjalanan, kami dipaksa untuk menceritakan apa sebenarnya yang telah terjadi.
            “Dan begitulah. Aku pun tidak mengerti, baru kali ini aku mengalami hal seperti ini.” Ucapku.
            “hii! Seram. Untung aku gak ikut masuk.” Seru Bonita.
            “Bagaimanapun, tugas ini harus tetap dikerjakan. Besok pagi kita akan mewawancarai pak Yosef, dia tau banyak mengenai hal ini.”
            “Yang aku bingung adalah, jika perkataan pak Yosef benar. Maka kau akan dijebak, Wil. Dan kau akan mati menggantikan mereka. Bukankah begitu?” ucap Andrean.
            “Benar juga tuh.” Suyanto mengangguk pelan.
            Suyanto terus mengikuti pembicaraan kami sehingga tidak terlalu fokus melihat ke jalan raya, berhubung jalanan juga sedang dalam kondisi yang sepi. Tiba-tiba ia mengerem karena ada pengendara motor yang tiba-tiba menyebrang. Namun, ternyata malaikat kematian datang menjemput. Sebuah tronton besar, datang dari arah belakang dengan kecepatan yang tinggi dan menabrak mobil yang kami tumpangi.
            Saat aku tersadar, aku telah berada di sebuah ruangan di salah satu rumah sakit di kotaku. Aku tidak ingat bagaimana aku bisa berada disini. Yang kuingat adalah muncul lima bola api dari dalam mobil, dan kemudian naik terbang tinggi ke langit. Setelah itu, aku telah tersadar di ruangan ini.
            Aku berusaha untuk melihat kea rah kananku. Disana duduk seorang laki-laki yang memakai topi besar dan mengenakan jas kulit berwarna coklat. Dia berdiri, dan menghampiriku.
            “Kau selamat,” Ucapnya pelan. “namun tidak dengan kelima temanmu yang lain.” Dan sosok itu menghilang begitu saja.
            Sontak kalimat itu memberikanku sebuah pukulan telak. Kelima temanku tidak selamat. Seorang malaikat pencabut nyawa telah datang dan mengambil hak miliknya. Aku menangis, sebuah air mata yang keluar karena kehilangan teman-temanku dalam sebuah tugas yang bodoh. Sebuah tema yang bodoh keluar ketika aku melihat sebuah pohon besar. Aku telah dipermainkan sejak awal, mereka menginginkan nyawa kami. Namun kenapa aku tidak mendapatkan posisi yang sama dengan mereka. Kenapa aku dibiarkan hidup. Harusnya akulah yang mati malam kemarin.
            Terdengar sebuah ketukan pada pintu kamarku. Aku mempersilahkannya masuk, namun sebelumnya, aku menghapuskan air mataku.
            “Bagaimana keadaanmu?” pak Yosef masuk ke dalam kamar sambil membawa satu parcel yang berisi buah-buahan.
            “Sakit pak.”
            “Dimana?”
            “Di hatiku. Mereka, teman-temanku telah pergi, meninggalkan aku. Karena sebuah tugas dengan tema yang aku berikan. Sebuah tema bodoh yang telah membuat teman-temanku meninggal.” Tanpa sadar, aku pun menangis kembali.
            “Kau tau darimana, Wil?”
            “Dari seorang laki-laki tua yang telah berada di dalam kamar ini setelah aku sadar. Setelah dia memberitahu berita ini, dia pun menghilang.”
            “Sungguh. Bapak pun tidak bisa percaya dengan kejadian ini. Bapak tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Mereka bukanlah mengganggu lagi. Tapi membunuh manusia yang tidak tahu apa-apa. Mengambil nyawa mereka sebagai pengganti untuk menuntaskan keinginan mereka.”
            Aku pun hanya bisa menangis. Dalam hati, aku merasa sangat bersalah, aku telah tanpa sengaja, membunuh mereka. Secara tidak langsung, aku adalah pembunuh.
            “Kau harus sabar, Wil. Semuanya telah kembali. Belum tentu mereka ditarik sebagai penunggu sekolah. Bisa jadi bahwa Tuhan melindungi mereka dan membawa mereka ke surga.”

            Aku mengangguk pelan. Dan setelah hari itu, aku memutuskan untuk pindah kota. Ayah dan ibu menyetujui. Walaupun aku telah tinggal jauh dari tempat yang penuh dengan kenangan pahit itu, aku tetap tidak dapat melupakan setiap detail kejadian yang terjadi malam itu. Sebuah pengalaman yang tidak akan terlupakan, dan tidak akan termaafkan seumur hidup. Teman-teman, maafkan aku telah membawa kalian dalam sebuah masalah. Yang berujung pada kematian kalian. Semoga kalian semua berada di bawah lindungan-Nya. Sampai jumpa kawan. Selama kalian masih kuingat, kalian tidaklah menghilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar