Kami baru saja diberikan tugas
kelompok oleh guru seni, tugas foto essay, tugas membuat sebuah poster yang
berisikan informasi mengenai foto yang kami dapatkan. Dan hal pertama yang
perlu kami tentukan adalah tema. Kami diberi kesempatan untuk bekerja di taman
sekolah agar dapat mendapatkan ide-ide segar.
Di
dalam kelompok ini, terdapat empat anggota lain selain aku. Sera, sebagai
fotografer satu. Bonita, gadis tomboy dan merupakan sahabat Sera. Andrean,
sang editor, mengurus poster tugas kelompok kami. Suyanto, menjadi supir. Dan
aku sebagai pengarah jalannya kelompok sekaligus fotografer kedua.
“Jadi,”
ucapku memutuskan keheningan. “Tema apa yang bakal kita ambil?”
“Aku
tak tau mau tema apa.” Jawab Bonita.
“Bagaimana
kalau kita masing-masing tulis di satu lembar kertas tema apa yang mau diambil.
Terus kalau uda selesai kumpulin. Kita lihat mana yang bagus, baru kita ambil.”
Saranku.
“Boleh
aja. Pinjam pen dong, Ser.” Pinta Suyanto.
“Wah,
ke sekolah gak punya pen. Mau jadi apa? Jadi tukang air tahu, mau?” ledeknya.
“Yang
penting aku bawa hati kemana-mana. Hati yang penting.” Serunya sambil menunjuk
ke bagian dada.
“Dasar.”
Kami
akhirnya serius dengan pemikiran tentang tema apa yang akan diambil.
Masing-masing memasang raut wajah yang serius memikirkan tema apa yang bagus,
selain Bonita.
“Ah,,”
tiba-tiba Bonita meletakkan penanya di atas meja.
“Udah
dapat tema yang bagus?” tanyaku.
“Malahan
sebaliknya. Aku gak bisa mikirin tema apapun.” Ucapnya.
“Ayo,
pikir lebih keras lagi.”
“Udah
ah, kau aja yang tentuin, Wil. Aku pusing.” Saran Bonita.
“Iya,
aku juga bingung.” Ucap Sera.
“Kalian
berdua dapat gak?” tanyaku pada Andrean dan Suyanto.
Mereka
berdua menggelengkan kepala dengan serentak. Aku memang sudah memiliki ide yang
cocok dengan tugas ini. Ide yang datang ketika aku, yang tanpa sengaja melihat
sebuah pohon besar yang berdiri dengan kokohnya di samping tempat kami duduk.
“Bagaimana
dengan sesuatu yang berbau dunia lain?” tanyaku.
Mereka
semua melihat satu sama lain.
“Dunia
lain? Aku suka sih, tapi gak bisa dipersempit kah? Dunia lain itu luas banget,
bisa dari tempat angker, benda-benda angker, dan lainnya.” Ucap Andrean.
“Aku
pilih yang tempat angker.”
“Dimana?”
tanya Suyanto.
“Kalian
mau yang mudah dapat ijin atau yang susah banget dapat ijinnya?” tanyaku.
“Tentu
saja mudah.” Kata Sera.
“Oke.
Aku tentukan tempatnya adalah sekolah ini.”
“Sekolah
ini?” tanya Andrean sembari melihat-lihat sekeliling. “Memang ada sisi dunia
lainnya sih, aku rasa bisa saja kita dapatkan foto yang bagus disini.”
“Kalau
masalah ijin sih gampang lah. Aku udah dapat solusinya. Tinggal sekarang kalian
mau atau engga. Kalau yang cewek-cewek ini takut, kan masih ada tiga cowok
disini.” Ucapku.
“Aku
setuju aja sih, yang penting gak jauh.” Kata Suyanto.
“Kalau
Sera mau, aku ikut. Kalau engga, aku juga engga.” Ucap Bonita.
“Asik
sih kayaknya, cuman takut aja. Tapi setuju aja deh aku.”
“Oke.
Semua setuju kan? Sip. Ayo lapor dulu ke pak Yogi. Biar gak ada orang yang
ambil tema yang sama dengan kita.” Ajakku.
Kami
pun bersama-sama masuk kembali ke dalam kelas dan menghadap guru seni kami.
Kami memberitahukan mengenai tema yang kami ambil dan ternyata disetujui oleh
pak Yogi. Dan kami pun menghabiskan waktu pelajaran dengan menyusun jadwal
kerja kelompok.
*
Hari
yang ditentukan pun telah tiba. Kami semua berkumpul di rumah Sera. Sepupu Shella,
Vina, ikut mengikuti kegiatan kami malam ini. Tepat jam enam sore, kami pun
berangkat bersama, menuju ke suatu wilayah baru yang belum pernah kami masuki ketika malam tiba. Dua puluh menit kemudian, kami pun sampai di tujuan.
Kami memutuskan untuk
mengambil foto seluruh anggota kelompok di depan gerbang sekolah. Vina,
bertugas sebagai pengambil foto anggota kelompok kami.
Semenjak kakiku turun menginjak kawasan sekolah, aku merasakan hal yang tidak enak berasal dari dalam sekolah
ini. Seakan ada sesuatu yang mengundang kami untuk masuk dan mendapatkan
kebenaran akan suatu hal. Ini adalah kali pertama aku berada di sekolah semalam
ini. Sebelumnya aku hanya berada di sekolah sampai jam lima sore.
“Kalian
cowok-cowok masuk dulu deh, aku mau duduk dulu.” Ucap Sera.
“Takut?”
“Cuman
belum siap.”
“Oke.
Aku masuk duluan.” Ucapku. “Kalau mau masuk, masuk aja. Cari aku di sekitar
taman. Disana tempatnya agak gimana gitu.”
Kemudian
aku pun masuk ke dalam sekolah. Di sebelah kiriku, aku dapat melihat kekosongan
di dalam taman. Sedangkan di sebelah kanan, telihat kekosongan pada setiap ruangan
kelas.
Aku
pun memberanikan diri untuk menginjakkan kedua kakiku di taman yang penuh
misteri itu. Aku baru menyadari bahwa Suyanto dan Andrean tidak mengikuti masuk
ke dalam sekolah. Aku sendirian. “Sialan,” pikirku. “Ini bukan kerja kelompok
namanya.”
Aku menyalakan kamera dan memulai
memotret di sembarang tempat dengan bantuan flash
kamera sehingga hasil yang didapat akan jelas. Aku tidak berani melihat secara
langsung melewati view finder
kameraku. Aku melihat seseorang berdiri di dalam foto yang paling terakhir aku
ambil ini, ia berdiri tepat di bawah lampu jalan yang terdapat di jalanan lurus
menuju ke kantin sekolah. Aku tercenggang. Padahal aku yakin sekali disana tadi
tidak ada siapapun karena jam segini, sekolah sudah tutup.
Aku
pun mengecek satu-satu foto yang telah kuambil sebelumnya. Aku terkejut, ia
terdapat di setiap foto yang kuambil dengan kameraku ini. Dari sepuluh foto
hasil jepretanku ini, ia berdiri dengan raut wajahnya menyiratkan sebuah
kesedihan yang mendalam. Seperti keinginan seseorang yang tidak dapat tercapai,
walaupun telah bersusah payah.
*
Aku
pun memberanikan diri untuk mengambil gambar lagi. Sama dengan yang kulakukan
tadi, aku mengambil gambar dengan asal. Masih di tempat yang sama, yakni di
taman. Di taman ini, aku merasakan perasaan yang tidak menyenangkan di beberapa
titik. Seperti ada yang mengawasiku.
Di
ujung taman, terdapat pohon yang tinggi besar menjulang ke atas. Aku merasa
bahwa ada sesuatu di atas pohon itu.
“Aku
ditinggal,,” tiba-tiba terdengar suara yang sangat berat, anak laki-laki. Suara
itu terdengar jelas datang dari atas pohon.
Suara
itu spontan membuat bulu kudukku berdiri. Aku tidak mampu mengangkat kakiku.
Berat, berat sekali. Aku hanya bisa terdiam kaku. Gemetaran, tanganku sekarang
gemetaran, tidak kuat untuk memegang kameraku lagi.
“Mereka,,”
tiba-tiba muncul lagi suara itu. Kali ini sumber suara berasal dari tempat yang
berbeda, kali ini berada di pohon yang berdiri gagah di belakangku.
Aku
tidak kuat, kakiku terasa sangat lemas. Aku ingin sekali berteriak meminta
tolong, namun aku seperti sedang disekap, kedua mulutku ditutupi dengan kain
yang telah diikat erat. Kedua kakiku seperti diberi beban berat layaknya
seorang tahanan kelas kakap, sehingga aku tidak dapat bergerak kemana-mana.
“Mereka
meninggalkanku sendirian di kelas!” suara tersebut terdengar semakin keras dan
jelas. Kemudian aku melihat salah satu kursi yang berada di dalam ruangan kelas
yang terdapat di lantai satu itu terangkat tinggi, kemudian terhempas ke lantai
dengan kerasnya.
“Kau
bisa mendengar suara itu, Wil?” aku dikejutkan oleh pak Yosef, guru yang
tinggal di sekolah sekaligus dialah yang mengijinkanku untuk mengambil foto di sekolah malam hari.
“Ah!”
seruku. “Bapak mengejutkan saya. Bapak bukan hantu kan? Ini pak Yosef kan?”
tanyaku sembari mencubit pelan lengannya.
“Tentu
saja saya manusia.” Tawanya pelan. “Kecuali yang kamu dengar barusan.”
“Hah!
Syukurlah. Saya hampir tidak dapat bergerak, pak. Ini kali pertama saya
berhadapan langsung dengan hal seperti ini.” Aku mendesah pelan. “Siapa dia,
pak? Ada urusan apa yang belum diselesaikannya?”
“Selama
bapak tinggal disini. Bapak selalu mendengar suaranya setiap malam. Dia mengeluh
kesakitan.”
“Kesakitan?
Ditinggal?” aku penasaran dengan apa yang terjadi sehingga membuatnya tidak
tenang dan masih berada di dunia.
“Bapak
dengar dulu, sebelum tempat ini jadi sekolah yang seperti sekarang, pernah
terjadi kebakaran hebat. Sebelumnya memang sudah merupakan sekolahan kecil. Dan
dia merupakan satu-satunya korban yang meninggal di dalam kebakaran tersebut.”
“Aneh
yah. Kalau meninggal karena kebakaran biasa, aku rasa dia bisa meninggal dengan tenang. Namun katanya dia ditinggal. Mungkinkah kebakaran
itu disengaja?”
“Bapak
juga gak tau, Wil. Yang pasti dia benar-benar gak mampu mengontrol emosi kalau
mengingat kembali kejadian itu. Udah puluhan tahun loh Wil, tapi masih gak bisa
tenang juga.”
“Bapak
sering diganggu gak?”
“Sering.
Tapi bapak sudah biasa. Dulu pas awal, dia melemparkan pisau, namun tidak kena.
Dia menyuruh bapak buat pergi dari tempat ini.”
“Seramnya.”
Ucapku.
“Aku
gak tahan!!! Panas! Panas sekali.” Tiba-tiba terdengar suaranya dari salah satu
ruangan kelas. Terlihat lidah-lidah api yang berterbangan kesana kemari.
“Pak,
itu terbakar pak!” aku panik melihat api di dalam kelas.
“Tidak
apa. Nanti apinya hilang sendiri. Sudah biasa dia membuat seperti itu, biasa
jam segini selalu begitu. Makanya bapak saranin bahwa gak ada yang boleh masih ada
di sekolah setelah jam enam.”
“Tapi
bapak ijinkan saya untuk mengambil foto disini.”
“Itu
karena bapak ingin kamu bisa mengekspos ke luar dengan berita yang benar. Sehingga
dari pihak sekolah sendiri juga mencari jalan untuk melakukan doa bersama demi
ketenangan sang arwah ini. Daripada anak-anak lain, bisa jadi gossip yang gak
benar, yang malah buat arwah semakin tidak tenang.”
“Bagaimana
caranya?”
“Bapak
tau kamu mampu untuk mencari tau bagaimana cara untuk menyelesaikan ini.”
Aku
semakin kebingungan. Bagaimana caraku untuk menyelesaikan kasus arwah yang
tidak tenang ini.
“Bisakah
dengan aku menggunakan foto yang kudapatkan tadi?”
“Kamu
dapat fotonya?” tanya pak Yosef penasaran.
“Dapat
pak,” jawabku sambil mengangguk pelan.
“Luar
biasa. Dia bahkan menunjukkan dirinya untukmu. Bapak rasa dia juga menyadari
bahwa kamu bisa membantunya keluar dari masalah ini.”
Tiba-tiba
aku mendengar suara langkah kaki orang berjalan di belakangku. Dan ketika aku
berbalik, ternyata yang kulihat adalah Andrean dan Suyanto.
“Kalian
penakut ya. Gak ikut aku masuk tadi.” Sindirku.
“Heh!
Siapa bilang? Kami juga masuk. Kau yang tak tau kemana.” Gerutu Andrean.
Aku
bingung dengan pernyataan Andrean. Kami berpisah?
“Kau
tau gak? Kami dah keliling kemanapun. Udah minta bantuan pak Yosef buat cari
kau.”
“Oh.
Pak Yosef mah disini dari tadi.” Ucapku. Dan aku terkejut ketika berbalik, aku
tidak menemukan sosok pak Yosef dimanapun.
“Hey,
kalian. Udah ketemu Willi belum?” terdengar suara dari taman. Itu suara pak
Yosef.
“Sudah
pak, dia disini. Tadi berdiri sendiri di bawah pohon besar ini.” Seru Suyanto.
“Kamu
ngapain disini, Wil? Siapa yang ngijinin kalian buat masuk? Kan udah bapak
bilang, diatas jam enam, tidak ada lagi murid yang boleh berada di dalam
lingkungan sekolah.”
“Tadi
bapak bukannya ngobrol sama saya?”
“Sejak
kapan? Bapak tadi lagi nonton di kamar. Tiba-tiba Andrean dan Suyanto datang
dan minta bantuan buat cari kamu.”
“Lalu
yang tadi berdiri disini siapa?”
“Inilah
alasan kenapa saya tidak mengijinkan murid untuk berada di kawasan sekolah di
atas jam enam. ‘Mereka’ selalu mencoba untuk menjebak murid ke dalam permainan
mereka. Jangan dihiraukan. Bapak dulu juga salah satu dari yang ingin mereka
jebak. Mereka ingin ada seseorang yang mengganti posisi mereka untuk tinggal
disini sebagai penunggu sekolah, sedangkan mereka dapat naik ke surga.”
“Tapi
kalau itu benar, kenapa mereka meminta untuk di doakan?”
“Itu
hanya jebakan. Di pohon ini, bapak sering lihat beberapa anak kecil pas malam
hari. Jam-jam segini, mereka asik bermain-main. Ayo sekarang kalian pulang.”
“Yakin
tadi bukan bapak?”
“Iya.”
“Tadi
saya mencubit lengannya. Dan itu beneran terbuat dari daging dan kulit.”
“Mending
sekarang kalian pulang ke rumah, dan lupakan setiap kejadian yang kalian alami malam
ini. Foto yang telah kalian dapatkan, bisa kalian jadikan bahan untuk tugas. Namun,
kalian tidak bisa lagi untuk kembali ke sekolah diatas jam enam sore.”
“Tapi
kami tidak bisa mendapatkan informasi apa-apa, Pak.”
“Kalian
bisa mewawancarai saya ketika pulang sekolah. Banyak informasi yang bisa kalian
dapatkan dari saya mengenai kejanggalan di sekolah ini pada malam hari.”
Tiba-tiba
kami semua mendengar suara gemuruh dari lantai dua. Ruangan kelas kami. Terdengar
seperti orang yang sedang mengobrak-abrik seluruh isi ruangan kelas.
“Hey.
Kalian dengar itu? Itu kayak orang yang lagi emosian terus banting-banting
barang.” Ucap Suyanto.
“Hush!
Mulutmu tidak bisa dijaga ya?” kesal pak Yosef. “Mending kalian pulang sekarang
atau akan semakin membahayakan diri kalian. Saya tidak bisa apa-apa jika salah
satu dari kalian telah kesurupan.”
“Wah,
aku tak mau kesurupan.” Jawab Andrean dengan cepat.
“Makanya,
cepetan pergi dari sini.”
Kami
pun bergegas pergi dari sekolah. Sera, Bonita dan Vina nampak kebingungan
dengan sikap aneh kami. Karena kami tidak ingin menceritakannya di tempat. Kami
pun masuk ke dalam mobil Suyanto, kemudian kembali ke rumah Sera. Di dalam
perjalanan, kami dipaksa untuk menceritakan apa sebenarnya yang telah terjadi.
“Dan
begitulah. Aku pun tidak mengerti, baru kali ini aku mengalami hal seperti ini.”
Ucapku.
“hii!
Seram. Untung aku gak ikut masuk.” Seru Bonita.
“Bagaimanapun,
tugas ini harus tetap dikerjakan. Besok pagi kita akan mewawancarai pak Yosef,
dia tau banyak mengenai hal ini.”
“Yang
aku bingung adalah, jika perkataan pak Yosef benar. Maka kau akan dijebak, Wil.
Dan kau akan mati menggantikan mereka. Bukankah begitu?” ucap Andrean.
“Benar
juga tuh.” Suyanto mengangguk pelan.
Suyanto
terus mengikuti pembicaraan kami sehingga tidak terlalu fokus melihat ke jalan
raya, berhubung jalanan juga sedang dalam kondisi yang sepi. Tiba-tiba ia
mengerem karena ada pengendara motor yang tiba-tiba menyebrang. Namun, ternyata
malaikat kematian datang menjemput. Sebuah tronton besar, datang dari arah
belakang dengan kecepatan yang tinggi dan menabrak mobil yang kami tumpangi.
Saat
aku tersadar, aku telah berada di sebuah ruangan di salah satu rumah sakit di
kotaku. Aku tidak ingat bagaimana aku bisa berada disini. Yang kuingat adalah
muncul lima bola api dari dalam mobil, dan kemudian naik terbang tinggi ke
langit. Setelah itu, aku telah tersadar di ruangan ini.
Aku
berusaha untuk melihat kea rah kananku. Disana duduk seorang laki-laki yang
memakai topi besar dan mengenakan jas kulit berwarna coklat. Dia berdiri, dan
menghampiriku.
“Kau
selamat,” Ucapnya pelan. “namun tidak dengan kelima temanmu yang lain.” Dan sosok
itu menghilang begitu saja.
Sontak
kalimat itu memberikanku sebuah pukulan telak. Kelima temanku tidak selamat. Seorang
malaikat pencabut nyawa telah datang dan mengambil hak miliknya. Aku menangis,
sebuah air mata yang keluar karena kehilangan teman-temanku dalam sebuah tugas
yang bodoh. Sebuah tema yang bodoh keluar ketika aku melihat sebuah pohon
besar. Aku telah dipermainkan sejak awal, mereka menginginkan nyawa kami. Namun
kenapa aku tidak mendapatkan posisi yang sama dengan mereka. Kenapa aku
dibiarkan hidup. Harusnya akulah yang mati malam kemarin.
Terdengar
sebuah ketukan pada pintu kamarku. Aku mempersilahkannya masuk, namun
sebelumnya, aku menghapuskan air mataku.
“Bagaimana
keadaanmu?” pak Yosef masuk ke dalam kamar sambil membawa satu parcel yang
berisi buah-buahan.
“Sakit
pak.”
“Dimana?”
“Di
hatiku. Mereka, teman-temanku telah pergi, meninggalkan aku. Karena sebuah tugas dengan tema
yang aku berikan. Sebuah tema bodoh yang telah membuat teman-temanku meninggal.”
Tanpa sadar, aku pun menangis kembali.
“Kau
tau darimana, Wil?”
“Dari
seorang laki-laki tua yang telah berada di dalam kamar ini setelah aku sadar. Setelah
dia memberitahu berita ini, dia pun menghilang.”
“Sungguh.
Bapak pun tidak bisa percaya dengan kejadian ini. Bapak tidak pernah mengalami
hal seperti ini sebelumnya. Mereka bukanlah mengganggu lagi. Tapi membunuh manusia yang tidak tahu apa-apa. Mengambil nyawa mereka sebagai pengganti
untuk menuntaskan keinginan mereka.”
Aku
pun hanya bisa menangis. Dalam hati, aku merasa sangat bersalah, aku telah
tanpa sengaja, membunuh mereka. Secara tidak langsung, aku adalah pembunuh.
“Kau
harus sabar, Wil. Semuanya telah kembali. Belum tentu mereka ditarik sebagai
penunggu sekolah. Bisa jadi bahwa Tuhan melindungi mereka dan membawa mereka ke
surga.”
Aku
mengangguk pelan. Dan setelah hari itu, aku memutuskan untuk pindah kota. Ayah dan
ibu menyetujui. Walaupun aku telah tinggal jauh dari tempat yang penuh dengan
kenangan pahit itu, aku tetap tidak dapat melupakan setiap detail kejadian yang
terjadi malam itu. Sebuah pengalaman yang tidak akan terlupakan, dan tidak akan
termaafkan seumur hidup. Teman-teman, maafkan aku telah membawa kalian dalam
sebuah masalah. Yang berujung pada kematian kalian. Semoga kalian semua berada
di bawah lindungan-Nya. Sampai jumpa kawan. Selama kalian masih kuingat, kalian
tidaklah menghilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar